Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan bahwa kelangkaan bahan baku alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) turut disebabkan oleh mafia impor. Mengapa pemerintah tak segera ungkap misteri mafia alkes ini?
PinterPolitik.com
“And the lobster over the table, power circle a mafia” – Meek Mill, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Siapa yang tidak kenal dengan aktor kondang yang bernama Tom Cruise? Aktor satu ini telah banyak memainkan film-film laga yang kerap menduduki box office Hollywood.
Salah satu film laga yang pernah dibintanginya adalah American Made (2017). Dalam film berlandaskan sejarah tersebut, Cruise berperan sebagai seorang pilot yang bernama Barry Seal dengan tugas untuk menerbangkan persenjataan bagi kelompok Contra di Amerika Tengah.
Sambil menerbangkan obat-obatan terlarang dari Amerika Tengah, Seal sadar bahwa kelompok Contra justru menggunakan persenjataan untuk dijual kembali kepada kelompok mafia yang disebut sebagai kartel Medellin – guna memperlancar kepentingan bisnis narkotika mereka.
Mungkin, mafia-mafia seperti ini tidak hanya eksis dalam kisah-kisah film ala Hollywood. Pasalnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga menyebutkan bahwa terdapat pihak-pihak pengimpor yang ingin memperkaya diri di industri alat kesehatan (alkes) dan farmasi, yang mana mereka menyebabkan kelangkaan bahan baku yang diperlukan di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).
Hal serupa juga diamini oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga yang menjelaskan bahwa mafia-mafia impor ini menyebabkan bahan baku didominasi oleh produk asing sebesar 90 persen lebih. Bahkan, Arya menyebutkan bahwa terdapat juga kemungkinan akan adanya permainan mafia lokal dan internasional.
Pemerintah/ Pak Erick Thohir bisa lebih mudah memberantas mafia impor, kalau Departemen Perdagangan ditiadakan saja. Juga Perindustrian. Jadikan kedirektoratan di deplu. Semua akan lebih mudah dan murah. Mohon maaf kalau tidak berkenan🙏
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) April 21, 2020
Tentu saja, kabar akan adanya mafia ini dapat membuat masyarakat semakin geram. Pasalnya, alkes, obat-obatan, hingga alat pelindung diri (APD) menjadi sulit ditemukan di tengah kebutuhan yang mendesak ini.
Persoalan ini sebenarnya juga bukan barang baru. Pada tahun 2018 silam, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab) Sugihadi menyebutkan bahwa dominasi impor membuat industri alkes domestik terseok-seok.
Keadaan pun memburuk dengan pandemi yang merongrong dunia. Banyak negara akhirnya memilih membatasi ekspor alkes dan APD – menciptakan minimnya pasokan bagi Indonesia yang masih banyak mengimpor.
Kegeraman kepada mafia-mafia ini tentu membuat publik bertanya-tanya. Siapakah para mafia impor yang disebutkan oleh Erick beberapa waktu lalu? Lantas, mengapa Menteri BUMN baru sekarang mengungkapkan fakta ini kembali?
Kerja Senyap Mafia?
Upaya permainan bisnis yang terjadi di industri farmasi dan alkes sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan, beberapa perusahaan farmasi di Indonesia disebut-sebut turut terlibat dalam upaya monopoli pengadaan obat-obatan.
Monopoli semacam ini pernah terjadi dalam upaya pemerintah Indonesia dalam pengadaan obat antriretroviral (ARV) yang dinilai penting bagi para pasien yang mengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV/AIDS). Obat ini termasuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2019 yang harus dijamin stoknya oleh pemerintah.
Akhirnya, pada tahun 2018, pemerintah mengadakan tender bagi perusahaan-perusahaan farmasi. Pengadaan yang kala itu diadakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tersebut ternyata gagal karena adanya dugaan monopoli.
Bagaimana tidak? Beberapa perusahaan – seperti Kimia Farma dan Indofarma Global Medika – dinilai menawarkan tawaran harga yang terlalu tinggi yang tak mampu dipenuhi oleh pemerintah.
Kimia Farma dan Indofarma kala itu menawarkan harga obat masing-masing sebesar Rp 404 ribu dan Rp 385 ribu. Tawaran-tawaran harga ini dinilai terlalu terpaut jauh dengan harga obat ARV di pasar global yang kala itu hanya sekitar Rp 112 ribu.
Pandemi Covid-19 menempatkan industri farmasi pada posisi yang lebih tinggi dalam hierarki politik dan sosial. Share on XPraktik monopoli yang diduga dilakukan dalam pengadaan obat ARV ini bisa saja didasarkan pada kesempatan tertentu. Pasalnya, HIV/AIDS sendiri hingga kini masih berstatus pandemi menurut World Health Organization (WHO).
Hal ini sejalan dengan penjelasan Feler Bose dan Joseph Moran dalam tulisan mereka yang berjudul Do Focusing Events and Narratives Drive Pharma Rent-seeking. Bose dan Moran menyebutkan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu – seperti wabah dan bencana alam – dapat meningkatkan perilaku perusahaan farmasi guna melakukan rent-seeking terkait kebijakan publik.
Bila perilaku monopoli harga dan rent-seeking dapat terjadi dalam pengadaan obat ARV, bagaimana dengan pandemi Covid-19 yang terjadi di hampir seluruh bagian dunia kini? Mengapa perusahaan farmasi bisa melakukan upaya-upaya semacam ini?
Bukan tidak mungkin perilaku mafia impor turut memengaruhi pengadaan alkes dan obat-obatan di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, perilaku guna memaksimal profit ini sejalan dengan asumsi Bose dan Moran mengenai peristiwa tertentu sebagai faktor pendorong.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir misalnya, menilai bahwa kelangkaan dan tingginya harga alkes di tengah pandemi Covid-19 dapat disebabkan oleh permainan broker (makelar). Permintaan yang tinggi ini menjadi kesempatan bagi para mafia impor ini.
Apa yang diungkapkan oleh Honesti ini bisa jadi sejalan dengan penjelasan dalam tulisan Bose dan Moran bahwa perusahaan farmasi dan kesehatan dapat menjadi kelompok yang “diuntungkan” dalam pandemi kali ini. Hal ini terjadi karena pandemi Covid-19 menempatkan mereka pada posisi yang lebih tinggi dalam hierarki politik dan sosial.
Maka dari itu, bisa jadi, mafia impor alkes dan farmasi turut bermain di balik kelangkaan dan mahalnya barang-barang ini. Namun, bila benar begitu, permainan ini juga dapat membawa konsekuensi dalam dinamika politik.
Terdapat beberapa pertanyaan yang timbul dari keputusan Erick untuk mengumumkan keberadaan mafia ini kini. Apa kira-kira alasan Menteri BUMN melontarkan dugaan tersebut? Lantas, bagaimanakah pengaruhnya pada diskursus di masyarakat?
Permainan Misteri?
Pernyataan yang dilontarkan oleh Erick bisa jadi berkaitan dengan teknik penghindaran kesalahan (blame avoidance). Upaya ini bisa juga terbantu dengan kecenderungan psikologis manusia yang kerap tertarik dengan misteri.
Bagaimana tidak? Menteri BUMN tidak melanjutkan pernyataan tersebut dengan menyebutkan siapa mafia yang dimaksud. Selain itu, solusi yang pasti juga tampaknya tak disebutkan secara tegas oleh Erick.
Hal ini tentunya menimbulkan beberapa kritik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono misalnya, menganggap Erick hanya melakukan koar–koar saja karena tak langsung menyebut siapa-siapa yang dimaksud sebagai mafia.
Tak hanya Arief, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuiti turut bersuara memberikan masukan kepada Erick. Menurutnya, solusi yang tepat dapat dilakukan dengan melakukan perubahan institusional di pemerintahan.
Bisa jadi, perhatian-perhatian inilah yang turut diinginkan oleh Erick dalam melontarkan misteri akan mafia impor alkes ini. Pasalnya, manusia memiliki tendensi guna mencari tahu hal-hal yang tidak diketahuinya.
Profesor psikologi asal Liverpool John Moores University – Les Lancaster – menjelaskan bahwa sudah menjadi warisan dalam diri manusia guna memiliki keinginan untuk mencari jawaban dengan mengandalkan imajinasi. Misteri memberikan perasaan akan adanya hal besar yang terjadi.
Hal yang senada juga dijelaskan oleh Celeste Kidd dan Benjamin Y. Hayden dalam tulisan mereka yang berjudul The Psychology and Neuroscience of Curiosity. Setidaknya, Kidd dan Hayden menekankan bahwa rasa penasaran (curiosity) merupakan salah satu elemen kognitif yang senantiasa mendorong makhluk hidup untuk terus mencari tahu.
Lantas, apa hubungan permainan misteri ini dengan dinamika politik?
Bukan tidak mungkin permainan misteri yang diungkapkan oleh Erick ini berkaitan dengan semakin banyaknya kritik terhadap pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19. Salah satunya adalah kritik yang diungkapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait terbatasnya APD, masker, dan alkes.
Bisa jadi, pemerintah turut memainkan penghindaran kesalahan dengan mencari kambing hitam (scapegoating). R. Kent Weaver dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Blame Avoidance menjelaskan bahwa teknik penghindaran kesalahan ini dapat dilakukan dengan menyalahkan pihak lain.
Boleh jadi, kombinasi permainan misteri dan penghindaran kesalahan ini membuat pemerintah terlihat lebih tidak bersalah di mata publik. Pasalnya, pemerintah pada akhirnya dianggap harus menghadapi sosok-sosok misterius di balik kegagalan pemerintah dalam menyediakan alkes yang cukup.
Padahal, bagaimanapun juga, ketegasan dan kebijakan pemerintah sendiri juga dapat menjadi kontribusi dalam penyelesaian misteri mafia ini. Mungkin, kita harus menanti lebih lanjut guna mengetahui apakah pemerintah siap berkontribusi atau tidak. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.