Peraturan Presiden (Perpres) terbaru Joko Widodo (Jokowi) tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) tak lagi mencantumkan Badan Intelijen Negara (BIN) dibawah koordinasi kementerian besutan Mahfud MD. Lantas, apakah Perpres ini akan membuat BIN menjadi lebih maksimal atau justru ada kalkulasi politik tertentu dibelakangnya?
PinterPolitik.com
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang tidak lagi mengkoordinasikan Badan Intelijen Negara (BIN), serta digaungkan untuk memberikan ruang bagi presiden sebagai klien tunggal lembaga telik sandi itu dinilai sejumlah pihak tak akan jauh berbeda dengan mekanisme yang telah ada sebelumnya.
Namun hal tersebut tidak sejalan dengan Deputi VII BIN, Wawan Purwanto yang melihat bahwa secara umum, Perpes tersebut akan memperkuat sekaligus memperketat rahasia informasi serta menyederhanakan laporan kepada presiden sebagai komando tertinggi BIN.
Sementara Wakil Ketua MPR, Syarif Hasan menyebut selain dapat memaksimalkan efektivitas dan efisiensi, Perpres terbaru yang menasbihkan seorang presiden sebagai klien tunggal diharapkan dan disiratkan akan berkontribusi membuat BIN dapat menyamai level mekanisme koordinasi entitas intelijen mumpuni dunia seperti Central Intelligence Agency (CIA) yang berada di bawah Presiden Amerika Serikat (AS), Joint Intellegence Committee (JIC) di bawah Perdana Menteri Inggris, dan Intelijen SVR di bawah Presiden Rusia.
Menarik agaknya ketika memang selalu ada ekspektasi publik bahwa Indonesia dapat memiliki entitas intelijen mumpuni, yang berperan signifikan dalam kepentingan kemajuan bangsa seperti salah satu sampel yang disebut Syarif Hasan yakni CIA. Lalu pertanyaan mengemuka terkait mengapa CIA seolah akan terbersit pertama kali di benak siapapun ketika berbicara sebuah unit intelijen yang hebat? Dan apakah Perpres terbaru Jokowi cukup untuk membuat BIN jauh lebih mumpuni seperti CIA?
Dalam sebuah tulisan yang berjudul Why Releasing the CIA Torture Report Will Make America Stronger, Fareed Zakaria menjelaskan beberapa kunci kesuksesan CIA sebagai entitas intelijen eksternal AS yang bahkan perannya dapat meruntuhkan strategi intel ala KGB Uni Soviet saat Perang Dingin dan turut berkontribusi terhadap runtuhnya negeri yang didirikan Stalin tersebut.
Dari penjelasan Zakaria, dapat dielaborasikan dua hal. Pertama, kegagalan KGB saat perang dingin disebabkan oleh mekanisme aktivitas intelijen di Uni Soviet yang sangat tertutup sehingga meskipun KGB bergerak cukup cepat, namun tanpa kalkulasi, pertimbangan dan penilaian pra operasi secara komprehensif yang memadai dari berbagai pihak.
Kita semua tahu lah ya. Uppps. #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/Z7FSCrxJS9 pic.twitter.com/dOZgcKp0mD
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 19, 2020
Kedua, pada sisi berseberangan yakni CIA, dinilai memiliki kelebihan atas mekanisme keterbukaan check and balance pembuatan keputusan level domestik yang berkontribusi dalam course correction atau koreksi konteks yang mempertajam skenario, serta menambah opsi dan rencana terbaik sebuah operasi.
Dan dari keberhasilan CIA, dapat dielaborasikan kembali beberapa hal yang menjadi kunci kesuksesannya, yakni keberadaan check and balance komprehensif dalam negeri, visi dan misi jelas dan selaras, struktur kelembagaan yang efektif serta regulasi yang presisi.
Lantas apakah ekosistem intelijen yang ada di Indonesia, termasuk dengan Perpres terbaru, akan membuat BIN berada di jalan yang benar jika berkaca pada latar belakang kesuksesan CIA yang Zakaria sebutkan di atas?
Masih Banyak Kekurangan
Ditinjau dari aspek regulasi, CIA nyatanya tak sepenuhnya tertutup dan dikendalikan Presiden AS. Berdasarkan Intelligence Oversight Act tahun 1980, lembaga telik sandi AS itu juga diawasi dan berada di bawah otoritas check and balance dalam berbagai tupoksinya dari Komite Senat dan Komite Permanen untuk intelijen di Kongres.
Jika dibandingkan dengan BIN, aspek regulasi tersebut dinilai masih jauh dari panggang level komprehensivitasnya. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Perpres No. 73 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara dinilai belum dapat secara fundamental memaksimalkan dari visi dan misi BIN yang besar dan prestisius.
Perpres baru untuk lenturkan posisi Menko Polhukam @mohmahfudmd . Real Wapres? Uppps. #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/Z7FSCrg8tz pic.twitter.com/GkKyKGuAR6
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 18, 2020
Terlebih lagi, problematika BIN dinilai telah cukup pelik terkait melegendanya rumit koordinasi dengan entitas intelijen di lembaga/kementerian lain seperti BAIS TNI, Baintelkam Polri, Intelijen Kejaksaan dan lain sebagainya. Akibatnya, dalam beberapa kesempatan, seolah BIN yang mengkoordinasi fungsi intelijen terkesan kecolongan dengan beberapa kasus, sebut saja kasus Bom Sarinah yang terjadi dekat ring satu negara pada tahun 2016 hingga kasus terbaru terkait “saktinya” Djoko Tjandra.
Dengan kecenderungan tersebut, sisi check and balance entitas intelijen yang menjadi salah satu kunci sukses CIA tampaknya belum dimiliki BIN di Indonesia. Fareed Zakaria dalam acara The Global Public Square (GPS) di CNN menyebut bahwa check and balance hanya akan efektif apabila pihak berkepentingan dan berwenang lain dapat aktif berbicara dan bertindak pada keputusan-keputusan strategis.
Dan fungsi check and balance seperti apa yang Zakaria sampaikan di atas sepertinya tidak maksimal terjadi pada konteks BIN. Pasalnya, dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini pun seolah tak lebih dari persoalan anggaran dan tanya jawab studi kasus yang mengemuka.
Dari titik ini, situasi menjadi lebih pelik saat sudut pandang politis mulai tampak ke permukaan. Perpres terbaru Presiden Jokowi yang tak lagi mencantumkan BIN di bawah koordinasi Kemenkopolhukam dinilai oleh pengamat isu keamanan dan kajian strategis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi cukup bermuatan politis.
Latar belakang tautan “khusus” yang agaknya telah menjadi rahasia umum antara Kepala BIN saat ini dengan “penyokong” di belakang Presiden Jokowi secara politis menjadi variabel utama penilaian Fahmi. Dan jika ditarik kepada salah satu kunci vital intelijen yang disampaikan Zakaria terkait aspek check and balance demi progresivitas BIN, DPR pun pada konteks ini membawa tendensi pesimisme ketika realita menunjukkan parlemen dikuasai kubu pemerintah.
Lantas, sejauh mana mitos keberadaan muatan politis berpengaruh terhadap kinerja BIN di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi selama ini?
Ada Tarik Ulur Independensi BIN?
Satu hal yang menarik dari Perpres terbaru Jokowi yang mengeliminir BIN dari koordinasi Kemenkopolhukam ini ialah kesan adanya revisi dengan maksud tertentu atas Perpres sebelumnya – Perpres Nomor 42 Tahun 2015 – yang ketika itu BIN diinisiasikan oleh Jokowi sendiri untuk berada dibawah Kemenkopolhukam.
Realisasi Perpres tersebut berkesinambungan dengan pergantian posisi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dari Tedjo Edhy Purdjianto yang kontroversial kepada sosok yang lebih “bersahabat” yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan berlaku sampai era Wiranto.
Namun setelah Menkopolhukam beralih kepada Mahfud MD, yang notabene adalah “orang sipil” pertama dalam sejarah bangsa pada posisi tersebut, Perpres terbaru Presiden Jokowi yang sedang hangat menjadi pembicaraan saat ini membuat BIN di bawah komando Budi Gunawan tak perlu lagi berkoordinasi dengan Menkopolhukam dalam aktivitasnya.
Secara umum, regulasi tersebut juga dinilai masih terkesan abstrak dikarenakan tidak terlalu signifikan dalam memperbaiki akar masalah koordinasi di ekosistem intelijen Indonesia.
Kesan abstrak ini paling tidak terdeskripsikan pada sebuah tulisan di The Diplomat oleh Tangguh Chairil yang berjudul Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19. Chairil menyebut peran BIN selama pandemi Covid-19 terkesan tidak terarah dan kurang memadai dengan spesialisasi intinya, termasuk yang dianggap cukup ganjil seperti prediksi jumlah kasus serta obat Covid-19 yang terkesan hanya menjadi isu tidak konkret.
Lagi-lagi eksistensi Budi Gunawan pada pucuk pimpinan BIN disoroti pula oleh Chairil yang menyiratkan peran lembaga telik sandi dalam penanganan pandemi Covid-19 “tercemar” nuansa politis terkait indikasi privilege relasi dengan penguasa.
Budi Gunawan memang menjadi sorotan saat mengampu jabatan Kepala BIN. Penunjukannya sempat menjadi polemik matahari kembar, ketika bersama Kapolri saat itu, Tito Karnavian menyajikan ketidaklaziman atas keberadaan dua Jenderal berbintang empat aktif di institusi Polri.
Namun, dengan berbagai tendensi yang ada tidak serta merta dapat dikatakan kapabilitas dan independensi BIN telah terdegradasi. Paling tidak, BIN dengan tupoksinya dapat memberikan justifikasi peran konkretnya, yang suka atau tidak, bahwa mereka mampu dan telah berbuat yang terbaik dengan rasionalisasi prinsip kerahasiaan dan tidak dapat dipublikasikan.
Masih membutuhkan waktu panjang agaknya bagi Indonesia untuk menyejajarkan BIN dengan CIA. Selain konteks check and balance yang telah disebutkan di atas, visi CIA cukup terarah ketika sejalan dengan kepentingan AS sebagai negara superpower.
Bagaimanapun, publik tentu dapat menilai dengan objektif terkait ada atau tidaknya muatan politis yang berkorelasi dengan peran serta independensi BIN selama ini. Yang jelas, integritas sebuah badan intelijen dinilai cukup berpengaruh terhadap progres suatu negara. Integritas itulah yang eksistensinya terus diharapkan pada peran BIN dalam tupoksinya sesuai dengan amanat undang-undang. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.