Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, mulai dari isu banjir hingga polemik Taman Ismail Marzuki (TIM). Anies telah menghadapi gelombang kritikan hingga ancaman yang dilayangkan kepadanya. Namun, tak sedikit yang menunjuk bahwa sepertinya terdapat intrik politik tersendiri untuk menghentikan popularitas Anies menjelang Pilpres 2024. Benarkah Demikian?
PinterPolitik.com
Di awal tahun 2020, Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terkena banjir akibat guyuran hujan deras yang terjadi selama berhari-hari. Hal tersebut menjadi polemik, setelah banyak pihak menyebutkan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak mampu menangani banjir dan tidak memiliki konsep yang jelas dalam penanganannya.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa Anies tidak mengerti konsep penanganan banjir dan menyebut banjir tahun 2020 merupakan yang terparah sejak 2007.
Setelah itu, polemik lain muncul, kali ini mengenai revitalisasi Monas yang dianggap mengabaikan perizinan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg). Lalu, berbagai pihak juga menuduh Pemprov DKI Jakarta mengabaikan persoalan lingkungan.
Prasetyo bahkan menyebut akan memperkarakan Anies mengenai persoalan revitalisasi Monas jika tidak dihentikan.
Polemik berikutnya adalah terkait pagelaran Formula E, setelah mencuat kabar terdapat kesalahan pengetikan dalam surat usulan yang dikirim Anies kepada Mensesneg. Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah, memberikan pernyataan bahwa ada kesalahan dalam penerbitan rekomendasi yang diberikan.
Atas kejadian tersebut, lagi-lagi Prasetyo Edi bahkan menyebut Anies telah melakukan manipulasi dan kebohongan publik.
Menurutnya, Anies melakukan manipulasi dan kebohongan publik melalui surat usulan yang dikirimnya kepada Mensesneg karena pihak yang memberikan rekomendasi dalam surat usulan tersebut tidak merasa memberikannya.
Di tengah polemik Formula E, peristiwa lain justru kembali mencuat dalam pemberitaan, yaitu terkait polemik revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM).
Tak sedikit meyebutkan bahwa revitalisasi TIM itu membuat para seniman dan budayawan terancam kehilangan tempat untuk menjalankan aktivitasnya.
DPRD DKI Jakarta telah memotong anggaran yang diajukan untuk program revitalisasi tersebut dan tak menyetujui pembangunan hotel di area tersebut yang menjadi salah satu bagian dari proyek itu.
Melihat lebih dalam konteks polemik yang terjadi, sepintas terlihat seperti tidak adanya harmonisasi antara DPRD dan Anies. Sebagaimana diketahui, dalam beberapa polemik yang terjadi di Jakarta, DPRD terlihat banyak memberikan kritik, bahkan ancaman kepada Anies.
Konteks ini memang menimbulkan pertanyaan, terutama dengan makin kuatnya selentingan yang menyebut Anies akan maju di Pilpres 2024. Jika demikian, inikah cara lawan politik menjegal Anies?
DPRD dan Guberbur DKI Saling Bertolak Belakang
Persoalan yang terjadi antara Anies dan DPRD memang menggambarkan konsekuensi dari sistem politik yang dianut negara ini.
Kenneth Clinton Wheare menyebutkan bahwa sistem politik suatu negara merupakan pilihan politik dari negara bersangkutan dan merupakan kesepakatan dasar para pengambil kebijakan yang didasarkan kepada kondisi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum – apa yang sering disebut sebagai resultante atau konsekuensi.
Artinya, sangat mungkin sekali suatu kebijakan mendapatkan reaksi yang positif dan negatif bergantung pada kondisi-kondisi yang menentukannya.
Dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif, memang terdapat keharusan untuk saling mengontrol dan mengimbangi, yang sering disebut sebagai check and balances. Di Indonesia istilah ini lahir akibat otoritarianisme yang terjadi pada era Orde Baru.
Kemudian, prinsip yang ada dalam check and balances menghendaki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki fungsi saling mengontrol. Amerika Serikat (AS) adalah salah satu negara yang pertama kali menggunakan prinsip ini lewat adanya pembagian kekuasaan.
Robert Weissberg dalam Understanding American Government, mengemukakan bahwa prinsip pemisahan kekuasaan adalah doktrin check and balances itu sendiri. Doktrin inilah yang dapat memunculkan kasus impeachment atau pemakzulan yang beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan di AS terkait kasus Presiden Donald Trump.
Artinya, adanya check and Balances ini sejatinya dapat dijadikan sebagai alat kritik terhadap lembaga eksekutif ketika memunculkan sebuah kebijakan atau keputusan tertentu. Dengan demikian, kritik yang diajukan oleh DPRD terhadap program maupun kebijakan Anies sebetulnya memiliki landasan yang jelas.
Ini juga menjadi bagian dari model komunikasi politik antara dua entitas politik tersebut. R. Fagen dalam Politics and Communication menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan kegiatan komunikasi yang dianggap politis berdasarkan segala konsekuensi, baik yang nyata maupun terpendam, sehingga dapat mempengaruhi jalannya sistem politik.
Artinya, selalu ada kesempatan bagi DPRD untuk melakukan kritik terhadap Anies. Persoalannya adalah jika dampak kritik tersebut pada akhirnya mempengaruhi pandangan publik terkait citra politik sang gubernur, maka bisa dipastikan komunikasi tersebut punya maksud lain di belakangnya.
Apalagi, Anies adalah salah satu tokoh yang dianggap punya peluang untuk kontestasi politik yang lebih besar, katakanlah macam Pilpres 2024.
Jika demikan, apakah kritik DPRD terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut, mengindikasikan adanya upaya DPRD menghalangi Anies untuk maju pada Pilpres 2024?
Karir Politik Anies Dijegal??
Di tengah polemik yang banyak menyudutkan Anies, dalam survei mengenai sosok calon presiden untuk Pilpres 2024, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan bahwa Anies Baswedan adalah salah satu kandidat potensial.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa Anies juga memiliki kekuatan politik yang besar. Selain itu, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, mengatakan bahwa partainya siap mendukung Anies jika maju menjadi calon presiden pada 2024.
Artinya, dengan modal politik yang dimiliki Anies, maka besar kemungkinan banyak pihak sedang berupaya untuk “menjegal” karir politinya. Polemik impeachment atau pemakzulan Presiden AS Donald Trump misalnya, disebut banyak pihak sebagai bentuk perusakan citra yang dilakukan oleh DPR AS dengan tujuan menjegal Trump di Pilpres 2020.
Konteks tersebut memperlihatkan pola yang hampir sama dengan kondisi politik di Jakarta. Boleh jadi memang sedang ada upaya dari DPRD untuk merusak citra Anies dengan tujuan penjegalan menuju Pilpres 2024, atau yang lebih dekat untuk Pilkada DKI Jakarta 2022 – katakanlah jika Anies mencalonkan diri lagi.
Selain itu, Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah mengatakan pembentukan Pansus Banjir oleh DPRD misalnya, adalah salah satu bukti kebijakan politik demi menjatuhkan citra Anies dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menjegalnya agar tidak mencalonkan diri di Pilpres 2024.
Dengan demikian, dengan konteks bahwa saat ini DPRD DKI Jakarta dikuasai oleh PDIP – terutama di pucuk pimpinan tertinggi lembaga tersebut – maka bisa dipastikan bahwa benturan yang lebih besar sedang terjadi. Bukan tanpa alasan, sosok Anies memang dianggap berseberangan dengan PDIP, hal yang jelas terlihat katakanlah sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Atas dasar itu, mungkin dapat disimpulkan, walaupun Pilpres terbilang masih 4 tahun lagi, sepertinya telah terjadi gesekan-gesekan politik yang secara tidak langsung mengarah kepada alasan elektoral. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F59)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.