HomeNalar PolitikRasisme ala Foucault: Floyd dan Papua

Rasisme ala Foucault: Floyd dan Papua

Seri pemikiran Michel Foucault #3

Gelombang protes yang terjadi di Amerika Serikat (AS) kini disebabkan oleh kematian George Floyd yang diduga timbul akibat persoalan rasisme dan diskriminasi. Bagaimana bila dibandingkan dengan isu rasisme terhadap orang asli Papua (OAP) di Indonesia?


PinterPolitik.com

“I’m tired of the systematic racism bulls**t. All you do is false s**t” – Joyner Lucas, “I’m Not Racist”

Bagi mereka yang suka menonton seri Netflix yang berjudul Dear White People, pasti sudah paham kalau misalnya persoalan rasisme telah mengakar di Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak? Banyak korban dari kelompok Afrika-Amerika berjatuhan satu per satu disebabkan kasus-kasus kekerasan.

Permusuhan antarkelompok geng misalnya menjadi kebiasaan sehari-hari di beberapa kota besar AS, seperti Chicago. Saking banyaknya kasus kekerasan, Chicago mendapat gelarnya tersendiri, yakni Chi-raq.

Namun, selain karena konflik antarkelompok, kekerasan kepada kelompok Afrika-Amerika juga terjadi karena kebrutalan polisi (police brutality). Gambaran akan kebrutalan ini tercerminkan dalam banyak produk budaya yang berasal dari kelompok Afrika-Amerika.

Lagu yang berjudul “F**k tha Police” karya N.W.A. misalnya menggambarkan bagaimana kelompok Afrika-Amerika kerap menjadi sasaran polisi di Compton, Los Angeles, pada tahun 1990-an. Sampai-sampai, kisah para penyanyi rap yang tergabung dalam N.W.A. dijadikan sebuah film populer dengan Straight Outta Compton.

Namun, tampaknya, apa yang terjadi pada tahun 1990-an itu masih berlanjut hingga kini. Pasalnya, beberapa waktu lalu publik AS dan dunia dikejutkan dengan sebuah video yang di dalamnya terdapat seorang polisi menginjakkan lututnya ke leher seorang Afrika-Amerika yang bernama George Floyd di Minneapolis, Minnesota.

Alhasil, Floyd meninggal dunia karena tak bisa bernapas. Publik akhirnya naik pitam dan melakukan gelombang protes di berbagai kota, termasuk di depan Gedung Putih di Washington, D.C. Presiden AS Donald Trump pun sempat dilarikan ke bunker di tengah gelombang protes itu.

Melihat apa yang terjadi di AS kini, banyak reaksi dan tanggapan akhirnya muncul dari berbagai belahan dunia lainnya. Di Indonesia misalnya, banyak warganet akhirnya turut menyuarakan tagar seperti #BlackLivesMatter dan #BlackOutTuesday.

Selain itu, beberapa aktivis dan warganet lainnya turut mengaitkan peristiwa di AS itu dengan apa yang terjadi pada orang asli Papua dan apa yang terjadi di Papua. Pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman misalnya menganggap apa yang terjadi di AS kini mirip dengan gelombang protes di Indonesia yang terjadi tahun lalu.

Menurutnya, protes soal isu Papua juga merupakan letupan dari persoalan rasisme yang telah menumpuk. Insiden yang terjadi di Surabaya kala itu dianggap sebagai salah satu pemicunya.

Lantas, mengapa persoalan rasisme ini tetap eksis hingga menumpuk? Adakah peran aktor politik di balik rasisme yang terjadi di AS dan Indonesia?

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Stigma Sosial

Pada umumnya, rasisme disertai diskriminasi berdasarkan warna kulit dan ciri-ciri fisik tertentu. Diskriminasi seperti ini biasanya membuat kesempatan yang didapatkan antarindividu berbeda-beda.

Di AS misalnya, identitas rasial disebut-sebut masih menentukan kesempatan seseorang dalam bekerja. Ketidaksetaraan sistematis antarkelompok rasial membuat kelompok Afrika-Amerika lebih banyak bekerja pada pekerjaan-pekerjaan seperti sopir taksi, tukang pangkas rambut, pramusaji, dan sebagainya.

Adanya diskriminasi semacam ini bisa jadi disebabkan oleh pembedaan di antara identitas sosial masing-masing. Dalam Teori Identitas Sosial dari Henri Tajfel dan John C. Turner, dijelaskan bahwa identitas sosial terbangun melalui pembedaan dan perbandingan antarkelompok.

Pembedaan tersebut didasarkan pada nilai, keyakinan, ciri, dan sebagainya yang melekat pada suatu kelompok. Dengan pembedaan tersebut, seseorang dapat mengetahui di kelompok mana kah dia harus berada – melalui proses kategorisasi sosial.

Nasib seseorang dalam sebuah kelompok rasial akhirnya dipengaruhi oleh bias, prasangka, dan diskriminasi sistem. Share on X

Namun, penggolongan berdasarkan ciri identitas sosial ini dapat berujung pada stereotip dan stigma sosial. Arthur Kleinman dan Rachel Hall-Clifford dalam tulisan mereka yang berjudul Stigma menjelaskan bahwa stigma berkaitan dengan pembangunan identitas – yang mana melalui evalusi sosial dapat menciptakan kondisi-kondisi stigma di mana seseorang dapat mengalami perubahan status sosial dari “normal” menjadi “bisa didiskreditkan.”

Lantas, bagaimana stigma yang melekat pada kelompok Afrika-Amerika di AS dan orang asli Papua (OAP) di Indonesia?

Kelompok Afrika-Amerika tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu kelompok yang paling banyak menerima stereotip di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah persepsi bahwa seseorang Afrika-Amerika adalah orang yang pemalas, menyukai kekerasan, tidak cerdas, dan suka melakukan tindak kejahatan.

Alhasil, dengan stereotip seperti ini, mengacu pada penjelasan Evi Taylor dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan yang berjudul The Historical Perspectives of Stereotypes on African-American Males, nasib seseorang dalam sebuah kelompok akhirnya dipengaruhi oleh bias, prasangka, dan diskriminasi sistem – yang meliputi kesempatan pendidikan dan pekerjaan hingga perlakuan brutal.

Jadi, tidak mengherankan apabila muncul anggapan bahwa kematian Floyd di AS adalah hasil dari stereotip rasial yang disematkan pada kelompok Afrika-Amerika. Di Indonesia, hal serupa disebut-sebut juga melekat pada individu yang diidentifikasi sebagai OAP.

Bisa jadi, stereotip dan stigma rasial yang disematkan pada OAP ini juga diyakini oleh masyarakat non-OAP. Beberapa di antaranya adalah anggapan bahwa OAP merupakan pemabuk, tukang onar, hingga pendukung separatisme (atau pemberontak).

Namun, beberapa pertanyaan lain pun muncul. Bila rasisme seperti ini dapat terus ada di masyarakat, adakah aktor politik yang diuntungkan? Mengapa rasisme seperti ini dapat terjadi?

Ada Peran Negara?

Meski stigma dan stereotip sosial terhadap suatu kelompok telah eksis di masyarakat, bukan tidak mungkin campur tangan aktor politik turut memengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault – filsuf asal Prancis – yang tidak melihat persoalan rasisme sebagai sekadar isu sosial.

Foucault berkomentar mengenai rasisme melalui sebuah konsep yang diperkenalkannya, yakni biopolitik (biopolitics). Konsep ini disebutkannya dalam sebuah perkuliahan bertajuk Society Must Be Defended yang diberikannya pada 17 Maret 1976.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Biopolitik sendiri merupakan penerapan kontrol atas populasi yang dilakukan oleh negara. Kontrol ini dilakukan melalui metode dan teknologi biopower yang merupakan serangkaian proses dan pengetahuan tentang tubuh manusia. Salah satunya adalah ras (warna kulit).

Kim Su Ramussen dalam tulisannya yang berjudul Foucault’s Genealogy of Racism menjelaskan bahwa Foucault tidak hanya melihat rasisme sebagai persoalan ideologi, identitas, dan prasangka, melainkan sebagai bentuk pemerintahan yang didesain untuk mengatur populasi. Selain itu, rasisme dianggap dapat menjadi teknologi kekuatan (technology of power) guna mewujudukan kontrol tersebut.

https://www.instagram.com/p/CA7UyPNBsRZ/

Hal ini sejalan dengan penjelasan Rey Chow dalam tulisannya yang berjudul Foucault, Race, and Racism. Chow setidaknya menyebutkan bahwa dengan rasisme, negara (state) dapat melancarkan apa yang disebut sebagai peperangan biopolitis (biopolitical warfare).

Dalam hal ini, rasisme lebih menjadi sebuah cara untuk mencapai tujuan. Rasisme merupakan kapasitas sistemik dan regulatoris yang dapat dimunculkan antarkelompok guna menghasut populasi untuk berjuang bak berperang (warlike struggle) yang menentukan di antara mereka siapa yang bisa hidup dan siapa yang perlu mati.

Mungkin, apa yang dijelaskan oleh Foucault terdengar ekstrem. Namun, kematian Floyd bukan tidak mungkin masuk dalam caesura (penggalan) antara siapa yang kehidupannya dihargai dan yang tidak dihargai yang disebutkan oleh Foucault.

Mengacu pada penjelasan Chow, rasisme sebagai biopower akhirnya dapat menjustifikasi fungsi negara yang membuat sebagian populasi terbunuh. Dari sini, Foucault akhirnya berfokus pada tujuan dan manfaat yang didapatkan oleh negara dari fungsi biopower tersebut.

Lantas, bagaimana bila pemikiran Foucault ini diterapkan pada isu rasisme Papua di Indonesia?

Boleh jadi, caesura yang disebutkan oleh Foucault ini juga muncul dalam persoalan rasisme terhadap OAP di Indonesia. Hal ini turut terlihat dari bagaimana stigma dan stereotip negatif – khususnya stigma pemberontak atau separatis – dilekatkan pada OAP.

Mungkin, rasisme inilah yang mendasari beberapa tindakan kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Papua. Bukan tidak mungkin, stereotip separatis ini dapat menjustifikasi tindakan negara.

Berdasarkan laporan dari Amnesty International, terdapat 95 kasus pembunuhan ilegal yang dilakukan aparat terhadap aktivis Papua sejak tahun 2010. Bahkan, beberapa di antaranya tidak berhubungan dengan isu separatisme.

Bisa jadi, rasisme ini akhirnya juga melancarkan kontrol negara pada populasi – seperti yang dijelaskan oleh Foucault. Dengan begitu, negara bisa saja mendominasi dan mengeksploitasi sumber daya yang ada di Papua dan Papua Barat.

Dalam sejarahnya sendiri, Indonesia juga tak sendiri dalam eksploitasi Papua. Terdapat kepentingan beberapa negara asing – seperti Australia dan AS – di pulau Cendrawasih ini.

Lantas, bila apa yang dijelaskan oleh Foucault ini benar terjadi di Indonesia – khususnya terhadap Papua, perlukah rasisme dipertahankan? Lagi pula, identitas rasial hanyalah konstruksi sosial belaka dan semua orang memiliki hak dasar yang sama. Bukan begitu? (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.