HomeNalar PolitikJiwasraya, Tumbal Untuk Pilpres 2019?

Jiwasraya, Tumbal Untuk Pilpres 2019?

SBY menyebut persoalan yang menimpa Jiwasraya punya muatan politik yang besar. Bahkan, ia meminta persoalan ini dibuka selebar-lebarnya ke publik, terutama terkait tudingan adanya aktor intelektual di belakang persoalan yang disebut menyebabkan kerugian hingga Rp 13,7 triliun. Ia juga mempertanyakan terkait dugaan dana tersebut digunakan oleh tim sukses pada Pemilu 2019, serta menyoroti posisi PDIP yang berubah sikap soal Pansus Jiwasraya pasca OTT KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Benarkah Jiwasraya memang menjadi tumbal Pilpres 2019?


PinterPolitik.com

“History is nothing but the actions of men in pursuit of their ends”.

:: Karl Marx (1818-1883), filsuf Jerman ::

Gundahnya masyarakat terkait kasus hukum yang menjerat perusahaan pelat merah di bidang asuransi, PT Asuransi Jiwasraya, bisa dibilang akhirnya terwakilkan oleh suara Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuat sebuah tulisan pernyataan sikap yang cukup berbeda dari biasanya.

Pernyataan sikap yang total mencapai 3 ribu lebih kata tersebut diposting SBY di akun Facebook pribadinya. Secara garis besar, walaupun posisi SBY adalah tokoh politik utama di Indonesia – yang artinya kata-katanya selalu punya muatan politik di belakangnya – tulisan tersebut berbicara mengenai polemik yang menimpa Jiwasraya yang beberapa waktu terakhir menjadi penghias utama berbagai pemberitaan dalam negeri.

SBY secara khusus menyinggung soal tuduhan yang beberapa waktu menyerempet dirinya, bahwasanya kasus gagal bayar yang menimpa Jiwasraya adalah akumulasi persoalan yang telah terjadi sejak era kekuasaannya.

Hal yang membuat Ketua Umum Partai Demokrat tersebut merasa perlu membuat tulisan panjang lebar tersebut adalah adanya kesan bahwa kasus ini seolah-olah ingin “dilemparkan” begitu saja dari tanggung jawab pemerintahan yang saat ini berkuasa. Apalagi, kasus ini disebut merugikan negara hingga Rp 13,7 triliun.

Ada banyak hal yang dibahas dalam tulisan SBY tersebut. Namun, setidaknya ada 3 hal utama yang menarik untuk disoroti.

Pertama adalah terkait batalnya pembentukan panitia khusus atau pansus untuk mengusut kasus gagal bayar yang menimpa Jiwasraya. Menurut SBY hal tersebut cukup aneh, apalagi justru partai-partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi-lah yang awalnya mendorong hadirnya Pansus Jiwasraya, namun kemudian berubah arah dan lebih memilih mendukung panitia kerja atau panja yang secara kewenangan cenderung lebih terbatas dibandingkan pansus.

Salah satu partai yang diketahui berubah sikap adalah PDIP – walaupun hal tersebut tak disinggung secara spesifik oleh SBY dalam tulisannya. Perubahan sikap PDIP tersebut bahkan secara spesifik terjadi pasca kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK atas Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang juga menyeret beberapa nama dari PDIP, termasuk sang Sekjen, Hasto Kristiyanto.

Kemudian hal kedua yang harus disorot adalah terkait pernyataan SBY yang menyebut adanya indikasi upaya untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu dalam kasus ini. Secara spesifik ia menyebut nama mantan Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pihak-pihak yang ingin dijatuhkan dari bergulirnya kasus ini dengan segala nuansa politik yang ada di belakangnya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Konteks tersebut tentu menarik dan bahkan bisa saja berhubungan dengan hal yang sebelumnya alias terkait perubahan sikap politik PDIP.

Hal ketiga yang menarik untuk disorot dari tulisan SBY adalah terkait dugaan keberadaan sosok intelektual di belakang kasus Jiwasraya. Tak tanggung-tanggung, SBY bahkan menyinggung soal peruntukan dana dari Jiwasraya yang oleh beberapa pihak disebut-sebut berhubungan dengan pendanaan untuk tim sukses dalam kampanye Pemilu 2019. Ia meminta tuduhan tersebut ditindaklanjuti dan dibuka sebesar-besarnya ke hadapan publik.

Terlepas dari konteks pernyataan SBY – termasuk apakah tuduhannya tersebut benar atau tidak – ayah dari Agus Harimurti  Yudhoyono (AHY) ini sebetulnya mengetengahkan isu penggunaan BUMN untuk kepentingan politik, utamanya dalam konteks kontestasi elektoral.

Nyatanya, hal ini telah menjadi praktik yang umum terjadi di banyak negara demokrasi. Jika demikian, benarkah hal tersebut juga terjadi dalam kasus Jiwasraya?

BUMN Untuk Politik Elektoral

Pertalian antara BUMN dengan kepentingan politik sebetulnya bukanlah hal yang baru. Soyeon Kim, Hyun-Han Shin dan Seungwon Yu dalam riset mereka tentang persoalan ini di Korea Selatan, menemukan bahwa selalu ada hubungan yang erat antara performa keuangan BUMN dengan event-event politik, terutama Pemilu.

Konteks tersebut juga terkait pengaruh dari politisi yang bertarung yang memanfaatkan pengaruhnya untuk mendapatkan “keuntungan” dan membantunya meraih suara pemilih atau memenangkan kontestasi politik.

Hal serupa juga ditulis oleh Qingyuan Li dari Wuhan University, Chen Lin dari University of Hong Kong, serta Li Xu dari Washington State University. Dalam riset mereka, ditemukan bahwa ketika memasuki tahun-tahun Pemilu, corporate investment atau investasi perusahaan-perusahaan BUMN rata-rata meningkat hingga 26,92 persen.

Jumlahnya pun makin tinggi di negara-negara dengan kualitas institusi negara yang lemah. Mereka juga menemukan keterkaitan antara peningkatan investasi tersebut dengan kemungkinan kandidat inkumben atau petahana terpilih lagi dalam kontestasi elektoral tersebut.

Memang selalu ada alasan lain untuk menyebut peningkatan investasi tersebut sebagai cara BUMN mencari keuntungan dan mengembangkan bisnisnya. Namun, selalu ada alasan untuk melihat motif-motif politik di belakangnya.

Pemanfaatan BUMN untuk kepentingan politik ini bisa terjadi dari sisi pendanaan pun dalam konteks penggunaannya untuk meningkatkan citra politik kandidat tertentu.

Terkait dengan apa yang disampaikan oleh SBY, memang tak dapat dipungkiri bahwa BUMN sering kali digunakan sebagai alat politik para politisi di Indonesia. Indri Dwi Apriliyanti dan Stein Oluf Kristiansen dalam salah satu riset mereka menggunakan istilah political business untuk menyebut pertalian kepentingan yang terjadi antara politisi dan BUMN.

Konteksnya pun terjadi dalam warna yang cenderung koruptif dan kolusif. Akibatnya, selalu ada alasan untuk menyebut bahwa BUMN kerap digunakan untuk kepentingan politik, terutama dari mereka yang punya kuasa atasnya.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Shah Suraj Bharat – peneliti di ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada Yogyakarta – dalam salah satu tulisannya jelang Pilpres 2019 lalu sempat menyinggung soal kemungkinan adanya pertautan politik antara BUMN dan Jokowi sebagai calon petahana kala itu.

Bahkan ia secara tersurat menyebutkan bahwa BUMN bisa menjadi semacam powerbroker – sebutan untuk orang atau entitas tertentu yang karena kemampuan politik atau ekonomi yang dimilikinya dapat mempengaruhi pilihan politik orang lain – bagi Jokowi pada Pilpres tersebut.

Artinya, apa yang disampaikan oleh SBY terkait relasi kasus Jiwasraya dengan pemenangan Pilpres 2019 memang perlu ditelusuri lebih jauh. Dugaan ada nama mantan petinggi Jiwasraya di Kantor Staf Presiden (KSP) – yang kemudian telah ditetapkan sebagai tersangka – juga perlu ditelusuri lebih dalam. Sebab, hal itu tentu saja bukan sebuah kebetulan.

Memahami Maksud SBY: Jokowi vs PDIP?

Selain konteks praktik politik penggunaan BUMN untuk kepentingan elektoral, hal berikut yang menarik dilihat dari pernyataan SBY adalah konteks benturan yang terjadi antara partai koalisi Jokowi dengan sang presiden. SBY memang tak menyebut secara spesifik partai mana yang ia maksud, namun jika merujuk dari perubahan sikap terkait Pansus Jiwasraya, maka besar kemungkinan partai tersebut adalah PDIP.

Artinya, jika merunut argumentasi SBY terkait adanya pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Rini Soemarno, Erick Thohir dan Jokowi sendiri, apakah itu berarti yang dibicarakan adalah konteks PDIP “melawan” presiden saat ini?

Well, hal tersebut tentu saja sulit untuk dipastikan. Namun, asumsi-asumsi terkait hal ini wajar saja muncul. Publik tentu ingat bahwa kasus Jiwasraya ini diusut oleh Kejaksaan Agung. Lembaga tersebut kini dipimpin oleh ST Burhanuddin yang merupakan adik dari politikus PDIP, TB Hasanuddin.

Konteksnya juga makin menarik pasca OTT KPK atas Wahyu Setiawan yang kemudian menyerempet ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Tak heran banyak yang menilai bahwa dua peristiwa tersebut sebetulnya menggambarkan pertarungan yang lebih besar antara Istana melawan PDIP – sekalipun tuduhan tersebut tentu saja masih sebatas asumsi.

Walaupun demikian, bukan berarti apa yang disampaikan oleh SBY tidak benar-benar terjadi. Bisa saja memang apa yang disampaikannya mendekati kenyataan yang terjadi saat ini. Bagaimanapun juga, ia adalah Presiden ke-6 republik ini, sehingga pasti jauh lebih paham persoalan-persoalan semacam ini.

Yang jelas, publik tentu berharap sama seperti apa yang diharapkan oleh SBY, bahwasanya kasus ini dapat dibuka seterang-terangnya ke hadapan publik. Bagaimanapun juga ini adalah kasus yang punya resonansi politik yang sangat besar. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.