“Kementerian Dalam Negeri tidak memberikan data kependudukan kepada lembaga pengguna. Namun, yang diberikan adalah hak akses untuk verifikasi data”. – Zudan Arif Fakhrullah, Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri
PinterPolitik.com
Di tengah ramai pergunjingan tentang Covid-19, isu kerahasiaan data menjadi hal terbaru yang mengundang atensi masyarakat. Bukan tanpa sebab, beberapa hari lalu, ramai diberitakan bahwa pemerintah – dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri – memberikan data pribadi masyarakat ke pihak swasta.
Seriusan nih? Data pribadi kita macam nama, tempat tanggal lahir, nama orang tua, nama istri, alamat, dan lain sebagainya diberikan pada pihak swasta? Wih, tapi untung nama mantan nggak ikut diberikan juga ya, bisa bahaya nanti. Uppps. Hehehe.
Nah, Kemendagri sendiri telah memberikan klarifikasi, bahwa data masyarakat tidak diberikan kepada pihak swasta – yang dalam hal ini disebutkan berasal dari perusahaan-perusahaan pinjaman online alias pinjol – tapi mereka hanya diberikan akses untuk verifikasi data.
Hmmm, kalau dianalisis kata per kata sih emang berbeda maksudnya. Memberikan data berarti informasi yang dipunyai kementerian begitu aja diberikan kepada pihak pinjol. Sementara, kalau akses verifikasi data, berarti pihak pinjol hanya butuh mengecek datanya benar atau tidak.
Tapi nih, banyak pihak kemudian menuduh Kemendagri melanggar hukum dalam kasus ini. Karena, ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa data pribadi masyarakat harus dijaga kerahasiaannya.
Salah satunya ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang menyebutkan bahwa data pribadi merupakan data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
Aturan tersebut juga merupakan kelanjutan dari Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa negara berkewajiban melindungi privasi dan data penduduk.
Wih, jadi kalau benar bahwa argumentasi “memberikan akses verifikasi” itu dianggap melanggar ketentuan melindungi privasi, maka boleh jadi ada pelanggaran di sana.
Tapi, sebetulnya masuk akal juga sih mengapa para perusahaan pinjol ini butuh untuk memverifikasi data. Soalnya, mereka ini kan yang memberikan jasa pinjaman secara online, which is secara teori sangat rentan juga kalau data yang disampaikan oleh orang yang mengajukan penjaman tersebut ternyata bohong. Jadi butuh banget buat verifikasi kebenaran data-data orang-orang yang mengajukan penjaman.
Hmmm, jadi Raisa deh. Serba salah. Hehehe.
Yang jelas, terlepas dari apakah Mendagri Tito Karnavian sebagai pucuk tertinggi di kementerian tersebut bisa dituduh melanggar hukum atau tidak dalam kasus ini, ada wilayah yang abu-abu dalam penegakan hukum terkait persoalan perlindungan data. Makanya, kasus-kasus kayak pencurian data dan sejenisnya juga sering kali sampai pada titik buntu karena aturan hukum yang abu-abu.
Hmm, semoga para anggota DPR segera insaf dan melihat pentingnya untuk segera mengesahkan aturan hukum yang lebih jelas soal perlindungan data ini. Masih nggak karu-karuan tuh Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data yang entah kapan selesainya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.