Pernyataannya yang menyebut tingkat representasi perempuan Indonesia di ranah polititk jauh mengungguli Jepang karena menilai hampir tidak terdapat politisi perempuan di negeri matahari terbit tersebut turut menambah panjang rentenan klaim kontroversial Menko Polhukam, Mahfud MD.
PinterPolitik.com
“Menurut saya beliau salah satu tokoh bangsa yang memiliki integritas tinggi sehingga layak mendapatkan penghargaan.” Begitulah penggalan pernyataan Kepala Humas Universitas Paramadina, Lina Anggraeni saat memberikan penghargaan Paramadina Award kepada Mahfud MD pada 20 Oktober 2018 lalu.
Tersanjung dengan pernyataan tersebut, Mahfud lantas menjawab: “Integritas itu, berarti kebutuhan. Kalau pada pribadi, orang yang berintegritas itu butuh lahir dan batin sehingga selalu bersikap jujur dan konsisten.”
Bukan suatu hal yang mengejutkan memang, karena sudah sejak lama Mahfud telah dikenal sebagai sosok yang memiliki integritas dan kejujuran. Akan tetapi, beberapa waktu ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini boleh jadi dinilai banyak orang mulai terlihat seperti politisi kebanyakan.
Betapa tidak, setelah ditunjuk sebagai Menko Polhukam, Mahfud justru kerap kali memberikan pernyataan-pernyataan yang bisa saja bertendensi ingin membangun citra yang baik kepada pemerintahan Jokowi ataupun menangkal berbagai tudingan miring terhadapnya.
Misalnya saja terkait harap-harap cemas publik terkait apakah Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perppu KPK atau tidak, Mahfud awalnya hadir memberi kesejukan dengan menekankan Perppu KPK memungkinkan dikeluarkan oleh presiden.
Akan tetapi, seperti yang diketahui, sampai saat ini tidak diketahui di mana rimbanya produk hukum tersebut. Bahkan hari ini Presiden Jokowi telah melantik pimpinan KPK yang baru beserta Dewan Pengawasnya.
Hal serupa berlaku pada pernyataan kontroversial Mahfud yang dikritik oleh banyak pihak karena menilai tidak terdapat pelanggaran HAM di era pemerintahan Jokowi. Padahal, Setara Institute telah melaporkan terdapat 73 kasus pelanggaran HAM telah terjadi di periode pertama pemerintahan Jokowi. Lalu, ada pula laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyebutkan terdapat 78 kasus pelanggaran HAM dalam unjuk rasa sepanjang 2019.
Yang terbaru, Mahfud menyebut bahwa Indonesia jauh melewati Jepang dalam hal peran atau representasi perempuan di politik. Menurutnya, hampir tidak terdapat politisi perempuan di parlemen maupun lembaga negara di negeri matahari terbit tersebut. Padahal, di tahun ini terdapat 28 perempuan yang duduk di Majelis Tinggi Jepang, atau menyumbang 22,6 persen dari total keseluruhan kandidat terpilih.
Melihat berbagai pernyataannya tersebut, ini menjadi semacam refleksi tersendiri, yakni apakah setelah mendapatkan jabatan strategis di kementerian telah membuat Mahfud mengubah sikapnya?
Mahfud dan Kesempatan Pemilu
Melihat pada sepak terjangnya dalam kancah politik, sebenarnya tidak begitu mengherankan melihat pernyataan-pernyataan Mahfud yang menjadi semacam bemper bagi pemerintahan Jokowi kini.
Pasalnya, pada 7 Mei 2014 lalu, Mahfud menyampaikan harapannya untuk dipilih PDIP sebagai pendamping Jokowi di Pilpres 2014. Menariknya, setelah PDIP lebih memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres, atau tiga pekan setelah pernyataan harapan Mahfud, dosen Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut justru menjadi ketua tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Setelah gagal meraih kemenangan bersama Prabowo-Hatta, Mahfud mengaku telah berpamitan dengan Prabowo setelah pelantikan Jokowi-JK, dan sejak saat itu ia menekankan tidak pernah berhubungan lagi dengan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Menariknya, harapan Mahfud untuk menjadi pendamping Jokowi sepertinya masih dijaga. Terbukti, ia bahkan hampir menjadi pendamping mantan Wali kota Solo tersebut apabila berbagai tekanan politik tidak membuat Jokowi harus memilih Ma’ruf Amin.
Jika kita merujuk pada teori psikologi yang disebut dengan reciprocity atau efek timbal balik, yang mana ini disebut sebagai strategi bertahan hidup paling berguna manusia. Suatu harapan yang tidak kunjung mendapatkan balasan, akan melahirkan “pembalasan” atau “balas dendam”.
Artinya, mengacu pada teori tersebut, menjadi terbaca mengapa Mahfud kemudian beralih menjadi ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta. Namun, mengapa hal serupa tidak terjadi pada kasus setelahnya? Lantas apakah itu menunjukkan teori yang telah diuji oleh Psikolog Robert Cialdini tersebut keliru? Sepertinya tidak.
Pasalnya, pembalasan tersebut hanya akan terjadi apabila memang tidak terdapat jawaban atau ganjaran atas harapan yang ada. Dengan kata lain, Mahfud yang tetap mendukung Jokowi bahkan kerap melontarkan pernyataan yang mencitrakan baik pemerintahan Jokowi, terjadi karena harapannya telah terjawab.
Atas hal ini, beberapa pihak kemudian menilai jabatan Menko Polhukam adalah “penghibur” bagi Mahfud dari Jokowi karena gagal menjadi cawapres. Obat yang didapatkan Mahfud ini juga tidak sembarang, pasalnya jabatan tersebut dinilai sangat penting dan strategis.
Ini terlihat dari setidaknya terdapat 13 kementerian dan lembaga yang berada di bawah garis koordinasi Menko Polhukam, mulai dari Menteri Triumviat, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga TNI dan Polri. Lalu menariknya, Mahfud juga membawahi Prabowo selaku Menteri Pertahanan, yang mana ia dukung pada Pilpres 2014 lalu.
Pada konteks Prabowo yang justru sekarang di bawah koordinasi Mahfud, ini benar-benar menggambarkan pernyataan Filsuf Romawi, Boethius yang menyimpulkan kehidupan manusia ibarat sebuah roda, yang terkadang di atas, dan terkadang di bawah.
Mahfud Loyal?
Seperti apa yang ditulis Rolf Dobelli dalam buku The Art of Thinking Clearly, disebutkan bahwa reciprocity atau efek timbal balik bukanlah suatu proses psikologis yang terjadi secara temporal, melainkan terjadi secara terus menerus (berulang) atau katakanlah seperti efek domino – yaitu sebuah efek kumulatif yang dihasilkan saat satu peristiwa menimbulkan serangkaian peristiwa serupa.
Artinya adalah, Mahfud yang telah mendapatkan balasan dari Jokowi, akan kembali memberikan balasan serupa, seperti memberikan loyalitas yang terlihat dari berbagai pernyataannya yang mendukung dan membela pemerintahan Jokowi.
Terkait hal ini Mahfud mungkin telah menjadi “loyalis presiden”. Yu Ouyang dalam Why Does A President Demand Loyalty From People Who Work For Him?, mendefinisikan loyalis presiden sebagai mereka yang secara personal memang benar-benar loyal terhadap sang presiden atau loyal terhadap ideologi ataupun agenda kebijakannya.
Boleh jadi, saat ini Mahfud tengah menunjukkan loyalitas terhadap agenda kebijakan pemerintahan Jokowi. Pasalnya, pernyataannya kerap tampak sejalan dengan kebijakan dari Jokowi, meski terkadang tak selalu sejalan dengan pernyataannya sebelum menjadi menteri.
Hal ini boleh jadi tergambar untuk urusan Perppu KPK. Mahfud yang semula sempat menghembuskan harapan kemungkinan terbitnya Perppu, tiba-tiba mengubah sikap untuk melepaskan perkara itu sebagai kewenangan Presiden.
Kondisi tersebut bisa saja menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Mahfud yang semula punya prinsip tersendiri, kini banyak memberikan pernyataan yang sejalan dengan agenda pemerintahan. Meski demikian, jika perubahan itu benar terjadi, masih belum dapat dirinci apa yang berpotensi membuatnya menjadi loyal kepada agenda kebijakan Jokowi. Apakah ini terkait dengan jabatan yang kini diembannya atau tidak, merupakan misteri yang belum terungkap.
Pada akhirnya, masa jabatan Mahfud masih sangat panjang. Ia masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa kursi menteri belum sepenuhnya mengubah dirinya. Kita tunggu saja bagaimana kiprah mantan Ketua MK ini berikutnya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.