HomeNalar PolitikMenanti Jokowi Mendayung ke AS

Menanti Jokowi Mendayung ke AS

Seri pemikiran Kishore Mahbubani #1

Di periode kedua kekuasaanya, Presiden Jokowi dihadapkan pada banyak tantangan politik dan ekonomi yang berbeda. Jika di periode pertama sang presiden yang berfokus pada program pembangunan infrastruktur terlihat cukup dekat dengan Tiongkok – negara yang begitu jor-joran memberikan bantuan pendanaan – maka akan ada perubahan besar yang berpotensi terjadi di periode kedua kekuasaannya. Ini akan terjadi jika ada pergeseran dalam arah pembangunan ekonomi dunia dari Timur kembali ke Barat. Akankah Jokowi berpaling ke dunia Barat di periode kali ini?


PinterPolitik.com

“The 21st century will be the Asian century”.

:: Kishore Mahbubani, Akademisi dan Mantan Diplomat Singapura ::

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pernah menyebutkan bahwa dana pinjaman yang diberikan oleh Tiongkok adalah “duit murah”. Istilah tersebut mengacu pada pinjaman berbunga rendah. Mungkin hal inilah yang membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat dekat dengan Tiongkok di periode pertama kekusaannya.

Tiongkok memang tengah bergeliat secara ekonomi, terlepas dari persoalan saat ini sedang diguncang oleh virus Covid-19. Yang jelas, negara tersebut menjadi rumah produksi utama bagi mayoritas barang yang tersebar di seluruh dunia saat ini.

Beberapa sumber bahkan menyebutnya sebagai world’s largest manufacturing powerhouse alias produsen industri manufaktur terbesar di dunia. Ekonomi negara ini juga melesat bagaikan kereta cepat. Sejak menerapkan economic openness atau keterbukaan ekonomi pada 1979, Tiongkok memang perlahan-lahan muncul sebagai raksasa ekonomi baru dari Asia.

Pertumbuhan ekonomi yang kian masif juga mendorong investasi yang datang membanjiri. Pasar kerja yang besar dan “murah” membuat banyak perusahaan dari Eropa dan Amerika Serikat (AS) berbondong-bondong “memindahkan” basis produksinya ke negara ini. Kata “murah” bukan berarti bayarannya di bawah standar, melainkan karena disparitas nilai yang berbeda antara standar hidup di Tiongkok dengan negara-negara Barat.

Jika ditelaah satu per satu, banyak perusahaan baik besar maupun kecil yang “memanfaatkan” fasilitas tenaga kerja yang murah itu untuk menghasilkan barang yang tentu saja mengurangi cost atau biaya produksi. Tak heran, Tiongkok kini dijuluki sebagai salah satu pusat ekonomi baru dunia dan diprediksi akan melewati AS sebagai ekonomi terbesar di dunia dalam beberapa tahun mendatang.

Cerita yang mirip juga terjadi pada India yang kini juga mulai menggeliat ekonominya dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di kawasan. Kisah dua negara ini, ditambah gejolak ekonomi yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia, pada akhirnya memang melahirkan satu kesimpulan besar tentang bangkitnya kekuatan ekonomi Asia. Kebangkitan ekonomi ini berdampak pada bergesernya pasar kerja dan produksi dari negara-negara Barat ke wilayah Asia – hal yang mungkin membuat Presiden Jokowi cenderung memaknai lebih “persaudaraan Asia” dalam kerja sama ekonomi dengan Tiongkok.

Inilah yang salah satunya disoroti oleh akademisi sekaligus mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani. Mantan Dekan di National University of Singapore (NUS) Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP) ini mengistilahkan bahwa Asia sedang “bangun dari tidur”, sementara Barat telah tertidur selama 2 hingga 3 dekade terakhir.

Namun, dengan melihat realitas yang ada, negara-negara Barat dianggap belum terlambat untuk bangkit dari ketertidurannya dan akan kembali ke jalur peradaban seperti yang ada pada era-era sebelumnya, jika menerapakan langkah-langkah yang tepat.

Lalu, seperti apa kebangkitan itu dapat kembali terjadi dan akankah Presiden Jokowi mengubah haluan kebijakan negara ini jika itu terjadi?

Menanti Kebangkitan Barat

Dalam pandangannya, Mahbubani menyebutkan bahwa alasan utama peradaban Barat mulai keteteran menghadapi kebangkitan Asia adalah distraksi atau teralihkannya fokus mereka terhadap berbagai kejadian atau event global.

Distraksi pertama adalah kemenangan AS dan Sekutu dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet. Kehancuran Uni Soviet dan terbitnya tulisan legendaris Francis Fukuyama berjudul The End of History and The Last Man yang menyebutkan bahwa demokrasi-liberal yang kapitalistik sebagai akhir dari sejarah, membuat dunia Barat terdistraksi dan berpuas diri.

Kapitalisme dianggap telah mendapatkan pembuktiannya dengan kehancuran komunisme Soviet. Ini membuat peradaban Barat terlena dan lupa bahwa ideologi apapun akan bisa tetap bertahan selama bisa beradaptasi dengan perubahan – hal yang jelas terlihat dalam komunisme Tiongkok yang mengadopsi keterbukaan ekonomi.

Distraksi kedua adalah tragedi 11 September 2001 yang menimbulkan ketakutan masif di masyarakat negara-negara Barat – sekalipun masih banyak perdebatan terkait ujung dan pangkal dari tragedi tersebut. Yang jelas, tragedi ini melahirkan gelombang besar perang terhadap terorisme yang umumnya kemudian diidentikkan dengan negara-negara di Timur Tengah.

Invasi AS ke Afghanistan dan kemudian ke Irak pada akhirnya menjadi distraksi besar terhadap berbagai event lain yang terjadi kala itu. Tiongkok misalnya, resmi menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 11 Desember 2001 atau sekitar 3 bulan pasca serangan di World Trade Center (WTC) dan Pentagon tersebut.

Peristiwa ini – tanpa mengabaikan urgensinya faktor ketakutan yang ditimbulkan serangan teror tersebut – sesungguhnya memperlihatkan adanya suntikan tenaga kerja murah dari sekitar 900 juta penduduk Tiongkok yang kala itu berjumlah total 1,2 miliar berdasarkan sensus tahun 2000.

Ini kemudian menggeser banyak pusat ekonomi ke negara tersebut karena tenaga kerja murah artinya biaya produksi yang lebih murah. Tak heran raksasa ekonomi Barat seperti Apple dan perusahaan-perusahaan besar lain kemudian banyak yang memproduksi produk-produknya di Tiongkok – nasib untuk makin banyaknya angka pengangguran di negara Barat.

Sementara pada saat yang sama, AS dan negara-negara Barat sibuk berperang di Timur Tengah melawan Al-Qaeda dan kemudian ISIS. Aksi perang tersebut menyedot anggaran, perhatian dan tenaga yang sangat banyak. Barat kemudian “terkaget-kaget” ketiga pada dekade 2010-an negara-negara di Asia mulai menampilkan kemajuan yang sangat besar secara ekonomi.

Terkait hal ini, ahli fisika asal Swedia, Hans Rosling, pernah membuat perhitungan matematis dan menyebutkan bahwa pada tahun 2048, Tiongkok dan India akan mencapai titik yang sama dengan AS dan negara-negara Barat dalam hal ekonomi. Bahkan, jika tak ada Covid-19, sangat mungkin titik puncak pencapaian tersebut akan jauh lebih cepat dari waktu yang diramalkan Rosling.

Lalu, apakah ini berarti sudah terlambat bagi Barat untuk bangkit kembali dari keterlenaan yang selama ini terjadi?

Jawabannya tentu saja tidak. Mahbubani menyebutkan bahwa Barat bisa kembali rise again jika mengikuti 3M yang menjadi sarannya. Yang pertama adalah minimalist atau menjadi minimalis. Artinya sudah selayaknya negara-negara tersebut tak lagi menghambur-hamburkan uang untuk perang dan ikut campur dalam konflik di negara lain.

Mahbubani mencontohkan bagaimana negara-negara di Asia Tenggara yang sebegitu beragamnya secara identitas, namun tak pernah berkonflik dalam skala yang masif. Bahkan kerja sama dalam ASEAN adalah salah satu yang cukup sukses membantu ekonomi negara-negara tersebut. Menurutnya anggaran perang dan persenjataan bisa dialihkan untuk hal-hal yang lain yang berhubungan dengan ekonomi.

Resep kedua Mahbubani adalah multilateralisme. Menurutnya tak ada negara yang bisa berdiri sendiri lagi di dunia yang telah menjadi global village ini. Oleh karenanya, Barat harus kembali memperkuat posisinya di lembaga-lembaga multilateral, misalnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan di organisasi-organisasi ekonomi dunia lainnya seperti WTO, World Bank, IMF dan lain sebagainya. PBB misalnya ia sebut sebagai council of the global village. Ini penting untuk kembali menegaskan posisi Barat.

Sedangkan resep terakhir adalah Machiavellianism yang identik dengan pemikiran-pemikiran Machiavelli. Konsep ini memang sering dipandang sebelah mata karena dianggap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Namun, menurut Mahbubani hal yang harus disoroti secara utama bukanlah caranya, tetapi virtue atau kebaikan yang menjadi landasan pengambilan kebijakan. Jika tak ingin ketinggalan, mungkin prinsip ini juga harus dipikirkan kembali.

Resep-resep tersebut menurutnya akan mengembalikan negara-negara Barat kepada track pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seperti sedia kala. Pertanyaannya adalah apakah hal tersebut mungkin terjadi?

Well, jika melihat berbagai gejolak yang timbul beberapa waktu terakhir, misalnya mulai dari perang dagang, makin kerasnya AS dalam kebijakan-kebijakan ekonominya dan lain sebagainya, sangat mungkin arahnya akan menuju titik tersebut.

Persoalannya tinggal akan ke mana Indonesia dan Presiden Jokowi berlabuh jika Barat kembali powerful?

Perubahan Arah, Jokowi Kemana?

Dugaan bahwa Jokowi akan memutar haluan kembali ke Barat sebetulnya bukan isapan jempol. Dalam beberapa kebijakan terakhir, pemerintah Indonesia memang terkesan mulai membuka diri untuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih intensif dengan Barat.

Terkait Covid-19 misalnya, pemerintahan Jokowi justru menjalin kerja sama dengan institusi Barat. Dana senilai US$ 60 miliar atau sekitar Rp 943,1 triliun misalnya, diperoleh dari kerja sama soal repurchase agreement atau Repo Line antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral AS, Federal Reserve System (The Fed).

Repo Line senilai US$ 60 miliar tersebut nantinya dapat digunakan BI apabila membutuhkan likuiditas dalam bentuk dolar. Kerja sama dengan Barat juga kemungkinan akan makin kuat terasa jika Indonesia jadi meminjam pendanaan dari World Bank dan IMF untuk penanganan Covid-19.

Kerja sama tersebut hanya satu dari beberapa program lain dalam hubungan dengan AS yang kembali digiatkan. Presiden Donald Trump juga beberapa waktu terakhir sempat menjanjikan akan mengirimkan ventilator dari AS ke Indonesia untuk membantu penanganan Covid-19.

Bahkan, jika ditarik lebih jauh ke belakang, ada banyak perubahan arah yang diambil pemerintah dalam konteks hubungan dengan AS dan Barat beberapa waktu terakhir, misalnya terkait hibah alutsista dan drone dari AS, pencabutan embargo Kopassus oleh AS, dan lain sebagainya.

Artinya, sangat mungkin Presiden Jokowi memutar arah dayung ke Barat. Ini akan semakin besar kemungkinannya terjadi jika perusahaan-perusahaan AS katakanlah, menjadi yang paling pertama menemukan vaksin Covid-19.

Karena bagaimanapun juga, dalam kondisi krisis kesehatan seperti sekarang ini, siapa yang menemukan vaksin, dia akan sangat mungkin menjadi penguasa dunia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.