Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang diberi nama Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3). Disebutkan juga bahwa Wakil Presiden akan memimpin langsung badan tersebut. Mengapa Ma’ruf Amin yang ditunjuk?
Kamis, 15 Juli kemarin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua.
Melihat isi UU, ada beberapa poin krusial yang mendapat sorotan dari publik, di antaranya adalah soal pemekaran daerah, dana otsus yang diperpanjang hingga 2041, hingga pembentukan suatu badan khusus yang diberi nama Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3) dan akan diketuai Wakil Presiden.
Terkait pembentukan suatu badan khusus di Papua, publik sendiri bertanya-tanya apa tujuan didirikannya badan khusus tersebut? Seperti apa mekanisme kerjanya? dan yang paling banyak ditanyakan adalah apa yang mendasari ditunjuknya Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai ketua?
BK-P3, Jadi Alat pengendali?
Revisi UU Otsus Papua yang baru disahkan mengamanatkan pembentukan badan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi khusus dan pembangunan di tanah Papua. Hal itu tertuang dalam Pasal 68A RUU Otsus Papua.
“Dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua, dibentuk suatu badan khusus yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden,” demikian bunyi Pasal 68A ayat (1).
Terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) lembaga ini secara detail publik pun masih belum bisa mengetahui secara lebih dalam. Karena ketentuan lebih lanjut mengenai tupoksi lembaga ini masih menunggu terbitnya peraturan pemerintah (PP) yang akan dibuat paling lambat 90 hari sejak UU disahkan.
Akan tetapi jika dilihat dari isi dalam pasal dan penjelasan awal yang diberikan panitia khusus (pansus), tampaknya lembaga ini nantinya akan lebih berfungsi sebagai “pengawas” dari implementasi otsus di Papua.
Hal ini kiranya sesuai dengan evaluasi yang disampaikan pada rapat-rapat pansus sebelumnya bahwa implementasi otsus jadi permasalahan utama “kegagalan” otsus di Papua.
Ketua Pansus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun memaparkan kehadiran badan khusus ini karena Pansus dan pemerintah menyadari adanya banyak program yang dilakukan di kementerian/lembaga di Papua tidak sinkron dan harmonis.
Oleh karena itu, ia berharap kehadiran lembaga baru tersebut dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua.
Baca Juga: Sulit Jokowi Selesaikan Isu Papua
Hal senada diungkapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengatakan bahwa kehadiran lembaga tersebut merupakan bentuk keberpihakan pemerintah ke Papua.
Namun segala pembelaan tersebut dibantah langsung oleh Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotus Murib yang secara umum menganggap Revisi UU Otsus dengan segala pembaharuannya hanya berdasar pada keinginan pemerintah pusat.
Beberapa pihak juga menilai keberadaan UU Otsus baru dan kehadiran dari lembaga ini tidak lebih hanya sebagai “alat pengendali” bagi Jakarta untuk mengontrol Papua.
Terkait hal ini, Ehito Kimura dalam buku Political Change and Territoriality in Indonesia pernah memberikan gambaran tentang kondisi politik di Indonesia pasca reformasi terutama sejak diberlakukan desentralisasi.
Soal Papua, Ehito dalam salah satu bab bukunya memaparkan bahwa fragmentasi teritorial yang terjadi di Papua bermula di tingkat nasional. Elite nasional sengaja membagi-bagi wilayah untuk memadamkan gerakan separatis serta untuk memperkuat kontrol mereka atas sumber daya alam di kawasan itu.
Secara konkret menurut Kimura pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis pasca reformasi dan pelaksanaan desentralisasi justru membuka peluang yang lebar bagi para aktor politik di tingkat nasional untuk menguasai Papua.
Di antaranya dengan membangun hubungan secara vertikal dengan aktor-aktor di daerah dengan berbagai cara, seperti melalui pemekaran wilayah baru dan “mengendalikan” sejumlah lembaga terkait di Papua.
Lantas jika anggapan itu benar, mengapa Ma’ruf Amin yang ditunjuk sebagai ketua badan khusus?
Kenapa Ma’ruf Amin?
Pertanyaan ini memang terus menggantung hingga saat ini mengingat pansus belum memberikan alasan terkait ditunjuknya Wapres menjadi Ketua BK-P3.
Dalam studi ilmu politik dan hubungan internasional dibutuhkan analisis mendalam untuk mengkaji sebuah fenomena politik terkait dipilihnya seorang aktor politik untuk menduduki jabatan tertentu.
Dalam sebuah penelitian, hal tersebut bisa dikaji menggunakan teori level of analysis. Menurut profesor hubungan internasional di London School of Economics Barry Buzan, level of analysis merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan sistem.
Sehingga definisi dari level analisis adalah seperangkat unit-unit yang saling berinteraksi di dalam sebuah struktur.
Sedangkan menurut Valerie Hudson, teknik level analisis dapat membantu menganalisa dinamika politik beserta faktor penyebab, tingkah laku pemimpin, karakter negara, serta objek lainnya.
Dalam kasus ini kita akan mencoba menggunakan level analisis pertama, yaitu level analisis individu terkait terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai Ketua BK-P3.
Pada level analisis ini fokus penelitian ada pada manusia sebagai aktor. Yang diperlukan tentunya pemahaman akan beragam faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang individu (human nature).
Dalam konteks Ma’ruf, agak sulit sebenarnya menganalisis mengenai sudut pandang yang bersangkutan dalam membuat kebijakan hingga menilai sejauh mana kebijakan yang dibuat berpengaruh terhadap kondisi negara.
Ma’ruf Amin sendiri dalam kapasitasnya sebagai Wapres selama ini disebut-sebut tidak banyak terlibat dalam pengambilan keputusan negara.
Presiden Jokowi sendiri pernah memaparkan bahwa dirinya menugaskan Ma’ruf untuk menangani persoalan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Namun nyatanya keterlibatan peran Ma’ruf dalam isu-isu tersebut pun tak tampak. Selama ini Ma’ruf justru lebih banyak berkomentar mengenai persoalan syariah.
Apa yang dialami Ma’ruf ini sebenarnya merupakan fenomena yang cukup jamak terjadi. Fenomena ini bahkan memiliki istilahnya sendiri, yakni kutukan wakil presiden (the curse of vice presidency).
Michael Nelson dalam tulisannya di The American Prospect mengatakan konteks kutukan tersebut terjadi kala kekuatan politik seorang tokoh cenderung melemah ketika ia menjabat sebagai wakil presiden. Di banyak negara demokrasi, bahkan termasuk Amerika Serikat (AS), posisi wapres pada kenyataanya memang dianggap lemah.
Baca Juga: Jusuf Kalla, Kunci Masalah Papua
Hal ini berbeda jauh dengan kondisi saat Wakil Presiden masih diemban Jusuf Kalla (JK). Misal pada masa periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), JK diberi tugas untuk memimpin berbagai penanganan bencana yang terjadi saat itu.
Mudah untuk menganalisis mengapa JK yang mendapat mandat tugas tersebut. Itu karena track record dan keberhasilan JK dalam menangani persoalan tsunami Aceh.
Contoh lain adalah ketika JK dipercaya menjadi juru runding perdamaian Aceh. Kepercayaan ini didapat JK karena track record-nya yang terkenal selalu mengedepankan sudut pandang diplomasi dan dialog dalam penanganan konflik.
Lain halnya dengan Maruf Amin, dalam kasus ini kita sulit menganalisis mengenai sudut pandang yang bersangkutan dalam membuat kebijakan, khususnya terkait Papua.
Mungkin salah satu yang bisa menjadi acuan adalah pernyataan Presiden Jokowi ketika awal menjabat yang akan menugaskan Ma’ruf untuk fokus menangani persoalan SDM dan ekonomi.
Hal ini sedikit banyak mungkin bisa dikaitkan dengan tujuan awal dibentuknya BK-P3 jika memang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua.
Karena selama ini alasan mengapa Otsus Papua gagal versi pemerintah adalah ada pada tahap implementasinya. Mungkin untuk itulah Wapres Ma’ruf Amin ditugaskan untuk memastikan SDM yang ada di Papua tepat sasaran dalam mengimplementasikan otsus.
Atau karena soal ekonomi, sepeti yang diketahui beberapa saat lalu, Wapres Ma’ruf juga ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Ketua Dewan Pengarah Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Jika dua kemungkinan itu benar, hal ini sementara mematahkan anggapan bahwa kehadiran BK-P3 tersebut berperan sebagai “alat pengendali” pemerintah pusat untuk mengendalikan Papua, terutama dari segi politik, hukum, dan keamanan.
Sebab misal pemerintah pusat ingin melakukan hal tersebut idealnya mereka menempatkan sosok yang berpengalaman dalam pengondisian situasi semacam itu.
Well, kita tentu berharap hadirnya BK-P3 dan keberadaan Wapres Ma’ruf Amin di Papua adalah sebuah niat baik dari pemerintah untuk merubah pendekatan di Papua, dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan kesejahteraan.
Ini sekaligus juga melunasi janji Presiden Jokowi untuk “menghadirkan” Istana di Papua. Mengingat dalam aturan, disebutkan lembaga ini nantinya akan berkantor di Papua.
Apa pun itu, saat ini kita hanya bisa menganalisis sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur terkait keberadaan lembaga ini secara lebih detail.
Baca Juga: Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?
Setidaknya dengan tugas baru ini Ma’ruf Amin secara perlahan melepaskan stigma “King of Silent” yang belum lama ini dilekatkan kepada dirinya. (A72)