Berdasarkan gelar kajian akademis yang dilakukan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo ditemukan fakta bahwa penerapan program Single Identity Number (SIN) Pajak akan membantu meningkatkan optimalisasi penerimaan negara. Keberadaan SIN Pajak juga di klaim dapat menghindari korupsi sistemik. Benarkah demikian?
Usulan untuk menerapkan Single Identity Number (SIN) Pajak kembali menguat ditengah upaya revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang dibahas di DPR saat ini. Beberapa pihak termasuk Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ikut mengusulkan wacana ini.
Megawati mencontohkan pada era pemerintahannya, SIN pajak terbukti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Megawati menyatakan jika sistem tersebut diterapkan kembali dengan diperkuat dengan basis data yang lebih modern, ada unsur dan manfaat lebih luas yang bisa dicapai dari SIN pajak.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Periode 2001-2006, Hadi Poernomo membenarkan pernyataan Megawati soal SIN Pajak, bahkan Hadi memaparkan pernyataan dari Megawati bukan sekadar klaim semata.
Hadi Poernomo sendiri dalam penelitianya selama beberapa tahun terakhir juga menemukan fakta ilmiah bahwa penerapan Single Identity Number (SIN) Pajak dapat memberikan solusi konkret dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan, di antaranya peningkatan tax ratio dan pencegahan korupsi sistemik. Benarkah demikian?
Dari Soekarno ke Megawati
Single Identity Number (SIN) Pajak sendiri secara umum terinspirasi dari konsep transparansi pajak era Presiden Soekarno yang dibuat pada tahun 1965. Bung Karno pada saat itu menekankan soal kewajiban tak ada rahasia untuk perpajakan. Bung Karno menggambarkannya lewat hubungan suami istri yang harus selalu terbuka apa adanya.
Hal tersebut dibenarkan sendiri oleh Hadi Poernomo yang telah menjadi pegawai pajak sejak tahun 1965. Terkait hal tersebut Hadi pun masih ingat betul konsep yang disampaikan Soekarno.
Baca Juga: SIN, Solusi Pencegahan Korupsi?
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri konsep transparansi perpajakan era Soekarno itu dihidupkan lagi, Hadi Poernomo yang menjabat Dirjen Pajak saat itu mengusung kembali konsep transparansi tersebut dalam bentuk “SIN Pajak”.
Hasilnya pada saat itu tax ratio Indonesia naik. Hadi pun tercatat sebagai satu-satunya Dirjen Pajak pasca era reformasi yang berhasil melampaui target penerimaan pajak bahkan hingga saat ini.
Jika ditarik ke belakang, Hadi menceritakan pada saat menjabat sebagai Dirjen Pajak, ia telah mengusulkan untuk membuat bank data pajak (tax database) dengan menggunakan big data sebagai basis untuk memperkuat program SIN Pajak ke depanya.
Saat itu pula diinisiasi pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi secara online antar kementrian dan unit terkait. Namun ide besar tersebut hingga saat ini urung terlaksana karena berbagai faktor, di antaranya faktor politik (bergantinya kepemimpinan presiden) hingga faktor pengaruh lembaga asing yang menghambat.
Hadi mengusulkan sistem SIN Pajak dijalankan kembali dengan mengintegrasikan data-data wajib pajak ke dalam sebuah sistem bersama berupa bank data pajak (tax database) dengan ditandai oleh rangkaian angka unik.
Integrasi data individu ini disebut bakal bisa memberikan pengawasan terhadap sistem pajak dan membatasi “rahasia” yang bisa saja muncul antara wajib pajak dan petugas pajak.
Jika dilihat dalam konteks kasus korupsi, berdasarkan hasil penelitian disertasi yang Hadi lakukan, ditemukan bahwa uang atau harta baik dari sumber yang legal maupun ilegal selalu digunakan dalam tiga sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan.
Dalam konsep SIN Pajak, tiga sektor tersebut wajib memberikan data dan terhubung secara sistem dengan sistem perpajakan. Artinya uang dari sumber yang legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara sempurna dalam sistem perpajakan. Jadi penerapan dari SIN Pajak tersebut berdasarkan hasil kajian ilmiah terbukti dapat mencegah korupsi sistemik antar sektor.
Hambatan Penerapan
Meskipun secara de jure konsep SIN Pajak ini telah memiliki landasan yang kuat, namun secara de facto SIN Pajak ini belum dapat terlaksana. Terdapat beberapa hambatan yang menghalangi penerapan dari kebijakan ini.
Pertama, menurut Hadi adalah persoalan KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi) antar departemen/lembaga yang kurang berfungsi. Hal ini disebabkan oleh ketentuan undang-undang (UU) yang belum mengatur terkait dengan akses Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap transaksi keuangan.
Kedua, adanya regulasi-regulasi lain yang memberikan ketentuan kerahasiaan, antara lain Keppres Nomor 68/1983 tentang Deposito. Ketiga, adanya inkonsistensi regulasi. Keempat, adanya anggapan bahwa SIN Pajak merupakan data mati dan mahal.
Menurutnya, inkonsistensi regulasi menjadi salah satu penyebab utamanya. Hadi mencontohkan dalam inkonsistensi terjadi pada peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP), yang diturunkan kembali dalam peraturan menteri serta surat edaran.
Baca Juga: SIN Pajak, ‘Obat’ Sri Mulyani?
Aturan-aturan tersebut secara jelas membuat pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya subdelegasi aturan yang tidak sesuai kaidah, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai. Akibatnya tujuan dan sasaran dari UU yang mengaturnya tidak dapat terlaksana dengan baik.
Terkait hal ini Adam Smith dalam The Wealth of Nations sudah menekankan sejak awal terkait pentingnya konsistensi dari dasar hukum yang mengatur tentang pajak. Adam Smith juga menjelaskan bahwa pemungutan pajak harus diatur dalam undang-undang yang jelas dan memiliki kekuataan yang mengikat. Tujuannya adalah agar pemungutan pajak tetap dalam bingkai yang benar.
Jadi jika masih terdapat inkonsistensi pada dasar hukum yang mengatur terkait pajak, maka sulit menerapkan sistem baru yang bertujuan untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak itu sendiri.
Pada kenyataanya payung hukum yang mengatur regulasi pajak di Indonesia sangat bertentangan dengan prinsip hukum progresif itu sendiri. Ahli hukum Prof Satjipto Rahardjo memaparkan hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, “legal science is always in the making”.
Prinsip hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Jadi, hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil.
Langkah Selanjutnya?
Dalam waktu dekat Hadi menyarankan kepada pemerintah untuk segera membangun big data dalam bentuk bank data pajak (tax database).
Seperti yang diketahui, dalam draft revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang dibahas di DPR, pemerintah mengusulkan program peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak. Namun Hadi menyarankan pemerintah untuk membangun bank data pajak terlebih dahulu sebelum memulai kebijakan pengungkapan aset sukarela yang telah diusulkan dalam revisi UU KUP.
Jika telah mempunyai basis data yang kuat dalam bank data pajak, penerapan dari SIN Pajak akan berjalan lebih efektif. Kalaupun nantinya konsep SIN Pajak ini tidak digunakan, Hadi mengatakan keberadaan bank data yang kuat tetap penting karena menjadi konsekuensi yang harus dipenuhi ketika negara menerapkan sistem pajak self assessment.
Dengan bank data tersebut, lanjutnya, otoritas dapat memastikan tidak ada kekeliruan atas aset yang dilaporkan wajib pajak.
Hadi mengatakan semua UU KUP yang telah terbit dan tengah dirancang saat ini belum memuat ketentuan yang mengakomodasi akses informasi keuangan, kecuali Pasal 35A UU 28/2007. Namun demikian, ada UU 9/2017 yang mendukung pembentukan basis data perpajakan.
Menurut Hadi, presiden dapat menerbitkan peraturan pemerintah (PP) untuk membentuk bank data sebelum menjalankan Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 37H, dan Pasal 37I RUU KUP yang memuat ketentuan fasilitas pajak kepada wajib pajak.
Seperti yang diketahui, RUU KUP yang sedang dibahas saat ini mempunyai tujuan utama untuk mengejar target penerimaan pajak.
Baca Juga: Sri Mulyani, Pajak, Revolusi?
Keberadaan SIN Pajak sendiri dapat menjadi alternatif solusi dari kebutuhan akan peningkatan kemampuan fiskal. Seperti yang diketahui selama pandemi Covid-19 penerimaan pajak negara merosot tajam.
Pada akhirnya dalam kondisi pandemi saat ini solusi yang ditawarkan oleh SIN Pajak terlihat lebih relevan dari apa yang ditawarkan dalam draft RUU KUP yang mewacanakan untuk memberi pajak ke barang kebutuhan pokok sampai pendidikan yang akan berdampak langsung kepada masyarakat kecil.
Harapan kita tentunya kehadiran dari SIN Pajak nantinya dapat meningkatkan optimalisasi keuangan negara dan mencegah korupsi sistemik. (A72)