Kebijakan pelarangan ekspor batu bara yang sempat dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi memang pada akhirnya dibatalkan. Namun, ada refleksi besar terkait relasi pemerintah dengan pengusaha dalam kebijakan tersebut. Nyatanya, jika ditarik ke atas, konteks “tarik menarik” relasi pemerintah dan pengusaha ini menjadi salah satu fenomena yang kini menjamur di banyak negara – sebuah perubahan besar yang menandai pergeseran peran negara akibat kebangkitan kekuatan kelas menengah. Benarkah demikian?
“I’m a warrior for the middle class”.
::Barack Obama::
Di era-era awal kekuasaan Shogun Tokugawa pada abad ke-16, sebuah kelas sosial muncul di masyarakat Jepang. Kelompok ini disebut sebagai chōnin. Mereka adalah kelompok warga kota yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, seniman dan pengrajin.
Karena berada di tengah antara kelompok rakyat bawah dengan kelompok para bangsawan, chōnin mempengaruhi banyak perubahan secara kultural yang terjadi di Jepang. Mereka menjadi kelompok yang mendobrak social barrier relasi antar kelas yang terkungkung hierarki dalam masyarakat Jepang. Dalam dunia modern saat ini, chōnin inilah yang dikenal sebagai kelompok kelas menengah alias middle class.
Nyatanya, perdebatan tentang pengaruh kaum kelas itu sendiri menjadi narasi politik yang punya wajah di berbagai komunitas masyarakat lain. Di masyarakat Barat, Friedrich Engels – tokoh pemikir yang dekat dengan Karl Marx – pernah mengklasifikasikan kelompok kelas menengah sebagai kelas sosial yang ada di antara kelompok bangsawan atau nobility dengan kelompok pekerja atau petani.
Seiring perjalanan waktu, kelompok yang kemudian disebut sebagai new bourgeoisie ini punya posisi yang sangat kuat mempengaruhi jalannya politik dan ekonomi di sebuah negara. Revolusi Prancis di abad ke-18 misalnya, dimotori oleh kaum kelas menengah ini. Karena posisinya yang ada di tengah, kelompok kelas menengah ini banyak kali menjadi mayoritas dari masyarakat.
Nah, beberapa waktu terakhir ini perdebatan soal posisi kelas menengah ini kembali mencuat ke permukaan lagi. Ini terkait kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh banyak negara yang dianggap lebih mengarah pada kepentingan kelompok kelas menengah ini.
The Economist misalnya, beberapa waktu lalu menurunkan tajuk The Bossy State – negara atau pemerintah yang bersikap seperti bos. Ini terkait kebijakan ekonomi yang dianggap tak berpihak lagi pada kelompok pengusaha, tapi mengarah lebih ke kelas di bawahnya. Tidak jarang kebijakan-kebijakan itu mengarah pada intervensi ke pasar bebas. Kerangka utamanya adalah mencampuri pasar dan kebijakan ekonomi yang dibuat.
Baca juga: Di Balik Jokowi dan Pengusaha Batu Bara
Di Amerika Serikat misalnya, Presiden Joe Biden disebut mendorong agenda proteksionisme lunak, subsidi industri dan pembuatan regulasi baru yang disebut membuat pasar bebas menjadi lebih “aman” bagi kelompok kelas menengah.
Sementara di Tiongkok, Presiden Xi Jinping punya agenda yang disebut sebagai common prosperity yang disebut berutujuan untuk menciptakan keadilan ekonomi bagi semua masyarakat – kebijakan yang lagi-lagi akan menguntungkan kelompok kelas menengah ke bawah.
Adapun di Indonesia, Presiden Jokowi juga terlihat menggunakan pola kebijakan yang sama, misalnya ketika mengeluarkan larangan ekspor beberapa komoditas seperti batu bara. Dalam perspektif ekonomi-politik, kebijakan yang demikian jelas menjadi intervensi terhadap mekanisme demand dan supply dalam pasar bebas.
Dari sudut pandang pengusaha dan kelompok kelas atas, kebijakan ini tentu merugikan mereka. Namun, bagi kelas di bawah yang menikmati listrik dan layanan dari negara, kebijakan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri ini tentu menjamin kepentingan kelas menengah dan bawah.
Tentu pertanyaannya adalah benarkah ada gerakan makin menguatnya kelompok kelas menangah? Lalu akan seperti apa dampaknya terhadap Indonesia nantinya?
Indonesia Menuju The Bossy State?
Tajuk bossy state yang dikeluarkan oleh The Economist muncul bukan tanpa alasan. Ketika pemerintah menerapkan intervensi terhadap pasar lewat kebijakan-kebijakan tertentu, maka jelas pasar dan ekonomi negara akan “digiring” menuju satu titik tertentu. Ibaratnya, pemerintah menjadi bos yang duduk di kursi belakang mobil dan memerintahkan supir untuk mengemudikan kendaraan menuju satu titik tertentu.
Paham intervensi atau interventionism itu sendiri juga punya cakupan yang luas. Umumnya diartikan sebagai keterlibatan pemerintah yang makin luas – khususnya dalam bidang ekonomi – untuk mengkoreksi kegagalan pasar. Karena posisi pemerintah sebagai entitas yang mendapatkan legitimasi untuk “memaksa” sebuah kebijakan dijalankan oleh masyarakat, maka intervensi itu bisa terjadi lewat adanya aturan-aturan tertentu yang bersifat memaksa.
Dilihat dari tujuannya, interventionism punya tujuan untuk mencegah efek samping berkelanjutan dari pasar bebas yang tak terkontrol, misalnya terkait ketimpangan sosial dan ekonomi. Istilah inilah yang kemudian menjadi “musuh” bagi pendukung gagasan kapitalisme pasar bebas yang menghendaki adanya pemisahan antara pemerintahan dengan ekonomi dan ingin agar pemerintah tak ikut camput dalam urusan ekonomi.
Salah satu contoh garis ekonomi intervensionis itu pernah diupayakan oleh mantan Perdana Menteri Jepang Shinzō Abe saat memimpin Jepang. Programnya dikenal dengan sebutan Abenomics yang secara garis besar isinya memuat langkah-langkah intervensi yang harus dilakukan pemerintah terhadap pasar.
Dalam tajuk yang berbeda, konteks intervensi ini bisa dilihat dari narasi yang dibuat oleh para pemimpin dunia yang hadir dalam World Economic Forum pada pertengahan tahun 2020 lalu. Mereka menyebut bahwa kapitalisme ekonomi global perlu diatur ulang dalam tajuk The Great Reset dan diarahkan menuju sistem ekonomi yang lebih sosialis.
Jika dilihat dari kebijakan-kebijakan yang ditawarkan, arahnya memang cenderung tak berpihak pada kelompok kelas atas dan cenderung menyasar ke kepentingan kelas menengah dan bawah. Secara khusus, kelompok kelas menengah bisa menjadi bagian yang paling merasakan dampaknya.
Pasalnya, laporan yang dibuat Pew Research Center menyebutkan bahwa kelompok kelas menengah adalah yang paling terdampak dari pandemi Covid-19. Banyak dari kelompok kelas menengah yang turun menjadi kelompok miskin sepanjang pandemi. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kelas menengah dunia turun mencapai 54 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan demikian, memang bisa dipastikan ada relasi secara tidak langsung antara efek pandemi terhadap kelompok kelas menengah dan perubahan perilaku negara yang menjadi makin menuju ke intervensionisme. Konteksnya akan makin menarik kalau ditarik ke persoalan politik, termasuk ke konteks elektoral.
Kelas Menengah Adalah Kunci
Dalam ilmu Matematika, ada istilah yang dikenal sebagai fungsi Gaussian atau Gaussian function. Ini adalah model perhitungan yang membentuk kurva lonceng Gauss – sebuah garis fungsi berbentuk lonceng dengan kecenderungan makin tinggi nilainya di bagian tengah. Jika diadopsi ke persoalan kelas dalam masyarakat, kurva lonceng Gauss ini menjadi gambaran bahwa masyarakat kelas menangah atau yang ada di tengah, menempati porsi yang terbesar dari keseluruhan populasi.
Memahami konteks jumlah kelas menengah yang besar ini menjadi hal yang penting. Pasalnya, kelas menengah umumnya diidentikkan dengan kelompok yang terdidik, melek teknologi informasi dan komunikasi, serta secara ekonomi bisa cepat mengalami up and down.
Dengan demikian, memang tak perlu heran jika kebijakan yang dibuat pemerintah – baik itu intervensi pasar dan yang lainnya – adalah bagian dari upaya menjamin posisi kelompok yang di tengah ini.
Dalam konteks kontestasi elektoral, keberadaan kelas menengah ini harus jadi catatan bagi siapapun yang ingin maju, katakanlah misalnya di Pilpres 2024 mendatang. Pasalnya, jika mampu menganalisis kebutuhan kelas menengah, maka jaminan untuk memenangkan hati pemilih menjadi lebih besar.
Pada akhirnya, tidak salah untuk menyebut kelas menengah – yang awalnya dipandang sebelah mata di model masyarakat dual kelas – kini menjadi kelas masyarakat yang punya efek besar dan menentukan. Dengan demikian, seperti kata-kata Obama di awal tulisan ini, bahwa kesuksesannya sebagai pemimpin tidak lepas dari perjuangannya untuk kepentingan kelas menengah. Sebab, tak penting lagi apakah negara itu menjadi bossy atau tidak selama ia mampu menjadi jembatan pemenuhan kepentingan bersama masyarakat. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.