Beberapa kader PDIP yang dianggap outsider – seperti Gibran Rakabuming – berkeinginan maju sebagai kepala-kepala daerah di kandang-kandang partai banteng (Surakarta dan Sukoharjo). Dilema apa yang akan dihadapi oleh PDIP?
PinterPolitik.com
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan pada bulan Desember tahun 2015. Dari semua daerah yang ada di Indonesia, sekitar 270 daerah akan mengikuti Pilkada yang terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Sebelumnya, di tahun 2019, Indonesia telah berhasil dan sukses menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) serentak. Tidak dipungkiri juga ada sedikit ketegangan sosial yang mewarnai jalannya proses tersebut.
Ketegangan sosial yang timbul dalam proses pemilihan umum adalah sesuatu yang wajar terjadi. Bahkan, semua itu merupakan pernak-pernik bagi demokrasi.
Kembali pada persoalan menjelang Pilkada serentak tahun 2020. Dari 270 daerah, terdapat dua daerah yang menarik perhatian publik karena telah dianggap oleh sebagian besar publik sebagai kandang banteng – atau basis suara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dua daerah yang dimaksud itu adalah Surakarta dan Sukoharjo yang berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Bakal calon kepala daerah bermunculan di dua daerah tersebut. Saat ini, di Surakarta maupun di Sukoharjo, bakal calon kepala daerah mayoritas mendaftar lewat PDIP.
Mereka saat ini hanya tinggal menunggu rekomendasi dari partai berlambang banteng itu. Meski terdapat banyak pilihan, untuk menentukan siapa yang akan layak menjadi pemimpin masing-masing di dua daerah tersebut bukanlah hal yang mudah bagi partai.
Persoalan krusial dan berkemungkinan besar membuat partai dilematis pada saat menjatuhkan rekomendasi adalah hadirnya Gibran Rakabuming yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon wali kota Surakarta lewat PDIP. Gibran sendiri adalah putra dari Presiden Joko Widodo.
Sementara, di Kabupaten Sukoharjo, Etik Suryani yang merupakan istri bupati aktif juga maju mencalonkan diri sebagai Bupati melalui PDIP. Dengan kehadiran mereka berdua, maka Surakarta dan Sukoharjo, serta PDIP sendiri, bisa saja dibayangi oleh politik dinasti.
Gibran dan Etik adalah dua tokoh yang mempunyai elektabilitas dan popularitas di mata masyarakat. Selain dua hal tersebut, mereka diuntungkan oleh struktur-struktur kuat di sekitar mereka.
Hal demikian – bagi Anthony Giddens dan Gilles Deleuze – disebut sebagai potensialitas dan modalitas. Politik dinasti secara normatif memang diperbolehkan karena aturan yang mengatur tentang itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dari segi etis, politik dinasti bagi beberapa intelektual dan pengamat politik berpotensi mencederai dari dalam sistem demokrasi.
Melihat Potensialitas-Modalitas Gibran dan Etik
Majunya dua figur tersebut – baik Gibran Rakabuming (Surakarta) dan Etik Suryani (Sukoharjo) – sebagai kepala daerah menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik dan pegiat demokrasi. Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elite politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarki politik.
Gibran pada dasarnya merupakan seorang outsider, bukan orang struktural partai ataupun politisi. Namun, ia tiba-tiba tertarik dan berminat untuk menjadi seorang politisi dan saat ini ia resmi menjadi seorang politisi dari PDI-Perjuangan, partai yang telah membesarkan nama ayahnya sendiri sehingga menjadi seperti sekarang ini.
Lantas apa yang mendorong Gibran sehingga ia terjun ke dunia politik? Potensialitas dan modalitas apa yang dimiliki Gibran untuk ditawarkan kepada PDI-Perjuangan dan masyarakat?
Pertanyaan tersebut juga berlaku untuk Etik Suryani. Ia sendiri hampir sama dengan Gibran, yakni outsider. Perbedaannya ia adalah istri Bupati Sukoharjo yang sekaligus menjadi ketua DPC PDIP Sukoharjo. Penulis akan menggunakan teori para pemikir kritis, seperti Gilles Deleuze, Pierre Bourdieu, dan Antony Giddens sebagai alat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Praktik sosial (social practice) telah menjadi fokus perhatian utama oleh Giddens di samping teori strukrurisasi meski ia mengatakan bahwa teori strukturisasi – kemudian disebut dualitas teori, yakni dialetika antara struktur dan agensi – jangan pernah dilupakan, bahkan seharusnya senantiasa terus dipahami. Praktik sosial menjelaskan bagaimana manusia-manusia menjalani hidup sehari-hari atau, dengan kata lain, perbuatan-perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang secara terpola dan pada akhirnya membentuk struktur sosial.
Praktik dinasti politik di Indonesia kian menjamur dan telah mengakar ke dalam benak para politisi daerah maupun pusat. Mengikuti jejak anggota keluarga untuk terjun ke dalam kancah politik tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di mancanegara pun, praktik dinasti politik juga kian diminati. Era Orde Baru bisa dibilang era yang mengawali kemunculan dinasti politik di era modern Indonesia ketika Soeharto menunjuk putrinya sebagai menteri sosial pada waktu itu. Pada era reformasi, sejumlah keluarga pun muncul di berbagai daerah membentuk klan-klan di mana orang yang masih memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan menduduki berbagai posisi strategis baik di ekskutif maupun dilegislatif.
Di Kediri misalnya, pada tahun 1999-2009 dipimpin oleh satu keluarga. Sutrisno kala itu sebagai Bupati menjabat dua periode. Kemudian, pada tahun 2009, dua istri Sutrisno ikut berkontestasi dalam Pilkada Kediri tapi istri pertamalah yang berhasil memenangkan pertarungan dan menggantikan Sutrisno – bahkan juga sampai dua periode sama seperti suaminya.
Selain di Kediri, praktik dinasti politik juga muncul di berbagai wilayah Indonesia, seperti Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroedin di Lampung, dan Dinasti terbesar berada di Banten, Dinasti Chasan Sochib (kelompok Rau).
Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting di provinsi tersebut. Mulai dari gubernur, anggota DPRD, dan wali kota. Belum lagi yang menjabat sebagai fungsionaris Partai Golkar DPW Banten/DPC Wilayah Banten, dan pimpinan seperti organisasi KADIN dan Gapensi.
Dari Era Orde Baru sampai Reformasi, kecenderungan untuk meraih posisi strategis dalam kekuasaan dipraktikkan dengan menggunakan politik blood line (garis darah). Sebagaimana yang telah digambar di atas oleh Giddens, merupakan perilaku seseorang – dianggap agen atau aktor – yang berkontribusi membentuk struktur sebagai konsekuensi dari pola perilaku berulang-ulang.
Perilaku itu menghasilkan praktik sosial, yakni dalam konteks ini dinasti politik. Oleh Mietzner, dinasti politik disebut sebagai oligarki politik.
Kehadiran anak presiden dan istri bupati dalam pentas Pilkada 2020 di Surakarta dan Sukoharjo terjadi dikarenakan adanya dorongan praktik sosial, yakni praktik dinasti politik. Apa yang dipraktikkan Gibran dan Etik pada dasarnya hanya mengikuti pola praktik dinasti politik dari masa ke masa.
Artinya, mereka berdua ikut berpartisipasi dalam menyuburkan praktik dinasti politik dengan menjadikan dirinya agen dalam struktur oligarki politik. Praktik dinasti politik yang selama ini terjadi di Indonesia, secara tidak langsung, menjadi faktor pendorong utama bagi mereka berdua untuk terjun ke dalam dunia politik guna mengikuti ataupun melanjutkan jejak keluarganya sebagai politisi.
Melihat persiapan dan manuver politik yang dilakukan oleh Gibran dan Etik dalam menghadapi Pilkada 2020 dan khususnya memperebutkan rekomendasi DPP PDIP, sangat menarik untuk diamati. Persiapan dan manuver politik mereka berdua didukung dengan potensialitas yang mereka miliki.
Gilles Deleuze berpendapat prinsip potensialitas pada dasarnya berguna sebagai sarana untuk berpikir tentang perubahan. Dalam proses perubahan atau becoming, suatu entitas x menjadi y karena x memiliki, sebagai properti, suatu potensi untuk menjadi y.
Potensialitas yang Gibran miliki adalah ayahnya sendiri, yaitu Presiden Jokowi. Selanjutnya, potensialitas tersebut dikelola menjadi modal kapital simbolik guna memudahkan langkah-langkah maupun manuver ke depan.
Kapital simbolik, meminjam istilah Giddens, dapat ditarik ke dalam arena atau field. Arena disini adalah partai dan masyarakat.
Dengan modal kapital simbolik itu potensi rekomendasi partai untuk jatuh kepada Gibran sangat mungkin dan, di samping itu, peluang Gibran untuk memenangkan Pilkada di Surakarta pun semakin mudah karena diuntungkan oleh pengaruh Jokowi, baik langsung ataupun tidak langsung.
Demikian juga dengan Etik Suryani, yang notabenenya adalah istri Bupati Sukoharjo, yakni Wardoyo. Potensialitas yang Etik Suryani miliki adalah suaminya sendiri sebagai bupati dan sekaligus ketua DPC PDIP Sukoharjo.
Dengan mengandalkan potensi itu, langkah Etik untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas di Sukoharjo semakin minim disertai kendala. Dengan intervensi suaminya untuk mempromosikan Etik Suryani ke publik Sukoharjo, melalui berbagai acara yang selama ini mereka lakukan, menandakan bahwa potensi yang dimiliki Etik memiliki dampak yang signifikan guna menghasilkan atau menjaring massa di tingkat akar rumput.
Potensialitas Etik Suryani tersebut dengan sendirinya telah dikelola dan dilibatkan ke dalam arena politik, yaitu partai dan masyarakat sebagai modalitas kapital simbolik. Pada partai, Etik mempunyai posisi tawar yang tinggi dengan dukungan dari suaminya, dan begitu juga di masyarakat.
Bedanya dengan Gibran adalah sampai sekarang Gibran tidak membawa ataupun melibatkan Jokowi dalam manuver politiknya di masyarakat sedangkan Etik dengan intensif mengandalkan kapital simbolnya, yakni suaminya sendiri, untuk turut serta membantu memperkenalkan dan mempromosikan dirinya ke masyarakat sebagai kepala daerah.
Adapun persamaan dari keduanya adalah baik Gibran maupun Etik Suryani, sama-sama menggunakan blood line sebagai modalitas untuk maju dalam kontes Pilkada. Di samping itu, peran simbol yang mereka berdua miliki saat ini sangat menentukan sekaligus diandalkan dalam pertarungan dengan simbol-simbol dari kandidat lain guna memperebutkan rekomendasi partai.
Menimbang Kepentingan Partai vs Publik
Akan tetapi, semua saat ini tergantung pada keputusan PDIP entah apakah akan menjatuhkan rekomendasi untuk mereka berdua atau pun, sebaliknya, rekomendasi jatuh kepada kepada kandidat lainnya. Komitmen demokrasi PDIP dalam hal ini diuji, khususnya, untuk menentukan siapa yang berhak maju melalui partai berlambang banteng itu untuk bertarung ke pentas Pilkada di Surakarta dan Sukoharjo.
Dinasti politik atau oligarki politik merupakan sebuah struktur yang membahayakan proses demokrasi. Apabila rekomendasi jatuh kepada mereka berdua, maka kemungkinan besar PDIP kembali menduduki kursi kepala daerah tetapi memiliki konsekuensi yang serius yakni mata publik akan menyorot partai itu. Mereka bisa saja kemudian mempertanyakan komitmen demokrasi Pancasila yang selama ini PDIP perjuangkan – seolah-olah partai hanya mengejar orientasi berupa kemenangan dan mengamankan reputasinya di kandang banteng.
Namun, keadaan akan berbeda, ketika PDIP menjatuhkan rekomendasi kepada kandadit lain. Ini menunjukkan bahwa partai mendukung adanya fairnes dalam pertarungan pilkada.
Demi mendukung proses demokrasi yang berjalan dengan adil dan fair, maka seyogyanya PDIP harus mampu melihat secara objektif masing-masing calon kepala daerah, khususnya di Kota Surakarta dan Sukoharjo. Dinasti politik bukanlah bagian dari demokrasi maupun Pancasila dan, apabila tetap dipaksakan, maka dikhawatirkan akan terjadi fragmentasi pada partai tingkat DPC dan hilangnya sikap kepercayaan rakyat terhadap PDIP.
Tulisan milik Faisal Muhammad Safi’i, Lulusan S-1 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.