HomeNalar PolitikCorona Munculkan Al Capone ala Indonesia?

Corona Munculkan Al Capone ala Indonesia?

Ancaman resesi ekonomi karena pandemi Corona (Covid-19) disebut-sebut dapat menyebabkan peningkatan angka kriminalitas di Indonesia. Mungkinkah muncul aktor seperti Al Capone di Indonesia?


PinterPolitik.com

“I am like any other man. All I do is supply a demand” – Al Capone, pemimpin geng ternama asal Amerika Serikat

Siapa yang tidak suka dengan film-film laga khas Hollywood asal Amerika Serikat (AS)? Mungkin, hampir semua orang di masyarakat Indonesia ini pasti pernah menonton film-film action yang menonjolkan aksi-aksi yang tak jarang membuat jantung berdebar-debar karena terbawa suasana.

Salah satu tema kisah yang mudah ditemui dalam film-film laga Hollywood adalah tema gangster dan mafia. Mungkin, sebagian orang tidak asing lagi dengan film-film seperti ini.

Film yang berjudul Public Enemies (2009) misalnya mengisahkan beberapa gangsters yang terkenal pada tahun 1920-an hingga 1930-an di AS, seperti John Dillinger, Baby Face Nelson, dan Pretty Boy Floyd.

Dalam film tersebut, diceritakan bahwa Dillinger yang diperankan oleh Johnny Depp merupakan musuh masyarakat (public enemies) dan kepolisian federal karena kerap menjalankan aktivitas kriminal berupa perampokan bank.

Mungkin, film Hollywood yang mengisahkan para gangsters ini masih memiliki tempat di hati masyarakat. Pasalnya, dalam beberapa waktu ke depan, sebuah film yang mengisahkan gangster lainnya juga akan segera dirilis secara digital, yakni Capone (2020).

Dalam film itu, Tom Hardy mengambil peran sebagai Alphonse Gabriel Capone (alias Al Capone). Nama ini pasti sudah tidak asing di telinga banyak orang – apalagi bagi mereka yang menggemari kisah-kisah mafia AS.

Meski film-film seperti ini terlihat keren dan menegangkan ketika ditonton, terdapat latar belakang sosial, ekonomi, dan politik di baliknya. Pasalnya, kala itu, AS menghadapi salah satu resesi ekonomi terbesar dalam sejarah, yakni Great Depression (Depresi Besar) yang terjadi sekitar tahun 1929 hingga tahun 1939.

Situasi yang cukup mencekam – ditambah kebijakan tertentu dari pemerintah AS – kala itu menciptakan situasi yang memungkinkan bagi kemunculan kelompok-kelompok geng. Kriminalitas pun tercatat tinggi.

Kisah historis ala gangsters semacam ini membuat kita sedikit bertanya. Apakah mungkin situasi tersebut terjadi di Indonesia? Faktor-faktor seperti apa yang memungkinkan peningkatan kriminalitas di tengah pandemi virus Corona (Covid-19)?

Lawlessness di Depresi Besar

Ketika Depresi Besar menjadi bayang-bayang ekonomi di AS, situasi sosial turut terdampak. Pengangguran yang meningkat kala itu diikuti dengan peningkatan aktivitas kriminal – menciptakan momentum tersendiri bagi lahirnya kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir.

Bisa dibilang Depresi Besar adalah salah satu resesi ekonomi terburuk. Nilai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) harus menurun tajam hingga minus 15 persen pada tahun 1920-an dan 1930-an.

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

Harry G. Levine dari City University of New York (CUNY) dalam tulisannya yang berjudul The Birth of American Alcohol Control menggambarkan bahwa kemiskinan dan tunawisma bukanlah hal yang asing lagi pada tahun 1930-an, melainkan sudah menjadi fakta yang harus ditelan oleh jutaan orang AS. Banyak orang akhirnya mulai mempertanyakan kinerja dari sistem kapitalis yang dianut negeri Paman Sam tersebut.

Sejalan dengan Levine, Peter Vogel dalam bukunya yang berjudul Generation Jobless? menjelaskan bahwa kelompok yang sangat terdampak oleh pengangguran yang dihasilkan oleh Depresi Besar kala itu adalah kelompok muda. Bahkan, era itu menjadi krisis pengangguran yang terburuk bagi kelompok muda.

Bukan tidak mungkin, dengan resesi ekonomi seperti Depresi Besar, kelompok muda menjadi lebih rentan terekspos pada aktivitas kriminal. Brian Bell dari Centre for Economic Performance, London School of Economics (LSE), telah menjelaskan kemungkinan ini dalam tulisannya yang berjudul Do Recessions Increase Crime?.

Resesi ekonomi membuat kelompok muda menjadi lebih rentan terekspos pada aktivitas kriminal. Share on X

Lantas, bagaimanakah dampak kondisi ekonomi ini terhadap kriminalitas di AS kala Depresi Besar? Peran apa yang diisi oleh para gangsters yang disebutkan di awal tulisan?

Kondisi-kondisi ekonomi dan masyarakat ini membawa landasan bagi kemunculan lawlessness. Istilah ini dapat didefinisikan sebagai situasi kekacauan yang mana hukum dan penegakannya banyak diabaikan.

Mengacu pada penjelasan Levine, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran kala itu membuat banyak warga AS beralih ke aktivitas-aktivitas ilegal. Beberapa di antaranya adalah penyelundupan, perampokan bank, rentenir, hingga pembunuhan.

Pergeseran ke kegiatan kriminal ini terjadi karena minimnya lowongan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah dan sektor swasta. Bahkan, peran pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat kala itu malah diisi oleh para gangsters.

Al Capone misalnya membuka dapur umum (soup kitchen) di Kota Chicago, AS. Dapur umum tersebut menyediakan makanan sehari-hari bagi mereka yang terdampak oleh fenomena pengangguran besar-besaran.

Akibatnya, layaknya anarki, hilangnya keteraturan dan kemungkinan akan adanya revolusi tidak lagi hanya menjadi sekadar teori. Pembangkangan banyak pihak terhadap kebijakan prohibiton (larangan alkohol) turut menjadi bukti bahwa otoritas hukum tak lagi dihiraukan.

Jika situasi lawlessness ini dapat terjadi di AS kala Depresi Besar, mungkinkah fenomena serupa terjadi di Indonesia di tengah pandemi Covid-19? Mungkinkah resesi ekonomi ke depannya membawa landasan bagi peningkatan kriminalitas?

Mungkinkah di Indonesia?

Meski belum dapat dipastikan bahwa lawlessness dapat terjadi di Indonesia, bukan tidak mungkin resesi ekonomi akan membayangi masyarakat dengan kriminalitas. Pasalnya, angka pengangguran diproyeksikan dapat bertambah secara signifikan.

International Monetary Fund (IMF) sendiri telah memprediksi bahwa ekonomi dunia akan mengalami resesi terburuk sepanjang sejarah sejak Depresi Besar. Bila dibandingkan dengan krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang menurunkan pertumbuhan PDB hingga 0,1 persen, resesi berikutnya yang disebut sebagai Great Lockdown ini dapat disertai dengan penurunan hingga 3 persen.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Dengan berkurangnya aktivitas ekonomi di seluruh dunia – termasuk Indonesia, banyak perusahaan bukan tidak mungkin akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri menyampaikan bahwa pandemi ini akan membawa penambahan angka pengangguran yang cukup besar, yakni 2,9 juta hingga 5,23 juta orang.

Hampir dipastikan bahwa kelompok usia produktif yang masih muda menjadi kelompok yang paling rentan. Pasalnya, bukan tidak mungkin pasar kerja akan semakin berkurang dengan menurunnya aktivitas ekonomi – khususnya bagi mereka yang baru lulus dari institusi pendidikannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, angka pengangguran tertinggi terjadi di kelompok usia muda dengan persentase 26,67 persen di kelompok usia 15-19; 16,73 persen di kelompok usia 20-24; dan 6,99 persen di kelompok usia 25-29.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap kriminalitas di Indonesia? Apakah mungkin lawlessness juga bisa terjadi?

Bukan tidak mungkin resesi Great Lockdown di Indonesia yang disertai pengangguran dan PHK akan memengaruhi angka kriminalitas seperti kondisi AS kala Depresi Besar. Mengacu pada penjelasan Bell sebelumnya, kelompok muda juga semakin mungkin terekspos ke aktivitas kriminal

Meski Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengklaim bahwa terjadi penurunan kriminalitas dalam dua minggu terakhir – yakni sekitar 4,32 persen, publik juga perlu diingatkan bahwa kriminalitas juga meningkat bila mengacu pada interval per bulan. Pada bulan Februari-Maret, Polri melaporkan bahwa terdapat peningkatan – termasuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat – sekitar 19,72 persen.

Meski begitu, situasi lawlessness belum tentu dapat sepenuhnya terjadi di Indonesia kala pandemi ini. Pasalnya, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tampaknya turut memperkuat kekuatan dan penegakan hukum dengan beberapa aturan yang menyertai penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pemerintah mungkin telah membaca kemungkinan akan hilangnya keteraturan (order) di masyarakat. Kembali munculnya berita soal potensi penjarahan dan penangkapan terhadap kelompok Anarko misalnya, bisa jadi berhubungan dengan upaya pemerintah untuk memperkecil momentum ketidakstabilan akibat pandemi dan dampak ekonominya.

Mungkin, dengan upaya-upaya tersebut, Al Capone ala Indonesia semakin tidak memiliki kesempatan untuk muncul di masyarakat. Meski begitu, yang jelas, pengangguran tak akan segera turun dalam waktu dekat dan pemerintah bisa jadi perlu memperhatikan dampak sosialnya pula. Menarik untuk dinantikan kelanjutannya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.