“Pada saat krisis 1998, penumpang gelapnya adalah—meminjam istilah Kwik Kian Gie—para konglomerat hitam, yang menjadi obligor BLBI. Kita tidak ingin jika krisis akibat pandemi global Covid-19 juga ditunggangi oleh para penumpang gelap”. – Dipo Alam, Veteran BAPPENAS 1998/Deputi Menko Perekonomian Pemonitor Pelaksanaan Perjanjian RI-IMF
PinterPolitik.com
Krisis yang diakibatkan oleh Covid-19 emang telah merembet ke berbagai bidang. Yang awalnya hanya dianggap sebagai persoalan kesehatan, kini sudah merembet ke persoalan politik dan ekonomi. Belakangan, mulai lahir juga tuh gejolak sosial akibat Covid-19.
Beh, ini mah levelnya udah parah bin gawat. Bayangin aja, kemarin ada tuh sekelompok orang yang menyebut diri Anarcho Syndicalism yang mengancam akan melakukan gerakan penjarahan massal dan menimbulkan kekacauan karena situasi sulit yang muncul akibat Covid-19.
Soalnya emang sekarang ekonomi sedang pelik. Akibat kebijakan menghentikan aktivitas perkantoran dan ekonomi – di Jakarta misalnya lewat pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hanya 8 sektor yang diperbolehkan menjalankan usaha – akhirnya banyak pekerja yang di-PHK atau dirumahkan.
Catatan BPJamsostek menyebutkan ada sekitar 2,8 juta pekerja yang terdampak Covid-19 ini, dengan hampir separuh di antaranya di-PHK. Artinya, gelombang kehilangan pekerjaan ini bisa melahirkan chaos jika situasi tak kunjung membaik. Nah, kalau sudah kayak gitu, maka Covid-19 ujung-ujungnya akan menjadi masalah sosial.
Persoalannya, di tengah kegawadaruratan dan kepanikan yang mendera publik, sebagian pihak justru “memanfaatkan” momen ini untuk meraih kepentingan tertentu. Tuh lihat anggota DPR yang tiba-tiba aja kebut-kebutan membahas produk hukum sensitif macam RKUHP. Padahal RKUHP pada September 2019 lalu sempat melahirkan gelombang protes besar.
Begitupun dengan Omnibus Law yang juga sensitif terhadap masyarakat lapisan bawah dan sarat akan kepentingan pengusaha dan pebisnis yang kini juga dikebut.
Makanya, nggak heran, banyak yang menilai dua produk hukum tersebut sedang “ditunggangi” oleh pihak tertentu – meminjam istilahnya Pak Dipo Alam – yang bisa disebut sebagai “penumpang gelap”.
Istilah ini memang kerap hadir ketika muncul krisis – baik ekonomi maupun politik. Pada tahun 1998 lalu, para penumpang gelap itu mengambil keuntungan dari chaos yang terjadi, misalnya di sektor properti yang terdampak besar akibat kekacauan kala itu.
Makanya, nggak heran kalau Omnibus Law dituduh ada yang menunggangi.
Tapi, sebenarnya ada sisi positifnya sih Undang-Undang sapu jagat itu dibahas dan pada akhirnya disahkan nanti jika tidak ada kendala dan tentangan berarti. Soalnya, Omnibus Law dianggap akan menjadi produk hukum yang memberikan kemudahan berusaha.
Soalnya, selama ini kan aturan terkait investasi dan kemudahan berusaha di Indonesia sering tumpang tindih, apalagi di tingkatan lokal.
Hmmm, semoga aja situasi di tengah Covid-19 ini tidak dimanfaatkan untuk hal yang benar-benar buruk ya. Pak Jokowi tetap harus waspada juga soal potensi adanya penumpang gelap yang memanfaatkan situasi ini.
Soalnya penumpang gelap itu bisa bahaya buat Indonesia. Kalau yang enak itu Kekasih Gelap – eh lagunya grup band Ungu loh yang dimaksud. Enak didengar maksudnya. Hehehe. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.