“As the laughter dies, an angel cries” – Scorpion, “Humanity” (2007)
PinterPolitik.com
Gengs, sebelum membahas tentang komentar Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal rasisme di Amerika Serikat (AS), mimin mau ajak kalian menyimak kisah rasisme dalam sepak bola. Der Kaiser-nya kesebelasan Jerman yang mentereng di era 1960 dan 1970-an, Beckenbauer, pernah bilang kalau sepak bola itu merupakan eine Schule der Toleranz atau sekolah toleransi.
Pasalnya, sepak bola ini menarik, cuy. Di dalamnya, ada ragam kulit dan agama berlarian menggiring bola. Bahkan,tontonan itu terkadang dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menyusupkan kebencian di dalamnya: rasisme.
Lantas, siapa yang selalu menjadi korban rasisme? Union of European Football Associations (UEFA) bilangnya kelompok minoritas.Misal, sebab sepak bola ini tenarnya di Eropa yang menganggap kulit putih adalah identitasnya, maka minoritas tentu pemain yang kulitnya hitam, seperti yang pernah dialami Gervinho.
K,arena sepak bola sensitif meletupkan isu rasis, maka banyak nih usaha untuk melawannya, terutama aksi yang ditunjukkan oleh pelaku lapangan hijau sendiri, seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Persebaya saat mengampanyekan #SayNoToRacism. Jadi bisa dikatakan, usaha yang paling ampuh untuk melawan rasisme ya saat pihak yang terlibat di dalamnya sadar dan mau melawan rasisme.
Nah, lantas bagaimana kalau rasisme ini ada di lapangan politik, gengs? Tentu, pihak yang ada di politiklah yang paling jitu kalau ingin menghentikan rasisme itu. Mungkin itulah yang sedang dipikirkan oleh Bapak SBY saat mengunggah ulasan menarik di laman Facebook pribadinya tentang rasisme di AS.
Maklum, meski beda wilayah, tetapi beliau juga paham betul situasi di AS, baik suasana negara maupun suasana hati Presiden AS Donald Trump. Secara, Pak SBY sudah berulang kali mengunjungi negeri Paman Sam itu, baik sebagai prajurit maupun presiden.
Maka, sekarang, coba deh amati pesan dari Pak SBY di laman Dacebook beliau. Kalau mimin mengartikan tulisan Pak SBY, kok jadi ingat sama lagu ‘Humanity’ milik Scorpion ya?
Pak SBY secara bijak menempatkan semua konflik di AS dalam bingkai kemanusiaan, termasuk kodrat manusia yang bisa baik dan buruk. Kerennya lagi, Pak SBY juga berbicara kultur di sana, yang berarti berbeda dengan kultur kepemimpinan di Indonesia.
Misal, di AS barang kali Trump menjadi buas sebab ada sisi kultur kepemimpinan yang harus bertangan besi apa pun risikonya. Beda kalau di Indonesia, pada era Pak SBY, kepemimpinan kita lebih banyak dialog. Kalau bahasa kerennya, mengutip kalimat Gus Dur, “Tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.”
Menurut mimin, sebenarnya tulisan Pak SBY yang ‘kalem’ untuk mengomentari ‘kebuasan’ Trump itu menyiratkan dua hal sih, yakni maklum terhadap proses politik di AS dan kode buat pemerintahan kita. Seakan-akan nih, cuy, di satu sisi Pak SBY mau bilang “Urusan di AS biar jadi urusan mereka, memang begitu dari dulu. Only history will tell,” tapi soal rasisme, jelas Pak SBY ada di barisan para pengutuk perilaku rasis dong.
Sedang, di posisi lain, lewat penyebutan soal politik bebas dan aktif, Pak SBY mau supaya pemerintahan Indonesia ambil peran perdamaian. Kalau benar begitu, mimin sih senang banget kalau tulisan Pak SBY ini disampaikan dalam musyawarah bareng Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lagian, mimin juga masih ingat saat debat Pilpres 2019 lalu. Dengan bergelora Presiden Jokowi bilang, “Indonesia harus tetap bebas aktif, bebas memperjuangkan kepentingan nasional dan aktif mendorong perdamaian dunia.” Ingat, soal rasisme di arena politik, ya cuman politisi yang bisa menghentikannya. Monggo ditumindakake (silahkan dilaksanakan, red). (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.