Penangkapan aktivis milenial Ravio Patra mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak yang menilai ada kejanggalan dan menjurus rekayasa kasus hingga kriminalisasi. Selain terindikasi terkait dengan kritik terhadap Staf Khusus (stafsus) milenial Presiden Jokowi, kasus Ravio seolah menguak tren dimulainya polarisasi dalam perpolitikan kaum milenial Indonesia.
PinterPolitik.com
Jagat maya tanah air sepanjang hari kemarin bahkan hingga detik ini, cukup riuh akibat tersiarnya penangkapan seorang aktivis dan peneliti muda bernama Ravio Patra. Kabar awal ketika itu menyatakan bahwa sebelum digelandang aparat, ia sempat mengalami peretasan pada aplikasi perpesanan whatsapp pribadinya.
Rilis kronologi dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) cukup detail menjelaskan awal mula yang diduga pemicu peretasan, hingga detik-detik terakhir ketika Ravio tidak dapat lagi dihubungi. Selain aktivitas kritis Ravio terhadap pemerintah terkait Papua hingga Covid-19, kasus terakhir mengenai salah satu kejanggalan proyek milenial stafsus milenial Presiden Jokowi, Billy Mambrasar, yang sedang berusaha dikuak diduga menjadi trigger peretasan hingga penangkapan.
Peretasan whatsapp Ravio sendiri kemudian dinilai membuat akunnya menyebarkan pesan provokatif yang identik dengan pesan “oknum” Anarcho Syndicalist beberapa waktu lalu. Sontak publik memberikan penilaian minor bahwa indikasi yang telah sedikit terlihat disinyalir bagian dari kriminalisasi terhadap “ketajaman” kritis seorang Ravio.
Namun di saat bersamaan, muncul pula narasi tandingan yang tidak sedikit pula “diamini” publik, di mana tudingan kriminalisasi dari para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis, dan publik cenderung dinilai menjurus kepada upaya deligitimasi pemerintah. Kubu, yang dipatroni oleh salah satu akun whistleblower berpengaruh ini, menyatakan bahwa hampir mustahil untuk meretas whatsapp dalam waktu singkat, serta membandingkan dengan kasus Ratna Sarumpaet yang berakhir plot twist beberapa waktu yang lalu.
Hal ini dinilai sedikit banyak mendistorsi pikiran serta perspektif publik di tengah multi efek pandemi Covid-19 yang pada aspek psikis telah jamak diwanti-wanti oleh para ahli. Kemudian menyeruak pertanyaan apakah gerangan yang sedang terjadi, sebuah manajemen isukah? Atau isu ini menjadi fondasi awal konstruksi negatif terkait polarisasi milenial sebagai ahli waris politik dan pemerintahan tanah air?
Senyapkan Kritik?
Upaya yang di era demokrasi dinilai samar-samar namun masih nyata keberadaannya ialah pembungkaman kritik oleh otoritas berwenang. Terkadang, upaya itu bisa terlihat sangat jelas, namun juga di lain waktu bisa menjadi sebuah skenario rumit yang cenderung konspiratif.
Pembungkaman pendapat dan kritik telah menjadi bagian sisi sejarah kelam peradaban manusia. Peradaban Jahiliyah di Timur Tengah sangat identik dengan mengedepankan hawa nafsu berkuasa dan membunuh siapa saja yang menentangnya. Sementara peninggalan Mao Zedong, setidaknya memuat pembungkaman opini publik Tiongkok era 70an. Di tanah air sendiri, bentuk serupa di era Orde Baru dapat dengan mudah ditemukan di berbagai sumber kredibel.
Namun di era kontemporer, pembungkaman kritik acap kali dieksekusi dengan mengerahkan berbagai instrumen artifisial yang seolah menjadikannya terlihat sah untuk dilakukan. Hal ini juga disinyalir banyak pihak terjadi pada kasus penangkapan beberapa aktivis, peneliti, hingga cendikiawan sebelumnya, termasuk yang terbaru, Ravio Patra.
Meskipun tidak sederhana, sebatas hanya melihat indikasi narasi kurang baik berupa pembungkaman kritik Ravio Patra semata, bagaikan terlalu dangkal untuk dicerna pihak manapun. Justru yang dinilai menarik adalah ketika narasi tandingan muncul ditengah ramainya pekikan penentangan atas penangkapan alumni Universitas Padjajaran tersebut.
Patrick Hughes dan George Brecht dalam tulisannya yang berjudul “Vicious Circles and Infinity: A Panoply of Paradox” menyatakan satu hukum paradoks menarik. Berjuluk infinity regress, salah satu hukum paradoks ini berbicara mengenai dua premis yang saling bertentangan, memiliki konklusi kontraproduktif berbalik yang mana jika semakin didalami justru tidak akan menemui akhir.
Berdasarkan hukum infinity regress tersebut, premis pertama muncul ketika penangkapan Ravio Patra ditengarai sebagai bentuk kriminalisasi oleh banyak pihak dan sesama rekan aktivis. Berawal dari upaya investigasi terkait Billy Mambrasar, peretasan whatsapp, penyebaran pesan provokasi, hingga akhirnya diciduk aparat, dinilai menjadi narasi yang cukup kuat.
Akan tetapi tidak berhenti di situ, pihak lain yang datang dengan narasi tak kalah meyakinkan pun seakan menjadi katalisator isu yang semakin memanas sepanjang hari kemarin. Akun twitter el diablo @digeeembok, yang selama ini kerap berperan sebagai whsitleblower pengungkap kasus-kasus konspiratif kakap tanah air, membentuk premis lain bahwa peretasan whatsapp adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Otomatis, tuduhan kriminalisasi Ravio Patria seakan memiliki celah yang oleh kubu ini dianggap memojokkan pemerintah. Premis ini juga tidak sedikit mendapatkan dukungan perspektif publik lainnya.
Seperti apa yang infinity regress sabdakan, benturan dua premis dalam menyikapi kasus penangkapan Ravio Patria ini menjadikan terciptanya konklusi kontraproduktif berbalik yang dapat terus bergulir tak berujung. Dengan asumsi yang dinilai nyaris 100 persen sahih, bahwa tidak akan ada pihak manapun yang akan mengakui sebuah kejahatan, dugaan satu pihak akan narasi adanya rekayasa, akan direspon pihak seberang dengan dugaan narasi rekayasa dalam rekayasa, begitu seterusnya tanpa henti.
Tentu bukan pertama kali hukum infinity regress Hughes dan Brecht ini terjadi pada kasus konspiratif di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan, benturan narasi ini terjadi ketika efek meluas pandemi Covid-19 tengah banyak menyita energi publik. Belum lagi yang secara khusus terkait dengan kiprah milenial di kancah politik dan pemerintahan tanah air yang sedang bergolak.
Spesial untuk kiprah milenial dalam politik dan pemerintahan Indonesia, untaian peristiwa yang bermuara pada penangkapan aktivis dan peneliti Ravio Patra memang mengusik moralitas ketika dilihat secara jernih. Namun rangkaian peristiwa terkait milenial lain sebelumnya juga menarik untuk dikorelasikan, seperti “keistimewaan-keistimewaan” stafsus milenial Presiden Jokowi hingga Anarcho Syndicalist yang dinilai muncul dengan sekonyong-konyong.
Korelasi tersebut seakan-akan mengindikasikan terdapat suatu kendali tertentu atas terbentuknya atmosfer yang membedakan “nasib” para milenial dalam politik dan pemerintahan dengan cara yang dinilai tak elok. Hal ini tentu akan menimbulkan implikasi negatif dengan besaran derajat yang masih misteri saat milenial memegang estafet kendali negara kelak.
Manifestasi Warisan Polarisasi?
Keir Milburn dalam bukunya yang berjudul “Generation Left” mendefinisikan konsep generational snowflakes yang merupakan referensi untuk menyebut pembentukan prinsip atau platforming sikap dan prinsip di kalangan muda, dalam hal ini milenial, pada aspek politik dan pemerintahan.
Milburn menambahkan, dalam proses tersebut, terdapat akumulasi pembenaran diri atau self justifying dan penyesuaian moralitas atau comforting morality tales atas pandangan politik yang dianut oleh para milenial. Muaranya adalah arah jalan pemikiran milenial itu sendiri yang oleh Milburn dapat menjadi semakin berhaluan “kanan” atau justru trengginas berpertualang di sebelah “kiri”.
Konsep generational snowflakes dari Milburn tersebut agaknya yang paling menggambarkan dinamika hingga “nasib” kiprah milenial dalam politik dan pemerintahan di Indonesia saat ini. Milenial yang terafiliasi atau dinilai menjadi perwakilan ikon pemerintah terlihat nyaman karena memiliki nasib yang jauh lebih “enak” ketika mendapatkan berbagai privilege mewah. Sementara milenial di Indonesia, yang sekalipun berkaliber cendikiawan ulung namun berprinsip kritis dan berjiwa aktivis, cenderung dinilai menjalani nasib sebaliknya, bak bumi dan langit.
Kedua segmen milenial yang ironisnya telah tercipta tersebut, dinilai akan mempertahankan status quo yang ada saat ini. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan semakin mempertajam standar dan prinsip moralitasnya masing-masing. Bagai dua sisi mata uang, salah satu segmen itu sayangya akan selalu kontraproduktif terhadap progresivitas.
Selain itu, jika kontradiksi ini terus terjadi, disinyalir akan menjadi momentum peletakan batu pertama dari konstruksi terbelahnya semangat perubahan progresif negara oleh milenial di Indonesia. Apa yang dikenal sebagai polarisasi itu lama kelamaan juga tak ubahnya repetisi kesalahan tata kelola mental dan prinsip generasi pengampu negara di masa lalu.
Mudarat yang paling jelas dari setting atau pengaturan liar generation snowflakes di antara milenial itu ialah instabilitas dan atmosfer konfliktual kolektif. Oleh karena itu, alangkah baiknya milenial yang telah berada pada titik perspektif ini dapat lebih awal mengantisipasi secara komprehensif dengan sikap dan gestur moralitas terbaik bagi kemajuan bangsa. Itulah harapan kita semua. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.