HomeNalar PolitikJokowi Harapan Terakhir Tenaga Medis

Jokowi Harapan Terakhir Tenaga Medis

Akumulasi dinamika kebijakan pemerintah mengenai penanganan Covid-19 serta fakta yang terjadi di lapangan dinilai bermuara pada semakin tersudutnya tenaga medis. Pada titik ini, prerogatif Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat diharapkan dalam memprioritaskan tenaga medis, paling tidak sedikit lebih dari pada prioritas ekonomi semata.


PinterPolitik.com

Julukan sebagai “prajurit” di garis terdepan dalam pertempuran melawan Covid-19 di Indonesia agaknya belum sebanding dengan apa yang para tenaga medis dapatkan sampai saat ini.

Prajurit biasanya didukung penuh dalam sebuah peperangan baik moril maupun materil oleh entitas yang dibelanya. Ketika dua dukungan tersebut tidak dipenuhi, paling tidak secara layak, konsekuensinya tentu dapat ditebak dengan mudah oleh berbagai pihak.

Relevansi analogi prajurit dan pertempuran, serta konteks dukungan bagi tenaga medis ini pula yang tampaknya sedang menjadi persoalan tersendiri di beberapa negara di dunia saat ini, termasuk Indonesia.

Beberapa hari terakhir, tenaga medis di Spanyol, Perancis, hingga Meksiko memprotes pemerintah agar segera menyediakan dukungan materil berupa alat pelindung diri (APD) serta perangkat kesehatan pendukung lainnya.

Bahkan di Belgia, beberapa waktu lalu tenaga medis melakukan protes dengan membelakangi kedatangan Perdana Menteri (PM) Sophie Wilmes di salah satu rumah sakit di negara itu. Persoalan terkait kebijakan aspek kesehatan publik dari pemerintah yang lambat menjadi isu utama.

Sementara di Indonesia, polemik apresiasi materil kepada para tenaga medis berupa gaji dan insentif mengemuka setelah ditemukan banyak penundaan dan pemotongan. Persoalan kekinian ini tentu semakin menumpuk dan menjadi beban tersendiri bagi pejuang di garis terdepan tersebut.

Di sisi berbeda, persoalan apresiasi dan dukungan materil bagi para tenaga medis agaknya belum seberapa dibandingkan konteks dukungan moril yang meskipun tidak terlihat namun memiliki pengaruh sangat signifikan, bahkan sebesar apapun dukungan materil yang diberikan, meskipun terdapat pula keterkaitan satu sama lain.

Moril sendiri memiliki definisi sebagai hal “mengenai moral”. Napoleon Bonaparte menyebut bahwa dalam peperangan perbandingan antara aspek moral dan aspek fisik ialah tiga berbanding satu. Relevansi superioritas moral ini pula yang dinilai berpengaruh sangat signifikan dalam berbagai domain perjuangan manusia hingga kini.

Begitu esensialnya dukungan aspek moral tampaknya juga sangat relevan untuk mendeskripsikan hal yang sangat dibutuhkan oleh para tenaga medis Covid-19 saat ini. Ironisnya, dukungan ini jamak kurang mendapatkan atensi lebih, tidak hanya oleh pemerintah, bahkan juga oleh publik pada umumnya.

Terlebih dengan berbagai akumulasi problematika kebijakan pemerintah terkini yang terkait tenaga medis serta abainya perilaku masyarakat akan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

Pada titik ini, ekspektasi new normal dinilai masih prematur untuk menjadi diskursus prioritas sebelum komprehensivitas persoalan garis depan dapat terselesaikan.

Harapan terakhir dinilai tergantung di pundak Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki prerogatif untuk menembus hiruk pikuk polemik kebijakan, guna mencurahkan perhatian dan dukungan moral konkret lebih bagi para tenaga medis yang agaknya belum terlihat hingga kini. Mungkinkah hal tersebut dapat terwujud?

Berbenah Akar Masalah

Matt Cavanaugh dalamAnti-Morale: What Causes Retreat and Surrender?” mengemukakan konsep anti-morale atau anti-moral yang dapat tercipta dari beberapa faktor eksternal yang signifikan serta menyebabkan keruntuhan atau kegagalan moral.

Faktor tersebut, pertama, tidak tercapainya harmonisasi fakta konkret dan tujuan kebijakan. Kedua, kepercayaan pada pemimpin yang gagal terwujud dengan baik. Dan ketiga, implementasi kebijakan bertentangan dengan tujuan yang diinginkan.

Berbagai faktor yang disebutkan Cavanaugh tersebut jika ditarik kepada kebijakan pemerintah yang terkait erat dengan tenaga medis, bahkan sebelum pandemi Covid-19, agaknya harus diakui memang terjadi dan mempengaruhi aspek moral para tenaga medis itu sendiri.

Carut marut kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang banyak menghadirkan intrik antara pemerintah dengan tenaga medis menjadi faktor pertama. Hal ini dinilai mencerminkan melencengnya implementasi kebijakan dari tujuan utamanya.

Kemudian ada poin minor terkait struktur birokrasi kesehatan yang saling bertolak belakang, terutama antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto pada beberapa kesempatan yang publik jamak ketahui. Hal ini secara tidak langsung mendeskripsikan rendahnya kepercayaan dan tidak terwujudnya harmoni yang terjalin antara satu pihak dengan lainnya.

Lalu terdapat pula aspek vital terkait moral yang sepertinya acapkali diabaikan oleh sosok pemimpin di tanah air, termasuk Presiden Jokowi. Hal itu ialah afeksi terhadap tenaga medis, terutama saat pandemi Covid-19.

Presiden Jokowi memang sempat mengucapkan belasungkawa atas terenggutnya tenaga medis pada pertengahan Maret lalu. Namun, sepertinya banyak pihak yang sepakat bahwa sense of affection atau rasa afeksi tidak benar-benar terasa hangat dari sosok Jokowi. Terlebih ungkapan belasungkawa itu agaknya menjadi ekspresi afeksi yang pertama dan terakhir sejauh ini.

Komponen-komponen di atas dinilai justru menurunkan aspek moral seperti yang Cavanaugh sebutkan, ketika berbagai kebijakan yang hadir menyusulnya justru serupa sifat kontraproduktifnya terhadap pejuang garda terdepan seperti implementasi new normal yang telah di depan mata.

Lantas dengan berbagai “keterlanjuran” tersebut, apa yang dapat Presiden Jokowi bisa maksimalkan saat ini, sebagai sosok pengambil keputusan induk, agar para tenaga medis tetap memiliki moral yang kuat dalam mengarungi ketidakpastian pandemi ini?

Aktualisasi Afeksi Simultan

Risiko yang sangat besar dihadapi tenaga medis sebagai garda terdepan pandemi Covid-19 nyatanya memang memiliki dampak destruktif jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi problematika multi layer yang semakin menumpuk, utamanya aspek moral dan psikis.

Bahkan, studi terbaru menunjukkan bahwa para tenaga medis berpotensi mengidap stress emosional, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), hingga trauma pada kehidupan di saat dan setelah pandemi.

Penelitian dari ahli psikologi, Serena Barello menyatakan bahwa penawar paling efektif bagi para tenaga medis untuk terhindar dari dampak buruk psikis saat bertugas di garda terdepan pandemi Covid-19 ialah terkait apresiasi dan pegakuan dari publik atau public recognition.

Arthur Upham dalamThe Importance of Morale” menekankan pentingnya moral sebagai komponen fundamental self-sustaining yang dapat menjadi kekuatan ketika terjadi krisis untuk dapat keluar dari krisis itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan peran vital seorang pemimpin.

Berbagai temuan dan landasan pemikiran di atas mengerucut pada urgensi peran pro-aktif Presiden Jokowi dalam memastikan moral dan psikis tenaga kesehatan yang jamak disebut pahlawan bidang kesehatan agar selalu berada dalam level terbaik.

Paling tidak, Jokowi dapat memperbaiki terlebih dahulu moral dan psikis tenaga medis yang saat ini dinilai menurun akibat kekurangan alat kesehatan pendukung, gaji dan insentif yang tertunda atau terpotong, hingga mendisiplinkan perilaku masyarakat sesuai protokol kesehatan.

Walaupun kebijakan kekinian bertajuk new normal dinilai kontraproduktif dengan gagasan di atas, namun bukan mustahil bagi Presiden Jokowi untuk tetap memberikan dukungan moral, psikis, dan afeksi semaksimal mungkin.

Untuk bentuk konkretnya, tentu Presiden Jokowi secara kewenangan dan personal semestinya jauh lebih menyesuaikan dan seyogianya berkeinginan kuat untuk mengimplementasikannya.

Ketika Presiden Jokowi berhasil mengartikulasikannya, tentu hal ini dinilai akan menjadi narasi konstruktif terhadap public recognition secara kolektif yang oleh Berello nyatakan di atas.

Bagaimanapun, ketika rencana Presiden Jokowi menyeimbangkan protokol kesehatan ketat dengan new normal yang telah di depan mata, seharusnya dilandasi, atau paling tidak untuk saat ini diimbangi dengan penguatan seluruh aspek komprehensif yang dibutuhkan oleh tenaga medis.

Hal tersebut menjadi penting mengingat dampak negatif serta ketidakpastian pandemi Covid-19 di Indonesia masih merupakan keniscayaan. Implementasi kebijakan komprehensif serta ekspos afeksi dari Presiden Jokowi yang berpengaruh terhadap moral dan psikis para tenaga medis, akan sangat berharga dalam pertempuran melawan pandemi. Itulah harapan semua pihak saat ini. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?