HomeNalar PolitikRevisi UU MK Bermotif Politis?

Revisi UU MK Bermotif Politis?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Revisi ini menuai banyak kecurigaan lantaran dilakukan dengan sangat cepat. Apalagi MK saat ini tengah menangani sejumlah uji materi UU kontroversial. Benarkah ada ‘udang’ di balik revisi ‘kilat’ UU MK?


PinterPolitik.com

Tak banyak interupsi terdengar di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, ketika Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad mengetok palu, tanda rancangan revisi Undang-undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) disahkan. Baik legislator maupun perwakilan pemerintah langsung seiya sekata mengukuhkan aturan tersebut.

Cepatnya proses pembahasan revisi UU MK ini tentu mengejutkan banyak pihak. Bagaimana tidak, DPR yang terkenal lamban dalam menghasilkan produk legislasi, kini hanya membutuhkan waktu kurang dari enam hari kerja sejak mereka membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU MK pada 25 Agustus 2020 lalu. 

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan berdalihkilatnya pembahasan revisi UU MK dikarenakan aturan itu merupakan limpahan (carry over) dari periode sebelumnya.

Namun, bukannya mendapatkan pujian, mulusnya proses pengesahan revisi UU MK justru memunculkan banyak kecurigaan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal menilairevisi tersebut tidak substansial karena hanya menitikberatkan pada perpanjangan jabatan hakim konstitusi. Sejumlah pihak bahkan menyebut revisi ini berpotensi bermuatan politis lantaran MK saat ini tengah menangani uji materi Undang-undang krusial, seperti UU KPK dan UU Minerba.

Di lain sisi, Komisi III DPR RI mengaku tujuan utama dari revisi UU MK ini adalah murni untuk mewujudkan transparansi dalam proses rekrutmen hakim konstitusi.

Namun, terlepas dari berbagai asumsi yang ada, revisi UU MK memang memiliki implikasi yang cukup signifikan. Dengan bertambahnya masa jabatan menjadi 15 tahun, seorang hakim konstitusi bahkan bisa menjabat hingga 2034.

Selain itu, dengan berlakunya revisi ini, maka bisa dipastikan sengketa Pilpres pada 2024 nanti – jika terjadi – bakal diadili oleh 8 dari 9 hakim konstitusi yang tengah menjabat saat ini. Lantas pertanyannya, benarkah revisi UU MK yang baru disahkan ini memang bermuatan politis?

MK Tak Boleh Politis

Konsep pembentukan mahkamah khusus yang menangani perkara konstitusi lahir dari pemikiran Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang mempelopori terbentuknya Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konsititusi Austria.

Alec Stone Sweet dalam tulisannyayang berjudul ‘Constitutional Courts and Parliamentary Democracy’ menjabarkan pemikiran Kelsen ke dalam empat ciri.

Pertama, peradilan konstitusi memiliki yurisdiksi yang eksklusif dan final. Secara formal, para Hakim Konstitusi memiliki monopoli atas pelaksanaan uji materi terhadap konstitusi yang tak dimiliki peradilan umum.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Kedua, yurisdiksi membatasi kewenangn Mahkamah Konstitusi untuk mengadili sengketa yang bersifat konstitusional (constitutional dispute). Hakim Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara hukum biasa (judicial dispute).

Ketiga, Mahkamah Konstitusi memiliki hubungan dengan lembaga peradilan umum dan badan legislatif, namun secara formal kedudukannya tetap terpisah. Ia menempati ruang konstitusionalnya sendiri yang harus bebas dari hal-hal politis. Serta terakhir, para Hakim Konstitusi terikat untuk menjaga supremasi konstitusi.

Kelsen memahami bahwa setiap yurisdiksi lembaga yang melaksanakan tinjauan konstitusional atas Undang-undang niscaya akan bersinggungan dengan fungsi-fungsi legislatif. Oleh karena itu, memusatkan ranah judicial review pada pengadilan khusus dinilainya lebih baik daripada menyebarkan kekuasaan tersebut di setiap cabang peradilan umum.

Meski kerja suatu Mahkamah Konstitusi bersinggungan dengan ranah legislasi, Kelsen tetap memberikan batasan yang jelas antara wewenang parlemen dan pengadilan konstitusi.

Parlemen, menurutnyaadalah ‘legislator positif’, karena mereka membuat undang-undang dengan bebas dan tunduk hanya pada batasan-batasan konstitusi. Sebaliknya, hakim konstitusi, adalah ‘legislator negatif’, yang kewenangan legislasinya terbatas pada pembatalan Undang-undang jika hanya objek yang dimaksud bertentangan dengan Hukum Konstitusi

Sejalan dengan pemikiran Kelsen, Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebenarnya tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari lembaga politik. Dalam sistem rekrutmen misalnya, posisi sembilan Hakim Konstitusi haruslah diisi oleh hakim-hakim yang direkomendasikan oleh tiga cabang kekuasaan, yaitu DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung (MA).

Namun, Jimmly Asshiddiqie dalam tulisannya yang berjudul ‘Kedudukan MK dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia’ menilai sistem rekrutmen tersebut menjamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara, sekaligus  menjamin  netralitas  dan imparsialitas  MK  dalam hubungan antar lembaga negara.

Lebih lanjut, Ia juga menilai dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, terutama yang berkaitan dengan kewenangan mengadili sengketa lembaga negara, posisi imparsial tersebut sangat mutlak diperlukan. Hal inilah yang melatarbelakangi proses rekrutmen Hakim Konstitusi harus melibatkan tiga cabang kekuasaan sekaligus.

Di sisi lain, meski tak bisa dipisahkan dengan lembaga politis seperti pemerintah dan DPR, MK sebagaimana dalam pemikiran Kelsen, tetap berada di ruang konstitusionalnya sendiri.

Ini berarti MK memang harus bebas dari hal-hal politis. Lalu pertanyaannya, apakah perpanjangan masa jabatan hakim MK ini bernuansa politis sebagaimana yang disangkakan?

Belum Tentu Politis?

Jika membahas persoalan masa jabatan hakim, Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court) bisa dianggap sebagai salah satu contoh yang paling ekstrim. Bagaimana tidak, konstitusi Negeri Paman Sam itu tidak secara spesifik mengatur lamanya masa jabatan Hakim Agung.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Pasal III Konstitusi AS hanya mengatur hakim, baik Mahkamah Agung dan pengadilan federal yang lebih rendah, akan memegang jabatan mereka selama ‘berperilaku baik’. Dengan demikian, secara teknis jabatan Hakim Agung di AS berlaku seumur hidup, kecuali yang bersangkutan dimakzulkan oleh Kongres atau secara sukarela mengundurkan diri.

Shaunacy Ferro dalam tulisannya yang berjudul ‘Why Do Supreme Court Justices Serve for Life?’ menilai Mahkamah Agung bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan Kongres dan Presiden. Penunjukkan seumur hidup bertujuan untuk memastikan bahwa para hakim terlindungi dari tekanan politik sehingga pengadilan dapat berfungsi sebagai cabang pemerintahan yang benar-benar independen.

Jabatan seumur hidup bagi Hakim Agung di AS, menurut Ferro, justru dilakukan demi melindungi mereka dari kepentingan politis. Hal ini lantaran masa jabatan seorang hakim bisa saja jauh melampaui masa jabatan presiden ataupun legislator yang mengangkat mereka.

Dalam konteks yang berbeda, pernyataan Peneliti Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Violla Reininda agaknya mengafirmasi pernyataan Ferro. Ia menilai masa jabatan hakim MK memang idealnya diperpanjang. Hal ini demi melindungi para hakim dari lobi-lobi politik lembaga pengusul.

Akan tetapi, dalam revisi UU MK yang baru saja disahkan DPR, perpanjangan masa jabatan tersebut tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, penegakan kode etik, dan standar rekrutmen yang baik.

Terkait dengan hal itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari menyebutpengawasan terhadap Hakim Konstitusi selama ini hanya dilakukan oleh majelis kehormatan di bawah MK. Idealnya, pengawasan tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga independen sebagaimana Komisi Yudisial (KY) mengawasi para Hakim Agung.

Meski pada akhirnya perpanjangan masa jabatan hakim MK tak bisa serta merta dikatakan politis, namun harus diakui revisi UU MK memang meninggalkan sejumlah persoalan krusial, yakni absennya klausul yang memberi penguatan pengawasan terhadap para Hakim Konstitusi.

Namun demikian, sejumlah kelompok masyarakat menyatakansiap menggugat revisi tersebut. Jika hal itu benar dilakukan, maka independensi MK dalam menangani uji materi yang terkait dengan lembaganya sendiri akan dipertaruhkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...