Di tengah berbagai kritik, bahkan prediksi kejatuhan yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Selentingan kabar justru menyebutkan bahwa Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan menjadi “tumbal” dengan dimakzulkan guna meredam berbagai ketidakpuasan publik terhadap pemerintah.
PinterPolitik.com
Mendengar kata Amazon, kita tentu mengasosiasikannya pada perusahaan teknologi multinasional Amerika Serikat (AS) yang berbasis di Seattle, Washington, yang berfokus pada e-commerce, cloud computing, streaming digital, dan kecerdasan buatan.
Asosiasi tersebut tidaklah salah. Akan tetapi, tahukah kalian bahwa perusahaan yang CEO-nya adalah Jeff Bezos tersebut tengah melakukan upaya untuk menggulingkan Presiden AS Donald Trump sebagai bagian dari bandingnya terhadap keputusan Pentagon yang memberikan kontrak cloud JEDI senilai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 150 triliun kepada Microsoft?
Wah, tidak cukup dengan adanya upaya penggulingan dari DPR AS beberapa waktu yang lalu, kendati kemudian gagal. Kini Trump juga harus menghadapi ancaman penggulingan dari sebuah perusahaan raksasa.
Sedikit tidaknya, konteks Trump yang ingin digulingkan atau dimakzulkan oleh banyak pihak tersebut boleh jadi juga diprediksi akan terjadi pada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bagaimana tidak? Berbagai pihak silih berganti mengutarakan harapan atas lengsernya ataupun berhentinya mantan Wali Kota Solo tersebut dari jabatan presiden.
Pada masa kampanye lalu misalnya, berbagai kelompok oposisi hilir mudik menyerukan agar Jokowi segera turun.
Uniknya, pada kasus hebohnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang notabene adalah partai koalisi pemerintah justru menyebutkan bahwa Jokowi bisa dimakzulkan jika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.
Terbaru, tiga tokoh oposisi yakni Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, dan Rizal Ramli (RR) turut memprediksi kejatuhan ataupun akan adanya krisis ekonomi besar yang melanda pemerintahan Jokowi.
Rocky, seperti biasa, dengan aksentuasi khasnya, ia memprediksi bahwa Jokowi akan jatuh atau lengser sebelum 2024. Itu merujuk pada terjadinya surplus ketidakpuasan publik karena inkonsistensi kebijakan dan janji-janji sang presiden.
Lalu ada Syahganda yang menyebutkan bahwa Jokowi akan jatuh dalam waktu enam bulan karena menilai wabah virus Corona (Covid-19) yang tengah memporak-porakdakan ekonomi Tiongkok, membuat negeri Tirai Bambu tersebut tidak dapat menolong Indonesia dari kesulitan ekonomi yang disebut tengah terjadi saat ini.
Tidak ketinggalan, ada prediksi RR yang menyebutkan bahwa akan terjadi krisis ekonomi besar menjelang lebaran.
Merangkum ketiganya, jika benar akan terjadi gejolak ekonomi dan krisis kepercayaan publik, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 1998 lalu, mungkin dapat disimpulkan bahwa lengsernya Soeharto akan kembali terjadi di diri Jokowi.
Akan tetapi, menariknya, di tengah bergulirnya isu kejatuhan tersebut, terdapat selentingan kabar yang menyebutkan bahwa Jokowi telah menyiapkan langkah untuk meredam ketidakpuasan publik dengan menjadikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai “kambing hitam”.
Konteksnya juga semakin menarik menimbang pada Ma’ruf yang mendapat sorotan publik seiring dengan kinerja ataupun perannya yang dinilai belum terasa atau terlihat.
Beberapa waktu yang lalu, Rocky – entah disengaja atau tidak – bahkan telah salah melapalkan nama Ma’ruf dengan menyebutnya “Mafluf”. Tuturnya, karena sang wakil presiden jarang muncul, ia sampai lupa nama mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Tentu pertanyaannya, jika kabar tersebut benar adanya, mungkinkah Ma’ruf akan dilengserken atau dimakzulkan?
Jokowi Kebal Pemakzulan?
Tanpa bermaksud mendiskreditkan prediksi ketiga tokoh oposisi tersebut, sepertinya harus diakui bahwa kejatuhan Jokowi nampaknya masih terlalu jauh untuk terjadi. Bagaimana tidak? Instrumen-instrumen kekuatan yang dinilai berperan dalam penggulingan presiden nampaknya justru berada di tangan Jokowi.
Pertama, dengan diterapkannya politik akomodatif yang masif, Jokowi telah menghimpun koalisi gemuk yang bersemayam dalam kursi-kursi empuk DPR dan MPR RI. Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, komposisi Ketua MPR dan DPR periode 2019-2024 menunjukkan bukti kesolidan partai pengusung pemerintahan Jokowi di parlemen. Pun begitu dengan fakta bahwa 74 persen kursi di parlemen diisi oleh partai koalisi Jokowi.
Dengan demikian, katakanlah akan terjadi sidang istimewa di MPR, kemungkinan Jokowi untuk lolos seperti halnya kegagalan pemakzulan Trump di AS tentu sangat terbuka lebar.
Kedua, bertolak dari kegagalan kudeta Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 2016 lalu, dan berhasilnya kudeta di Thailand, dapat disimpulkan bahwa dukungan penuh militer adalah faktor penting dalam keberhasilan suatu kudeta atau upaya dalam menggulingkan singgasana presiden.
Menariknya, sedari awal Jokowi disebut memiliki hubungan yang baik dengan militer sejak periode pertama kepemimpinannya. Di pos tertinggi TNI misalnya, Jokowi dinilai dekat dengan sosok Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Selain karena Jokowi sendiri yang merekomendasikan Hadi, jejak kedekatan keduanya disinyalir telah terbentuk semenjak nama terakhir menjabat sebagai Komandan Lanud Adi Sumarno, Solo, pada periode 2010.
Ditunjuknya Hadi juga semakin menambah kecurigaan berbagai pihak bahwa Jokowi memang sengaja memilih pejabat yang memiliki latar belakang penugasan di Solo. Sebelumnya Jokowi juga memilih mantan Dandim Surakarta Kol. Inf. Widi Prasetyono (Akmil 1993) sebagai ajudannya.
Lalu ada pula, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa yang disebut-sebut akan menjadi pengganti Hadi sebagai Panglima TNI, telah banyak diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan Jokowi.
Selain itu, Jokowi juga banyak menempatkan berbagai jenderal di jabatan publik. Bahkan, ia menempatkan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama (Menag), yang mana itu adalah Menag dari militer pertama sejak terjadinya Reformasi.
Tidak ketinggalan, tentunya adalah nama mantan Kapolri Tito Karnavian yang disebut pula memiliki hubungan yang dekat dengan Jokowi. Kendati Tito tidak lagi menjabat sebagai sosok tertinggi di kepolisian, Idham Aziz yang menjadi Kapolri yang baru, nyatanya diketahui memiliki hubungan baik dengan Tito – bahkan disebut sebagai “orangnya Tito”.
Dengan demikian, Jokowi nampaknya telah menghimpun kekuatan militer, baik dari TNI maupun Polri. Katakanlah akan terjadi demonstrasi besar karena memuncaknya ketidakpercayaan publik ataupun kondisi ekonomi yang semakin parah – saat ini dolar bahkan telah menembus Rp 15 ribu – kekuatan militer tersebut dapat menjadi “pemukul balik” yang sangat mumpuni.
Ma’ruf Amin Ditumbalkan?
Akan tetapi, seperti yang disebutkan dalam ajaran Konfusius bahwa public trust atau kepercayaan publik adalah hal yang paling penting bagi suatu pemimpin, tentu sulit untuk membayangkan bahwa Jokowi ataupun para penasihatnya, akan memilih strategi seperti memanfaatkan dukungan di DPR dan MPR, ataupun menggunakan militer yang berpotensi menciptakan pertumpahan darah.
Oleh karenanya, dengan sedikit melakukan spekulasi, bukankah terdapat strategi yang lebih baik, misalnya dengan menempatkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai pesakitan atau “kambing hitam” atas gelombang ketidakpuasan publik yang terjadi.
Pasalnya, taktik serupa juga disinyalir dilakukan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang disebut menjadikan Wakil Presiden Filipina Leni Robredo sebagai “kambing hitam” atas kegagalannya dalam memerangi narkoba.
Tidak hanya Duterte, terdapat pula dugaan bahwa Presiden AS Donald Trump juga menempatkan Wakil Presiden AS Mike Pence sebagai “kambing hitam” dalam penanganan wabah Covid-19.
Baik Duterte ataupun Trump, sama-sama menempatkan wakilnya, yakni Robredo dan Pence sebagai penanggung jawab atas isu terkait. Dengan kata lain, jika isu tersebut tidak mampu ditangani, maka mudah untuk membuat kesimpulan bahwa itu adalah salah keduanya.
Pada konteks Jokowi, sampai saat ini memang belum ditemukan pola serupa, yakni Ma’ruf dijadikan penanggung jawab atas isu-isu krusial, misalnya penangangan Covid-19.
Akan tetapi, jika melihat peta politik saat ini, Ma’ruf nampaknya tidak memiliki dukungan politik yang mumpungi untuk mempertahankan posisinya. Pasalnya, dua partai pendukung utamanya, yakni PPP dan PKB disinyalir tengah mengalami penurunan pengaruh.
Pasalnya, mantan Ketua Umum (Ketum) PPP Muhammad Romahurmuziy yang mendukung Ma’ruf, saat ini tengah tersangkut kasus korupsi. Lalu, Ketum PPP saat ini, Suharso Monoarfa disebut-sebut adalah sosok yang mendukung Jokowi.
Kemudian PKB, dukungan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) kepada Ma’ruf nampaknya akan berkurang, menimbang pada adanya kabar bahwa PDIP akan menjadikan PKB sebagai pengganti Nasdem. Sebagaimana diketahui, hubungan PDIP dan Nasdem disinyalir telah memburuk seiring dengan berbagai manuver politik partai biru yang tidak disukai oleh partai banteng.
Merujuk pada Pasal 7 UUD 1945, yang mana sidang istimewa pergantian wapres dilakukan di MPR. Dengan adanya dukungan ketua MPR ke Jokowi, bukankah itu memperbesar peluang terlaksananya skenario tersebut?
Selain itu, terdapat nama Menko Polhukam Mahfud MD yang dapat menjadi pengganti Ma’ruf agar perwakilan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wapres tetap dapat dijaga. Seperti yang diketahui, Mahfud memang menjadi pilihan Jokowi untuk mendampinginya di kontestasi Pilpres 2019, sebelum akhirnya memutuskan nama Ma’ruf karena terdesak oleh berbagai tekanan politik yang ada.
Pada akhirnya, apapun yang akan terjadi, tulisan ini tentu hanyalah spekulasi semata. Namun, di luar itu, potensi dimakzulkannya Ma’ruf tentu dapat menjadi bahan obrolan sembari menikmati secangkir kopi. Berikan pendapatmu. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.