Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat gebrakan dengan sebuah inisiasi untuk membuka lahan pertanian baru untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Namun dengan isu krisis pangan yang bersifat global, proyek ini dinilai akan sangat menggiurkan bagi pihak asing manapun dengan modal besar di baliknya. Akankah terdapat intervensi modal dan kepentingan asing pada proyek sawah RI?
PinterPolitik.com
Romansa swasembada pangan yang dilakukan Indonesia pada dekade 80an di bawah kepemimpinan mendiang Presiden Soeharto mungkin menginspirasi ide teranyar cetak sawah baru oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun berbeda konteks dan situasi, proyek mercusuar Orde Baru tersebut membuktikan bahwa faktanya negeri ini secara historis mampu berdaulat pada aspek pangan.
Meskipun belakangan mendapat banyak kritikan, gagasan cetak sawah tersebut nyatanya telah menjadi proyeksi kebijakan pemerintah sebelum adanya pandemi Covid-19. Hal ini bahkan telah menjadi fokus yang tercakup dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebelum realokasi sebesar Rp209,8 miliar.
Isu krisis pangan secara global sendiri mengemuka pada April lalu saat organisasi pangan dunia, Food and Agricultural Organization (FAO) memperingatkan negara-negara akan bahayanya yang semakin berpeluang menjadi kenyataan di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
Manuver gesit langsung diinstruksikan Presiden Jokowi menanggapi notifikasi FAO tersebut. Mengerahkan jajaran di bawahnya, proyek cetak sawah baru yang difasilitasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus dikoordinasikan, hingga belakangan terkuak sejumlah angka luas lahan yang akan menjadi tumpuan kebijakan pangan ini.
Untuk angka pasti terupdate dari rencana tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyatakan bahwa berdasarkan instruksi Presiden Jokowi demi ketahanan pangan dalam negeri, telah disiapkan total lahan pertanian sekitar 900 ribu hektare di Kalimantan Tengah.
Meskipun belakangan semakin mendapat kritikan dari berbagai pihak atas diragukannya kesiapan dan berbagai potensi mudarat yang bisa terjadi, nyatanya proyek cetak sawah ini dinilai sebagai opsi dengan prospek dan ekspektasi terbaik di antara beragam kebijakan pemerintah yang terkesan minor selama pandemi Covid-19.
Hal ini mengacu pada peringatan FAO sebelumnya yang kemudian mengindikasikan bahwa urgensi pembangunan fundamental kedaulatan pangan saat ini belum terlambat untuk dilakukan, dari pada tidak sama sekali. Tentunya dengan kesungguhan dari pemerintah dan berbagai stakeholder terkait itu sendiri.
Namun demikian, terdapat celah tersendiri mengenai apakah Indonesia mampu secara mandiri dalam membiayai proyek berskala masif ini di tengah banyaknya sektor yang “kehausan” anggaran di tengah dampak multi aspek pandemi Covid-19?
Lalu, akankah kemudian tanah Indonesia yang melegenda akan kesuburannya menarik investasi dan intervensi asing terhadap inisiasi proyek kedaulatan pangan Indonesia, ketika krisis pangan global saat ini berada di depan mata?
Pendekatan Kegentingan
Di satu sisi, susbtansi proyek cetak sawah pemerintah dinilai cukup visioner mengantisipasi tantangan dan potensi krisis pangan mendatang. Namun di sisi lain, problematika cekaknya anggaran di tengah pandemi Covid-19 sendiri sudah tidak terbantahkan lagi dan direpresentasikan oleh berbagai upaya pemerintah menghimpun pinjaman dana dari lembaga moneter internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (IsDB).
Heidi Grant Halvorson dalam “Being an Optimist Without Being Fool” menyebutkan konsep unrealistic optimism. Konsep ini mengacu pada pengambilan sikap optimis yang hanya sebatas keyakinan buta tanpa memperdulikan pentingnya elemen pendukung dari sebuah proses di dalamnya. Hal ini terkait dengan perencanaan, kegigihan, dan kesungguhan terbaik dari sebuah langkah atau kebijakan.
Hal yang dikemukakan Halvorson di atas terindikasi menjadi latar belakang digalakkannya agenda cetak sawah baru-baru ini dalam menyikapi potensi krisis pangan akibat pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebuah optimisme yang terasa kurang realistis terutama terkait dengan kesiapan anggaran pemerintah yang seolah sedang sekarat ketika hampir semua sektor membutuhkan suntikan dana segar untuk bertahan.
Anggaran cetak sawah sendiri diketahui berada di angka Rp 209,8 miliar pada postur anggaran tahun 2020. Kemudian, yang menjadi kekhawatiran utama publik dan para pengamat kebijakan ekonomi ialah adanya pemangkasan menjadi Rp 10,8 miliar akibat penghematan, serta total alokasi anggaran cetak sawah setelah refocussing yang diketahui menjadi Rp 0.
Selain anggaran, aspek kajian komprehensif dinilai belum sepenuhnya matang. Hal ini diungkapkan oleh pengamat pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah yang menyatakan bahwa proyek ini tidak menjawab persoalan jangka pendek terkait aspek pangan tanah air yang kian kritis.
Namun demikian, aksi cepat pemerintah dalam menetapkan proyek cetak sawah di sisi lain juga tidak sepenuhnya keliru. Seperti apa yang dikemukakan ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro kala menyarankan pemerintah terkait kebijakan menyoal pandemi Covid-19 bahwa desperate times call for desperate measures atau situasi genting membutuhkan langkah yang cepat.
Rasionalisasi terkait dengan urgensi jaminan kebutuhan paling mendasar manusia diyakini menjadi pertimbangan pemerintah di bawah Presiden Jokowi saat ini, terutama untuk keberlangsungan ketahanan pangan.
Lantas, apakah Tiongkok sebagai sobat investasi Indonesia lagi-lagi akan mendanai cetak sawah tersebut? Serta apakah keberadaan investasi itu justru akan membawa intervensi kurang menguntungkan bagi Indonesia?
Dipantau Tiongkok?
Ihwal terkait food security atau keamanan pangan juga pernah dikemukakan mantan Panglima TNI Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo yang menyatakan bahwa negeri yang kaya dan subur alamnya akan diserbu negara-negara lain ketika energi hayati telah lebih berharga daripada energi fosil. Beliau memprediksi Indonesia akan berada dalam bahaya jika situasi ini terjadi.
Sementara prediksi paling mengerikan bahkan menyatakan bahwa tidak akan ada cukup petani untuk menyediakan makanan pada satu generasi populasi dunia. Ya, menyusutnya lahan pertanian serta semakin uzurnya generasi petani tanpa diimbangi regenerasi memadai juga menjadi persoalan di dalam persoalan.
Martha Henriques dalam sebuah publikasi berjudul “The Ageing Crisis Threatening Farming” mengemukakan bahwa masih banyak petani di seluruh dunia yang memiliki persoalan tersendiri ketika mereka tidak ingin generasi penerusnya meneruskan pekerjaan itu. Hal tersebut dikarenakan anggapan “di atas kertas” bahwa bidang ini tidak mempunyai masa depan yang lebih baik dibandingkan pekerjaan di kota besar.
Persoalan dalam tulisan Henriques tersebut juga dialami oleh Tiongkok, yang merupakan investor setia Indonesia beberapa tahun belakangan. Perbandingan 315 juta orang bekerja pada sektor pangan dengan 1,4 miliar penduduk disinyalir masih belum ideal. Terlebih globalisasi juga menggeser mindset ratusan juta penduduk desa yang hijrah ke kota untuk pekerjaan yang mereka nilai lebih baik.
Di tengah tingginya permintaan produk makanan, lahan subur di Tiongkok justru menyusut lantaran banyaknya pembangunan pabrik serta pencemaran logam berat dan merkuri pada tanaman pangan akibat aktivitas industri. Apalagi jika terkait dampak pandemi Covid-19, Tiongkok dinilai akan membidik negara mitra yang belum banyak memanfaatkan lahan untuk ekspansi investasi di bidang pertanian dan pangan, termasuk Indonesia.
Pun fakta bahwa Tiongkok pada tahun 2013 silam telah mengincar investasi pada sekitar 50 ribu hektare lahan persawahan di Indonesia. Ketika itu pemerintahan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil langkah elegan dan tidak membiarkan leluasanya investasi yang dinilai akan terlalu banyak merugikan Indonesia akibat potensi mayoritas hasil tanam yang langsung diekspor tersebut.
Situasi dan fakta berbeda saat ini tergambar dari dampak pandemi Covid-19 serta kedekatan pemerintah saat ini dengan Tiongkok. Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa Negeri Tirai Bambu akan menjadi penyuntik dana terdepan yang akan memanfaatkan momentum kebijakan cetak sawah baru Indonesia.
Sayangnya bargaining power Indonesia dinilai lemah dalam posisi saat ini terhadap berbagai investasi yang ada akibat kondisi keuangan negara yang memang sedang terpuruk akibat pembiayaan penanganan pandemi Covid-19. Persoalan terkait hak guna dan pemanfaatan lahan ketika investasi telah masuk juga menjadi poin krusial apakah antisipasi pemerintah atas ancaman krisis pangan justru harus “berdesakan” dengan kepentingan pemodal.
Meskipun kegentingan aspek pangan menjadi pertimbangan yang utama, namun kedaulatan negara secara keseluruhan harus diprioritaskan dalam proses tawar berbagai tawaran investasi yang akan datang.
Empat tahun waktu yang tersisa bagi pemerintah untuk berkuasa dinilai masih sangat cukup sebagai pertimbangan kecermatan dalam berbagai eksekusi kebijakan terbaik menghadapi dampak multi aspek pandemi Covid-19 di Indonesia. Kecermatan itulah yang menjadi harapan kita bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.