Presiden Jokowi kembali menarik perhatian saat mengenakan pakaian adat suku Baduy dalam agenda Pidato Kenegaraan Presiden dalam rangka peringatan HUT ke-76 RI. Beberapa pihak menganggap hal ini merupakan sebuah politik simbol untuk menyampaikan pesan tertentu. Lalu berhasilkah simbol politik tersebut?
Dalam rilis resmi yang dikeluarkan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), pemilihan baju adat suku Baduy ini memiliki alasan tersendiri bagi Jokowi, di antaranya adalah untuk memberikan penghormatan dan penghargaan atas nilai-nilai adat suku Baduy.
Terkait hal tersebut, tanggapan bertentangan justru datang dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan upaya Presiden mengangkat kebudayaan dan menepis stigma dengan cara demikian, dinilai tidak dibarengi dengan tindakan substantif menyelamatkan dan mengatasi masalah yang dialami masyarakat adat.
Dalam kesempatan yang sama, Rukka menyebut ada banyak masalah yang dihadapi masyarakat adat yang belum diselesaikan pemerintah di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, baik dari segi aturan perundangan maupun penyelesaian konflik di lapangan.
Dari segi aturan, Rukka mencontohkan hingga saat ini pemerintah tak juga merampungkan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat.
Dari segi konflik di lapangan, di Baduy, misalnya, yang pakaian adatnya dikenakan langsung oleh Presiden Jokowi masih terdapat beberapa konflik yang melibatkan masyarakat adat seperti perusakan hutan oleh aktivitas penambang liar dan penetapan sepihak wilayah adat menjadi objek wisata.
Lantas, jika kenyataannya demikian, mengapa Presiden Jokowi menampilkan diri menggunakan pakaian adat?
Politik Simbol
Beberapa pihak menilai langkah Presiden Jokowi dalam mengenakan pakaian adat dalam pidato kenegaraan tersebut merupakan bentuk politik simbol.
Kimly Ngoun dalam tulisannya yang berjudul What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi memaparkan bahwa Presiden Jokowi memang terkenal sering kali memainkan simbol-simbol dalam tiap kesempatan.
Ia berpendapat, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memiliki kemampuan untuk mengonstruksi seperangkat simbol yang membedakan dirinya dengan pemimpin-pemimpin lain di Asia Tenggara.
Baca Juga: Sandiwara Jokowi di Pidato MPR?
Ngoun menilai cara Jokowi menumbuhkan kekuatan politiknya merupakan fenomena yang menarik untuk diamati. Menurutnya, strategi yang dipakai Jokowi tidak hanya membawa perspektif baru ke dalam kehidupan politik Indonesia, tetapi juga menantang pemahaman yang ada tentang kekuatan politik di Asia Tenggara.
Sejak awal kemunculannya, Jokowi dinilai sudah mahir memainkan politik simbol. Misalnya memakai pakaian sederhana dalam beberapa kesempatan, hingga rutin mengunjungi kelompok masyarakat kelas bawah dan mendengarkan langsung masalah mereka. Aksi terakhir popular dengan istilah “blusukan”.
Jokowi, menurut Kimly, membiarkan tindakannya berbicara lebih keras daripada kata-kata. Gambaran dirinya sebagai orang yang jujur, peduli, transparan, dan pendengar yang baik memberinya dukungan populer yang sangat besar hingga membuatnya memenangkan Pilpres pertamanya di 2014.
Mayer N. Zaid dalam Political and Symbol: A Review Article menyampaikan penggunaan simbol dalam politik dapat dianalisis dan dijelaskan sebagai bagian dari sejarah ide-ide, sebagai interaksi sistem budaya dan sosial, serta perubahan tingkat sosial-psikologis
Sepanjang masa kepemimpinannya, Jokowi kerap diduga mengirimkan simbol-simbol politik di momen-momen krusial.
Misalnya pada tahun 2016 ketika mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan safari politik “Tour de Java” dan mengkritik proyek infrastruktur pemerintah. Jokowi “membalasnya” dengan mengunjungi Kompleks Olahraga Hambalang, proyek yang membuat sejumlah elite Demokrat terjungkal karena skandal korupsi.
Di kesempatan lain, Jokowi dan jajaran kabinetnya pernah menggelar rapat terbatas di atas geladak kapal perang Imam Bonjol di Laut Natuna.
Rapat ini dilakukan hanya selang lima hari setelah KRI Imam Bonjol menangkap 12 kapal Tiongkok yang secara ilegal masuk teritorial Indonesia.
Rapat di tengah laut itu pun mengundang perhatian media asing. Time di hari itu juga langsung membuat headline dengan judul cukup provokatif, “Presiden Indonesia Jokowi Kunjungi Pulau Natuna untuk Mengirimkan Sinyal Kuat kepada Tiongkok”.
Pesan Gagal Tersampaikan?
Kembali ke dalam konteks pemakaian baju adat dalam pidato kenegaraan, berbeda dengan keberhasilan politik simbol yang dilakukan Jokowi sebelumnya, dalam kasus ini upaya simbolisasi yang dilakukan justru menimbulkan polemik dan berbagai protes.
Jika kita menganalisis berdasarkan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh KSP, pesan yang disampaikan Jokowi dalam pemakaian baju adat ini jelas untuk memberikan penghormatan dan penghargaan atas nilai-nilai adat suku Baduy secara khusus dan masyarakat adat secara luas.
Akan tetapi pesan tersirat tersebut tampaknya justru berbalik menjadi kecaman beberapa pihak.
Graeme Gill dalam dalam tulisannya yang berjudul Symbolism and Politics menyebut bahwa untuk dapat berhasil mencapai makna dan tujuannya, simbol-simbol yang ada harus dapat beresonansi dengan perspektif masyarakat.
Bagi penguasa, simbol itu harus dapat selaras dengan dasar intelektual dan emosional masyarakat serta diarahkan untuk mendapatkan dukungan bagi rezim, plus menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan.
Dalam kasus ini, pesan yang akan disampaikan Presiden Jokowi melalui pemakaian baju adat tampaknya berlawanan dengan perspektif masyarakat. Pesan keberpihakan, penghormatan dan penghargaan atas nilai-nilai adat yang ingin disampaikan tampaknya sangat jauh dari realita di lapangan.
Kembali merujuk pada temuan AMAN, ada dua masalah besar terkait masyarakat adat yang belum diselesaikan pada pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu masalah perundang-undangan dan konflik antara masyarakat adat melawan pemerintah dan penguasa di lapangan.
Dari segi permasalahan lapangan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat bahwa masyarakat adat yang ada di Indonesia sebagian besar dikriminalisasi, terutama sepanjang 2019.
Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Di Ambang Negara Represif?
Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI Rahma Mary mengatakan, dari catatan YLBHI, kebanyakan mereka yang dikriminalisasi adalah masyarakat adat yang dituduh sebagai pelaku pembakaran hutan.
Data lain dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut hanya dalam beberapa bulan, dari Maret sampai awal Juli 2020, telah terjadi 28 konflik agraria di Indonesia yang diikuti dengan tindakan “kriminalisasi” terhadap masyarakat adat.
Rentannya posisi masyarakat adat ini disebabkan karena belum ada kepastian hukum yang benar-benar melindungi dan berpihak kepada mereka.
Dalam hal ini perlu adanya perangkat hukum yang mengatur khusus tentang masyarakat adat. Masalahnya, karena belum adanya pengakuan terhadap masyarakat adat mengakibatkan tidak diakuinya wilayah adat dan jaminan keamanannya.
Perlu adanya perhatian dan keseriusan pemerintah untuk melindungi masyarakat adat yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) dianggap bisa menjadi solusi, namun prosesnya masih sangat lambat. Padahal RUU MHA telah masuk ke dalam prolegnas (program legislasi nasional) pada tahun 2013, 2017, dan 2020.
Kenyataanya, pengesahan RUU MHA masih juga tersalip oleh RUU lain seperti Undang-undang No. 11 tentang Cipta Kerja dan Revisi Undang-undang Minerba.
Kendala yang Ada
Dari segi politik, terdapat indikasi bahwa lambatnya pembahasan RUU MHA terjadi akibat besarnya kepentingan ekonomi-politik yang mewarnai prosesnya. Selain itu, terbitnya Undang-undang No. 11 tentang Cipta Kerja menambah panjang tantangan yang dihadapi MHA, khususnya dalam harmonisasi substansi RUU.
Disinyalir terdapat dua faktor yang menghambat percepatan pengesahan RUU MHA. Pertama, faktor ekonomi-politik, di mana saat ini mayoritas (55 persen) anggota DPR merupakan pebisnis (318 dari 575). Hal ini memperkuat indikasi terjadinya konflik kepentingan dalam penyusunan undang-undang, termasuk pada penyusunan RUU MHA.
Kedua, disahkannya UU Cipta Kerja beserta peraturan-peraturan turunannya berpotensi menambah panjang daftar masalah yang dihadapi MHA, sehingga pengakuan terhadap masyarakat adat semakin berjalan di tempat.
Baca Juga: Bilal, Jokowi dan Negara Penjaga Malam
Ketika DPR dianggap lambat dalam merealisasikan RUU ini, di sinilah peran pemerintah di bawah Presiden Jokowi harus turun. Pemerintah bisa menerapkan hukum responsif dengan menerbitkan Surat Perintah Presiden (Surpres) untuk mendesak parlemen agar segera mengesahkan peraturan ini.
Atau bahkan jika permasalahan sudah sangat mendesak, pemerintah bisa terlebih dahulu menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan (Jutlak) terkait beberapa peraturan terkait masyarakat adat yang dianggap tumpang-tindih dan merugikan masyarakat adat.
Untuk mewujudkan itu semua memang dibutuhkan “political will” yang cukup kuat dari pemerintah yang sampai saat ini kita belum melihat hal tersebut.
Mungkin hal inilah yang menyebabkan pesan yang disampaikan Presiden Jokowi secara simbolik justru berbalik.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut Presiden tak cukup sekadar bertindak simbolis karena sebagai kepala negara, segala bentuk atribut dan tindakannya dapat dimaknai politis.
Walaupun Presiden Jokowi telah melakukan ini berulang kali, namun jika terjebak pada aksi simbolis semata, Jokowi akan rentan mendapat stigma yang negatif.
Pada akhirnya, dalam kasus ini kita bisa lihat bahwa politik simbol yang disampaikan Presiden Jokowi memang cukup efektif untuk menyampaikan pesan simbolik ke publik, walaupun pesan ini tak melulu sesuai dengan tujuan awal yang diberikan, bahkan bisa berbalik menyerang pribadi sang pemberi pesan. (A72)