Baru-baru ini Menteri Keuangan RI (Menkeu), Sri Mulyani, membeberkan adanya wabah radikalisme yang menjalar di lembaga yang dipimpinnya itu. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai banyak dari mereka cenderung ekslusif dan intoleran yang berdampak pada sulitnya membangun sinergitas.
PinterPolitik.com
Sri Mulyani menerangkan, menyebarnya virus radikalisme di lingkungan instansi Keuangan berawal dari kontestasi Pilpres 2019 silam. Menurutnya, maraknya wacana politik identitas yang berhembus sepanjang perhelatan Pilpres menjadi pemicu utamanya.
Dirinya mengaku jika efek politik identitas membuat sebagian pegawai terseret ke dalam wacana tersebut dan berimbas pada perilaku intoleran dan ekslusif.
Padahal, kata dia, ASN semestinya tidak terlibat atau terprovokasi oleh perdebatan seputar isu-isu yang berkembang selama Pilpres berlangsung. Hal itu menimbang posisi ASN yang semestinya netral terhadap kepentingan politik praktis.
Sayangnya, ketentuan asas netralitas sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN tidak mampu membentengi mereka dari pengaruh wacana yang bergulir kala itu.
Sebagai dampaknya, Sri Mulyani menyebut pegawainya kini mulai terkotak-kotak berdasarkan praktik keagamaan masing-masing. Hal itu kemudian merembet pada persoalan lain, seperti kesulitan untuk mensinergikan institusi-institusi keuangan yang ada.
Bertolak pada kenyataan itu pula, ia menyimpulkan bahwa bibit-bibit radikalisme perlahan mulai menjalar di lingkungan kerja tempat ia bernaung.
Terlepas apakah benar atau tidak keterangan yang disampaikan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, jika diperhatikan, wacana radikalisme memang kembali menguat di awal pemerintahan presiden dan wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Kampanye besar-besaran tentang perang melawan radikalisme pun seketika dikumandangkan sejumlah pejabat negara lainnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md, misalnya, beberapa kali menebarkan perang melawan radikalisme yang dinilai telah merongrong keamanan nasional.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi bahkan mengaku radikalisme dan terorisme menjadi ancaman bagi Indonesia ke depan.
Barangkali asalan yang sama, Jokowi sampai meminta Menko Polhukam, Mahfud Md dan Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi, pada awal pembentukan Kabinet Indonesia Maju agar lebih serius dalam memerangi radikalisme dan terorisme.
Pertanyaannya, apakah benar Kemenkeu sedang dilanda bahaya radikalisme?
Tentang Darurat Ekonomi
Apa yang dikemukakan Sri Mulyani beberapa hari terakhir mengenai perilaku intoleran dan ekslusif di kalangan pegawai Kemenkeu adalah cerita pribadi. Sehingga, sulit untuk mengatakan hal tersebut sebagai sebuah fakta yang patut diwaspadai.
Urgensi ceritanya akan berbeda jika yang dibahas adalah mengapa pertumbuhan ekonomi sepanjang 5 tahun terakhir terus stagnan, target penerimaan negara meleset, penerimaan pajak alami shortfall, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan utang terus menggunung.
Daripada membahas isu radikalisme dan terorisme, barangkali akan lebih penting dan genting kalau Sri Mulyani dengan baik hati menceritakan ke publik soal kronologi utang yang terus berlipat ganda itu untuk apa saja. Adakah kaitan pinjaman utang tersebut dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat kecil? Jika ada, ceritakan buktinya agar masyarakat mengerti dan bersedia kalau utangnya memang mau dinaikkan lagi.
Seperti diketahui, per akhir Oktober 2019, utang luar negari (ULN) Indonesia sudah mencapai US$ 400,6 miliar atau sebesar Rp 5.614,41 triliun dengan kurs saat ini. Angka tersebut mengalami kenaikan 11,9% bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 10,4%.
Alasan pemerintah berutang tentu sudah banyak yang tahu, yakni untuk menutupi defisit APBN dan refinancing utang atau sederhananya menutup utang lama yang sudah mau jatuh tempo melalui penambahan utang baru.
Sampai November 2019, APBN mengalami defisit hingga Rp 368 triliun, atau menembus 2,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Setelah diperiksa, ternyata utang-utang tersebut sebagian besar digunakan untuk membiayai sejumlah proyek mercusuar pemerintah, seperti pembangunan jalan tol. Tentu penggunaan utang tersebut tidak salah, hanya saja manfaatnya masih belum sepenuhnya dirasakan masyarakat luas yang mayoritas dihuni oleh kelas ekonomi menengah ke bawah.
Selain soal utang dan defisit APBN, masalah lain yang tak kalah pelik adalah melesetnya target penerimaan pajak. Hingga November, penerimaan pajak hanya mampu mencapai Rp 1.130 triliun atau 72% sampai pada bulan November, dari yang ditargetkan.
Melihat angka-angka statistik tersebut rasanya jauh lebih menyeramkan dari asumsi tentang radikalisme yang kini mulai merambat ke berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlu Diagonsis yang Tepat
Akhirnya, tibalah pada pertanyaan berikutnya, yakni apakah narasi yang dibangun sejumlah pejabat belakangan ini, teristimewa yang diceritakan Menkeu Sri Mulyani merupakan ketidakmampuan mendiagnosis persoalan?
Mengenali sebuah persoalan dengan tepat akan sangat membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan publik yang penting dan mendesak.
Bukan bermaksud menyebut isu radikalisme – sebagaimana yang gencar diwacanakan pemerintah, dan belakangan kembali diulang oleh Menkeu Sri Mulyani – sebagai isu tak penting, namun ada persoalan lain yang tak kalah lebih krusial untuk diatasi pemerintah, sebut saja problem ekonomi dan keuangan negara yang sepanjang 5 tahun terakhir mengalami tekanan hebat.
Sehingga, dengan memusatkan konsentrasi pada duduk persoalan yang tepat diharapkan Menkeu dengan segera memulihkan situasi ekonomi yang kian terpuruk tersebut. Soal radikalisme biarkan itu dikaji dan dianalisis oleh pakar terorisme dan radikalisme. Jika terbukti ada, semoga segera ditindak sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebaliknya, publik hanya ingin agar Kemenkeu fokus mengatasi persoalan genting yang saat ini menjadi tanggung jawabnya.
Angka-angka statistik seperti yang telah disebutkan merupakan kondisi riil yang hari ini melanda Indonesia. Jika dibiarkan, beban ekonomi yang terus mengalami kesakitan ini akan kian berlipat dan bisa menjadi ancaman lebih serius di masa datang.
Publik tentu tak menginginkan krisis moneter yang sempat melanda Indonesia pada 1998 kembali terulang. Apalagi, saat ini muncul wacana resesi ekonomi global pada 2020 mendatang yang jauh lebih parah dari 1998. Ancaman-ancaman tersebut tentu harus dipertimbangkan matang oleh pemerintah.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Khusus Menkeu, tidak ada cara lain selain mengidentifikasi lokus persoalan yang ada secara cermat dan tepat, kemudian melakukan prognosis lewat inovasi kebijakan untuk menjawab tantangan ekonomi baik yang terjadi saat ini maupun yang ada di depan mata.
Jack Rabin (Ed.) dalam Public Administration And Public Policy, A Comprehensive Publication Program, menyebut kemampuan menganalisis masalah sebelum ia dirumuskan dalam bentuk kebijakan publik memiliki arti penting.
Mengapa demikian? Sebab, berkaca dari pengalaman, pemerintah kerap gagal melakukan diagnosis masalah, yang berimbas pada kegagalan mendorong kebijakan yang tepat.
Contoh paling nyata terkait hal ini dapat dilihat dari cara pemerintah memerangi gejala radikalisme selama ini yang terkesan kurang terkonsep dengan baik. Ini bisa dilihat dari definisi radikalisme itu sendiri yang masih belum jelas, hingga metode penanganannya yang salah kaprah.
Sebagaimana tulis Anyebe dalam An Overview of Approaches to the Study of Public Policy, bahwa perumusan kebijakan yang baik dan tepat adalah yang berdasar pada desain program yang relevan terhadap subjek persoalan.
Dengan demikian, penting bagi Menkeu Sri Mulyani untuk mendalami relung masalah di bidang ekonomi dan keuangan yang sejauh ini tengah dirundung masalah berat. Hal itu agar Menkeu tidak salah fokus terhadap isu radikalisme yang saat ini tengah berhembus. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.