HomeNalar PolitikSudahkah Puan Setara Megawati?

Sudahkah Puan Setara Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri menyampaikan wacana regenerasi total bagi partai yang telah dipimpinnya sejak dekade 90-an. Perhatian tertuju kepada Puan Maharani, putri sang Ketum yang disinyalir menjadi kandidat kuat regenerasi tersebut, utamanya pada level pucuk kepemimpinan. Lantas, sejauh mana kemampuan dan kredibilitas Puan saat ini untuk dapat menyongsong rencana regenerasi PDIP?


PinterPolitik.com

Pesan yang dianggap bermakna mendalam baru saja disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Di sela-sela peresmian kantor DPP dan DPC partai di berbagai daerah secara teleconference, Bu Mega – sapaan akrabnya – mengucapkan rencana melakukan regenerasi partai secara total pada tahun 2024.

Secara gamblang Bu Mega menggunakan kata “pada” yang berarti rencana tersebut secara harfiah baru akan dilaksanakan 4 tahun dari sekarang. Tentu pernyataan ini dinilai bukan tanpa kalkulasi, mengingat periode pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif yang “dikuasai” PDIP saat ini pun berakhir pada periode yang sama.

Yang juga menarik, Megawati pada kesempatan yang sama juga menyampaikan harapan eksistensi dan kemajuan negara yang ia harapkan bisa lebih dari seribu tahun, selaras dengan ekspektasi personalnya agar PDIP pun dapat melakukan hal yang sama sebagai alat perjuangan bangsa.

Jika dilihat dari bilah sisi yang lain, signifikansi rencana besar sang putri Proklamator terhadap harapan soliditas serta kelanggengan PDIP, juga dapat dimaknai sebagai gejala tertentu terkait dengan internal partai serta dinamika politik yang terjadi sejauh ini.

Hal tersebut identik dengan sebuah postulat mengenai political confidence atau kepercayaan diri secara politik dari sebuah organisasi partai politik (parpol) yang dikemukakan Arthur Miller dan Ola Listhaug dalam publikasinya yang berjudul Political Parties and Confidence Political Parties and Confidence in Government.

Dikatakan oleh Miller dan Listhaug, dalam sebuah sistem multipartai, political confidence parpol yang sedang memegang kendali di pemerintahan sangat dipengaruhi oleh aspek functioning atau fungsi dan outcome atau kinerja dari pemerintah itu sendiri.

Mengacu pada apa yang disampaikan Miller dan Listhaug tersebut, Megawati dinilai memahami bahwa political confidence PDIP sedang menurun ketika berkaca pada fungsi dan kinerja internal, maupun perpanjangan tangan partai dan koalisi yang dipimpinnya di pemerintahan saat ini yang direspon kurang positif di mata publik.

Tak sulit kiranya untuk menyebutkan sampel konkret tendensi minor yang dinilai berpengaruh pada degradasi kepercayaan diri PDIP secara organisasi tersebut. Mulai dari bagaimana Presiden Jokowi, yang seorang kader PDIP, beserta koalisi di pemerintahan yang tampak masih “keteteran” menangani pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya.

Hingga kasus Harun Masiku yang semakin memanas setelah Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan sempat berkomitmen akan membongkar kasus suap tersebut, termasuk indikasi keterlibatan sistematis PDIP di dalamnya.

Belum lagi isu minor terkait dinasti politik yang membayangi PDIP pada Pilkada 2020 mendatang, yang juga merembet pada intrik internal partai sendiri dalam kontestasi pencalonan kandidat yang layak dan akan bertarung.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Pada kulminasi ini Megawati agaknya berusaha meredam gejolak yang ada dengan sebuah rencana regenerasi serta harapan soliditas internal partai. Terlebih ketika berbicara regenerasi, nama Puan Maharani menjadi kandidat kuat suksesor Bu Mega, yang dinilai keberadaan serta romansa trah Soekarno dapat menimbulkan dan memperbaiki persatuan partai.

Lalu, apakah Puan, sebagai salah satu kandidat terkuat dari rencana regenerasi PDIP telah memenuhi syarat untuk menggantikan kepemimpinan sang Ibunda yang telah hampir tiga dekade menjabat?

Puan Unggul Mutlak Secara Elementer?

William Liddle bersama Saiful Mujani dalam sebuah publikasi yang berjudul Party Identity and Political Leaders, mengkaji dan menyiratkan bagaimana karakteristik pemimpin parpol yang berbanding dengan identitas organisasinya di Indonesia. Liddle dan Mujani menyebutkan dua variabel yang jadi penentu eksistensi pemimpin parpol di Indonesia, yakni party identity atau identitas partai serta political socialization atau sosialisasi politik.

Secara identitas partai, PDIP sulit untuk dilepaskan dari sosok Megawati Soekarnoputri yang tak tergantikan sebagai Ketua Umum sejak tahun 1993. Hal ini dinilai memberikan efek mengakar yang kuat. Seperti yang dikatakan pula oleh Liddle dan Mujani bahwa Megawati effect, dengan identitas trah Soekarnonya, sangat kuat dan signifikan secara substantif.

Bahkan Aria Bima, salah satu politikus elite PDIP, pernah mengatakan bahwa faktor kepemimpinan trah Soekarno-lah yang menjadi pemersatu internal terkuat partai selama ini.

Oleh karena itulah, dengan kecenderungan trah Soekarno tersebut, Puan yang notabene merupakan penerus trah Soekarno paling “aktif” secara politik dibanding saudaranya, Prananda Prabowo, akan menjadi opsi suksesor paling terdepan dalam proses regenerasi PDIP.

Sementara jika dilihat dari aspek political socialization, yang dikatakan oleh Liddle dan Mujani sebagai kemampuan pimpinan parpol dalam merangkul berbagai kepentingannya di level tertinggi, sosok Puan memang dianggap belum seberapa jika dibandingkan eksistensi politisi PDIP lain non-trah Soekarno yang lebih senior dan mumpuni dalam aspek ini. Sebut saja seperti Maruarar Sirait, Pramono Anung ataupun Hasto Kristiyanto.

Apalagi saat kandidat pemimpin partai diluar trah Soekarno semakin ramai dengan mengemukanya nama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) saat ini, Budi Gunawan yang identik dengan orang kepercayaan Megawati dengan “kemampuan istimewa”. Lalu ada pula suara yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi juga tengah dibidik sebagai suksesor Mega di pucuk tertinggi partai banteng.

Meskipun dari segi usia telah cukup senior, definisi regenerasi yang disampaikan dan dimaksud Megawati juga dinilai tak menutup kemungkinan bagi sosok yang kenyang pengalaman namun lebih segar dari dirinya. Nah, pada persimpangan inilah kalkulasi menjadi menarik soal aspek mana yang nantinya akan lebih dominan sebagai penentu regenerasi PDIP ke depan.

Namun jika secara objektif fokus pada esensi PDIP sebagai parpol yang cukup kuat di tanah air karena faktor Megawati, aspek identitas politik tampaknya akan lebih menentukan. Dan dalam hal ini, Puan lah yang memiliki kans terbesar dengan kalkulasi political socialization dapat didelegasikan atau dikonsolidasikan bersama.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Lalu, akankah langkah Puan akan berjalan mulus untuk menjadi focal point dari regenerasi PDIP? Dan sejauh mana ia bisa mengakomodasi internal partai dengan pengalamannya yang dinilai belum paripurna?

Friksi Intangible

Tak dapat dipungkiri dalam organisasi apapun, terlebih lagi bagi sebuah parpol, intrik internal seperti telah menjadi sebuah kodrat sejati. Khusus untuk PDIP, friksi internal bahkan eksis belum lama ini saat kandidat pesta demokrasi Kota Solo menjadi tarikmenarik di antara nama F.X. Hadi Rudyatmo, Achmad Purnomo, dan Gibran Rakabuming Raka. Intrik pun berakhir dengan kemenangan nama terakhir.

Friksi internal sebuah parpol sendiri dikaji oleh Ann-Kristin Kölln dan Jonathan Polk dalam How Internal Disagreements Affect the Success of Political Parties: Evidence from Sweden. Kölln dan Polk menyebutkan dinamika kebijakan dan manifesto partai, kepemimpinan, serta pemilihan kandidat menjadi pangkal dari sebuah keretakan internal sebuah parpol yang jika dibiarkan akan menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Kajian friksi internal parpol yang Kölln dan Polk sebutkan pun faktanya memang dialami pula oleh PDIP jika berkaca pada intrik yang terjadi di Solo serta di beberapa daerah lainnya.

Itu baru level daerah. Pada level elite, friksi internal PDIP terkait intrik Masinton Pasaribu, Adian Napitupulu, hingga pendongkelan Rieke dari Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR seolah mengerosi soliditas partai. Hal ini menjadikan kunci regenerasi PDIP kali ini tak sesederhana meneruskan romansa trah Soekarno, tetapi juga kemampuan untuk mengakomodasi dan mencari solusi bagi keretakan internal yang ada.

Puan mungkin sedikit tak bisa jumawa sekaligus dipertanyakan kapabilitasnya atas friksi yang bisa kapan saja terjadi itu. Semakin pelik bagi Puan karena selama ini prestasi personalnya dinilai masih minim dan bayang-bayang sang Ibu dan Kakeknya-lah yang dinilai mengangkat namanya, termasuk pada jabatan Ketua DPR saat ini.

Juga, kharisma dan wibawa trah Soekarno yang dimiliki Megawati seperti yang disebut oleh Andreas Ufen dalam Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’, tampak belum terlihat dari sosok Puan.

Serangkaian tendensi itulah yang membuat ekspektasi terhadap Puan sebagai simbolisasi regenerasi PDIP memiliki tantangan tersendiri. Akan tetapi, prerogatif dari Megawati-lah yang memang disinyalir akan menjadi faktor X dan akan berpengaruh signifikan pada keputusan akhir rencana regenerasi tersebut.

Namun, alangkah baiknya jika pemilihan posisi vital pimpinan parpol dalam demokrasi berlandaskan asas proporsionalitas. Karena bagaimanapun, sosok tersebut, baik secara langsung dan tidak langsung berkontribusi menentukan kebijakan yang berpengaruh terhadap rakyat sebagai subjek kepentingan parpol yang sesungguhnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?