HomeNalar PolitikMencari Strategi ‘Indonesian Wave’ Sandiaga

Mencari Strategi ‘Indonesian Wave’ Sandiaga

Pengaruh budaya Korea Selatan (Korsel) sangat luar biasa. Indonesia pun sesungguhnya memiliki kekayaan budaya yang besar. Namun, mengapa kita masih tertinggal? Apa yang perlu dilakukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno untuk meniru kesuksesan Korsel?


PinterPolitik.com

Dewasa ini, siapa yang tidak mengenal istilah K-Pop dan Drakor? Ya, obrolan mengenai Korean pop-culture dan drama Korea ada di sekitar keseharian kita. Bahkan, jika kita tidak pernah mengikuti atau justru tidak menyukainya pun, konten-konten asal Korea Selatan (Korsel) bertebaran di berbagai platform media sosial – mulai dari Twitter, Instagram, YouTube, hingga TikTok.

Di Twitter sendiri, mulai dari Juli 2020 sampai Juni 2021 terdapat 7,5 miliar cuitan yang membicarakan tentang K-Pop, angka ini adalah jumlah terbanyak dalam kurun waktu satu tahun. Menurut data yang dikeluarkan Twitter, Indonesia adalah negara peringkat pertama yang paling sering membicarakan tentang topik tersebut, kemudian dengan Filipina di peringkat kedua.

Produk-produk budaya seperti K-Pop dan drakor ini di Korsel sendiri diberi julukan hallyu, atau gelombang Korea (Korean wave). Berdasarkan hasil pengumpulan data dari Korea Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE), semua produk hallyu telah berkontribusi meningkatkan ekonomi Korea Selatan (Korsel) dengan nilai ekspor di angka 9,48 miliar Dolar AS pada tahun 2018, dan 10,19 miliar dolar AS di tahun 2019.

Dari sektor pariwisata, sebelum merebaknya COVID-19, Korsel berhasil mencatat puncak baru jumlah pengunjung ke negaranya. Sebelum pandemi, industri pariwisata negara itu terus tumbuh dan sangat diuntungkan dari hallyu, yang mempromosikan tempat-tempat wisata di Korsel melalui latar belakang tempat klip video musik dan film drama. Pada 2019, Korsel membawa rekor jumlah turis sekitar 17,5 juta pengunjung.

Pesatnya perkembangan hallyu tidak semata-mata tanpa dukungan pemerintah. Kementerian Budaya Korsel pada tahun 2020 menyebutkan setidaknya negara ini akan menghabiskan 1,42 miliar Dolar AS sebagai dana investasi untuk mendorong kreativitas lokal dan meningkatkan penjualan global konten budaya Korsel.

Baca Juga: Menuju ‘Push Rank’ ala Sandiaga?

Keuntungan besar yang didapat dari adanya pergerakan hallyu, juga diwujudkan dengan adanya kementerian yang khusus mengurus tentang pengembangan K-Pop dan film-film Korea, yaitu Kementerian Kebudayaan Korsel. Untuk tahun 2022, bahkan anggaran untuk kementerian ini disebut ada di angka 6 milliar Dolar AS.

Lalu, bagaimana sebenarnya kacamata politik mengartikan dukungan pemerintah Korsel untuk hallyu? Dan, kira-kira, mengapa Korsel menganggap hallyu begitu penting?

Hallyu, Soft Power Korsel

Youna Kim dalam buku South Korean Popular Culture and North Korea menyebutkan bahwa sejak krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, pemerintah Korsel telah mengkaji ulang secara menyeluruh proses modernisasi ekonomi dan menargetkan ekspor budaya media populer sebagai inisiatif ekonomi yang baru.

Kemudian, Korsel menjadikan ini sebagai salah satu sumber utama pendapatan asing yang vital bagi kelangsungan dan kemajuan ekonomi negara. Dengan adanya arah kebijakan ini, Korsel juga berusaha mengurangi ketergantungannya pada produksi manufaktur – di bawah adanya ancaman persaingan bisnis dari Tiongkok.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Hasil penelitian Kim menunjukkan bahwa hallyu pada awalnya dimulai dari upaya sektor swasta, tetapi pemerintah kemudian memainkan peran kunci dalam kecepatan pertumbuhan. Infrastruktur politik sistematis yang ditetapkan oleh pemerintah dan strategi kelembagaan yang dikembangkan oleh industri budaya digabungkan untuk menghasilkan dorongan hallyu ke panggung global. Industri budaya Korea, menurut Kim, telah dikembangkan sebagai proyek nasional yang dapat bersaing dalam globalisasi, bukan melawannya.

Ini yang kemudian menjadikan budaya Korsel sebagai soft power. Kim dan Joseph Nye di buku yang sama mengartikan soft power sebagai kekuatan negara non-koersif yang memiliki rupa menarik secara keseluruhan. Berbeda dengan pendekatan politik antar-negara yang secara eksplisit menunjukkan masing-masing kepentingan negara, soft power lebih menekankan pada upaya menaikkan pamor suatu negara melalui hal-hal yang pada awalnya mungkin tidak disadari.

Contohnya, seperti ketika kita melihat ada drama Korsel yang menunjukkan latar belakang tempat di negaranya yang indah. Secara tidak sadar, kita akan memersepsikan Korsel sebagai negara maju yang indah, seperti yang ada di layar kaca, meski sesungguhnya di Korsel pun masih terdapat wilayah pemukiman kumuh.

Baca Juga: Prabowo Tak Sayang Sandiaga?

Atau dengan adegan di mana sang bintang film menggunakan merek kosmetik asal Korsel, secara sekilas mungkin kita melihat itu hanya advertorial biasa, namun sesungguhnya hal seperti ini juga dapat membantu tingkat ekspor barang kosmetik Korsel.

Di dalam pelaksanaannya, soft power ini menjadi amunisi untuk yang namanya cultural diplomacy atau diplomasi budaya. Milton Cummings Jr dalam tulisan Cultural Diplomacy and the United States Government mendefinisikan diplomasi budaya sebagai penyampaian ide, informasi, seni, dan aspek budaya lainnya di antara negara-negara dan masyarakatnya untuk mendorong adanya rasa saling pengertian, meningkatkan kerja sama sosial budaya, dan mempromosikan kepentingan nasional.

Diplomasi budaya dengan demikian berfungsi sebagai pembuka jalan bagi negara-negara untuk mempromosikan kepentingan nasional mereka dan membangun hubungan yang menguntungkan dengan negara lain. Tentu, kepentingan nasional yang dimaksud di sini juga berarti kepentingan ekonomis, seperti perdagangan misalnya.

Sebagai contoh, kembali lagi menyinggung kosmetik Korsel, hallyu dikenal dengan model-modelnya yang berpenampilan menarik yang menggunakan merek asal Korsel, seperti The Face Shop dan Nature Republic. Karena hal ini, Korsel mampu menjadi salah satu negara eksportir barang kosmetik terbesar di dunia. Pada tahun 2019, bahkan, survei dari Observatory Economic Complexity (OEC) mencatat Korsel sebagai eksportir kosmetik terbesar ketiga.

Lalu, apakah semangat ekonomi budaya kreatif ini dapat ditiru oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kita memiliki lembaga yang khusus mengatur tentang ekonomi kreatif, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang kini dikomandoi oleh Sandiaga Uno. Apakah sama dengan yang ada di Korsel?

Apa yang Bisa Indonesia Pelajari?

Indonesia sebagai negara yang penuh akan kreativitas sesungguhnya memiliki modal untuk menciptakan doktrin yang mirip dengan hallyu. Akan tetapi, masih banyak yang perlu kita pelajari dalam mengembangkan ekonomi kreatif.

Selain dari adanya dukungan investasi yang kuat dari pihak swasta dan pemerintah, kesuksesan hallyu modern dimulai dari pendirian Korea Culture and Content Agency (KOCCA) yang didirikan pada tahun 2002. Ini adalah sebuah badan yang didedikasikan untuk mendorong ekspor konten budaya dan membantu budaya Korsel mengembangkan strategi marketing global. Selain sebagai pendukung, KOCCA juga berperan dalam proses perekrutan kandidat musisi yang dijalankan agensi hiburan yang sudah terdaftar.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Baca Juga: Gelombang Tempe ala Sandiaga Uno?

KOCCA di sisi lain juga menjalin kemitraan dengan Bank Ekspor-Impor Korea. Dengan demikian, lembaga konten kreatif ini mampu memberikan pinjaman kepada perusahaan kecil yang memproduksi produk budaya seperti musik, acara TV, film, video gim, dan serial animasi. Untuk menjamin pengorganisasian dan keamanan, agensi hiburan di Korsel juga harus terdaftar secara resmi di KOCCA.

Berbeda dengan lembaga ekonomi kreatif di Indonesia, yaitu Kemenparekraf, KOCCA tidak diatur secara struktural di bawah kementerian – melainkan istilahnya adalah agensi berafiliasi pemerintahan. Oleh karena itu, KOCCA memiliki keleluasaan untuk fokus pada manajemen konten budaya layaknya sebuah induk perusahaan, meskipun masih bergerak di bawah regulasi pemerintahan.

Selain itu, meskipun Kemenparekraf sudah mengeluarkan beberapa program inkubasi ekonomi kreatif, Indonesia masih belum memiliki doktrin ekonomi kreatif atau diplomasi budaya yang kuat, seperti yang dimiliki Korsel dengan adanya hallyu. Di sisi lain, inkubasi di KOCCA juga tidak hanya berisi pelatihan dan mentoring saja, tetapi ada juga proses seleksi yang dijalankan oleh masing-masing agensi hiburan – seperti YG Entertainment, JYP Entertainment, dan juga SM Entertainment. Oleh sebab itu, kualitas yang dihasilkan pun bisa terjaga.

Kemenparekraf yang dulunya terdiri dari dua lembaga, yaitu Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun rasanya perlu dikritik jika Indonesia ingin memiliki doktrin budaya yang kuat karena telah mencampurkan pekerjaan rumah sektor pariwisata dengan pengembangan ekonomi kreatif. Sebagai catatan tambahan, Sandiaga Uno sebelum menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) juga sempat tidak setuju adanya penggabungan dua badan negara ini.

Oleh karena itu, walaupun ekonomi kreatif Indonesia, seperti musik, mulai memiliki nama besar internasional – contohnya NIKKI dan Rich Brian, kita akan masih mengalami kesulitan dalam menjaga kesatuan tujuan yang dapat membawa kepentingan negara karena fokus lembaganya saja masih terbagi-bagi. Dari sini, sepertinya jika Indonesia memang ingin membuat sektor budaya sebagai soft power yang kuat, kita tidak cukup hanya memberikan pendanaan dan dukungan moral saja, tetapi pemerintah juga harus menciptakan sebuah doktrin budaya yang dapat menjadi tujuan bersama.

Hal ini bisa diwujudkan dengan adanya pendirian kembali lembaga yang diberikan mandat khusus mengatur tentang ekonomi kreatif dan diplomasi budaya Indonesia karena, sesungguhnya, budaya Indonesia itu sangat kaya, yang perlu dilakukan adalah membuat wadah yang memadai sekaligus membuat doktrin diplomasi budaya dengan nama Indonesian Wave. (D74)

Baca Juga: Saatnya Sandiaga Bangkitkan Film Indonesia


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin?