Istilah radikal belakangan banyak dipergunakan di Indonesia, bahkan tak jarang disalahartikan. Pemerintah – selaku pihak yang kerap mengkapitalisasi istilah ini – dianggap membungkam kekritisan masyarakat atas dalih menjaga keamanan nasional dan perang melawan terorisme. Nyatanya ada political labeling dalam istilah radikalisme, yang penggunaannya mirip-mirip seperti ketika Orde Baru memberikan label PKI atau komunis pada banyak pihak.
PinterPolitik.com
Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan di awal permulaan periode kedua kepemimpinannya ini cukup getol memproklamirkan bahaya dari mereka yang dilabeli atau dicap “radikal” atau terindikasi melakukan gerakan “radikalisme” – walaupun belakangan ia juga menggunakan istilah “manipulator agama”.
Tampaknya, ketakutan pemerintah terhadap bayang-bayang radikalisme memaksa sejumlah pejabat negara bertindak secara gegabah, bahkan tak jarang salah kaprah.
Salah satu dari sekian pejabat negara yang paling intens beberapa hari terakhir dalam menyebarkan wacana perang melawan gerakan radikal ini adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Dalam pernyataannya, Mahfud secara tegas meminta kepada publik agar bersama-sama memerangi radikalisme tanpa memandang apakah tokoh yang disebut radikal itu Islam atau bukan.
Mahfud bahkan punya definisi tersendiri dalam upaya menumpas gerakan yang disebut sebagai ancaman bagi kestabilan ini.
Menurutnya, beberapa ciri yang dapat dikenali dari kelompok yang terindikasi paham radikalisme, di antaranya kelompok takfiri yang suka menuduh orang lain kafir, kelompok jihadis yang sering terlibat dalam aksi-aksi bom bunuh diri, dan kelompok anti-Pancasila yang ingin menggantikan Pancasila dengan sistem lain, misalnya khilafah.
Meski Mahfud memiliki pemahaman sendiri soal individu atau kelompok yang dilabel radikal, sejauh ini pemerintah belum merumuskan secara tegas dan jelas apa yang dimaksudkan dengan radikal atau radikalisme itu sendiri.
Menuntut pemerintah agar mendefinisikan terlebih dahulu istilah tersebut dengan tepat dan tegas memang sangat penting. Sebab, jika tidak, konsekuensinya bisa fatal.
Dikhawatirkan, kekaburan definisi atas radikalisme dapat membahayakan iklim demokrasi di tanah air sebab pada akhirnya siapa saja bisa saja diidentifikasikan sebagai bagian dari kelompok radikal.
Selain itu, hal itu juga sebagai bagian dari mengantisipasi langkah-langkah pemerintah dalam upaya penanganan radikalisme yang salah sasaran, seperti yang belakangan sering terjadi.
Seperti dikatakan seorang pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, bahwa pemerintah perlu membuat definisi yang jelas soal radikalisme ini sebelum mengeksekusi. Ini juga penting agar penanganan radikalisme tidak menyasar ke mana-mana.
Beberapa kejadian belakangan ini seperti adanya aksi pemerintah mengawasi aktivitas kampus, sekolah, masjid, organisasi massa yang dianggap terkooptasi pemikiran radikalisme, membuktikan betapa prematurnya pemerintah dalam menangani persoalan ini.
Tidak sampai di situ, pemerintah juga kini terus meningkatkan kewaspadaan bagi aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri, hingga sejumlah instansi pemerintahan lainnya yang dinilai tengah terpapar radikalisme.
Khusus dalam pengawasan virus radikalisme di lingkungan ASN, pemerintah di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) bahkan meluncurkan sebuah situs/website untuk menjaring pelaporan atau aduan terkait ASN yang terpapar radikalisme.
Selain itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bersama sejumlah kementerian/lembaga menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk penanganan radikalisme di lingkungan aparatur sipil negara.
Muncul pertanyaan, apa sesungguhnya motif pemerintah di balik pelabelan radikal terhadap seseorang atau kelompok tertentu? Benarkah tuduhan yang disampaikan oleh banyak pengamat internasional, bahwa motif pelabelan ini mirip dengan yang terjadi pada kasus PKI dan komunisme?
Menyingkap Motif Pelabelan “Radikal”
Kamus Merriam Webster mendefinisikan “radikal” sebagai istilah yang mengacu pada perubahan secara ekstrem atas pandangan, kebiasaan, keadaan atau tata nilai yang berlaku atau berkaitan dengan pandangan politik, praktik, dan kebijakan perubahan yang ekstrem.
Dalam Radicals, Revolutionaries, and Terrorists, Colin J. Beck mengartikan radikal sebagai istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk pada ide atau tindakan di luar dari apa yang diyakini atau dilakukan oleh kelompok gerakan sosial lainnya.
Atau, dapat juga dikatakan radikal merupakan sebuah pandangan yang secara ekstrem berbeda dari yang dianut orang lain.
Sedangkan, menurut Thelma McCormack, kata “radicals” mengacu pada orang, kelompok, individu yang sedang memperjuangkan perubahan tatanan nilai yang ada pada masyarakat.
Lantas, bagaimana konteks pelabelan radikal yang kini digunakan pemerintah dalam menghubungkan gerakan yang dicap anti-Pancasila atau anti-NKRI?
Jika dicermati, komunitas sosial yang selama ini menjadi bulan-bulanan pemerintah sebagai pihak yang tertuding menyebarkan semangat radikalisme di antaranya termasuk komunitas Islam beraliran Wahabi dan Salafi, kelompok ekstremis, atau gerakan Islam garis keras yang diduga sedang memperjuangkan ideologi anti-Pancasila atau hendak menggantikan sistem negara kesatuan dengan model khilafah.
Paham radikalisme ini diduga kini sedang menyebar ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia. Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu bahkan menyebut di institusi militer, sekitar 3 persennya terpapar radikalisme.
Lebih lanjut, kata dia, sebanyak 23,4 persen mahasiswa setuju dengan negara Islam (khilafah), 23,3 persen lainnya termasuk pelajar SMA. Sementara, sebanyak 18,1 persen pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, 19,4 persen ASN menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, dan 19,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila.
Bermodalkan data-data tersebut, pemerintah lalu menjalankan pengawasan tingkat tinggi ke semua institusi yang dilabel tersusupi radikalisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahkan sempat mengeluarkan daftar terkait dugaan 7 universitas negeri ternama di Indonesia yang sedang terpapar radikalisme, yang ternyata setelah diklarifikasi kabar tersebut hanya sebagai dugaan belaka.
Ketidakjelasan penggunaan istilah radikal ini membuat pemerintah kerap salah kaprah dalam menjustifikasi mereka yang dicap radikal. Aksi pelabelan (labeling) karenanya dengan mudah dilayangkan pemerintah untuk menindak orang atau kelompok tertentu.
Dalam kajian sosiologi, pelabelan atau labeling merupakan sebuah pendekatan dalam perspektif konstruksionisme (social construction) dan interaksionisme simbolik. Tradisi ini memandang bahwa sebuah realitas sosial tercipta berdasarkan apa yang dikontruksikan oleh masyarakat.
Jón Gunnar Bernburg dalam labeling theory menulis bahwa teori atau pendekatan ini digunakan dalam menganalisis cara kerja pelabelan (pengecapan) sosial atas kejahatan (crime) dan perilaku menyimpang (deviant) di masyarakat.
Asumsi dasarnya, jika seseorang telah dicap berbuat jahat atau menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku, maka sekalipun dirinya tidak seperti yang dilabelkan atau perilakunya sudah sesuai norma yang berlaku, stigma sosial yang melekat pada dirinya sulit dilepaskan.
Dengan kata lain, sekali ia dicap sebagai radikal (deviant), maka sulit baginya untuk melepaskan stigma tersebut dan negara berhak menindaknya.
Seperti tulis Howard Becker dalam Outsiders, Studies in the sociology of deviance, penyebutan perilaku menyimpang atau tindakan kriminal sengaja diciptakan untuk membangun stigma buruk terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuh.
Pandangan tersebut relevan dengan konteks pelabelan sosial yang saat ini diproduksi oleh negara dalam membentuk identitas musuh dengan istilah radikal atau radikalisme. Dengan demikian mereka yang dicap radikal atau melakukan gerakan radikalisme sudah pasti dianggap musuh negara yang harus dibumihanguskan keberadaannya.
Singkatnya, melalui pelabelan tesebut, seseorang atau kelompok sosial yang dicap radikal atau melakukan gerakan radikalisme adalah musuh negara sebab dianggap anti-Pancasila dan mengancam keamanan nasional.
Dengan begitu, pemerintah memiliki alasan kuat untuk memberangus gerakan-gerakan yang dilabelkan sebagai gerakan radikal.
Akankah “Radikal” Menjelma Jadi PKI Baru?
Melihat wacana radikal yang tendensius terhadap pemberangusan kebebasan berserikat, berpendapat, atau beroposisi terhadap pemerintah, memang menimbulkan kecurigaan terkait motif di belakang penciptaan pelabelan ini.
Negara atau pemerintah Indonesi saat ini sedang memainkan apa yang disebut Kate Grealy dalam Politicising the Label Radical? sebagai politisasi istilah dengan maksud membungkam dan mendiskreditkan para pembangkang dan lawan politik pemerintah.
Sayangnya, untuk memperhalus aksi tersebut, pemerintah membalut aksinya dengan dalih perang melawan terorisme yang tengah merongrong keamanan nasional.
Beberapa peristiwa yang terjadi belakangan, misalnya, aksi protes pelajar dan mahasiswa dalam menolak pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi UU KPK, dicap pemerintah sebagai aksi yang ditunggangi oleh gerakan radikalisme.
Lebih lucunya, saat sejumlah komisioner dan pegawai KPK ngotot mempertahankan marwah dan penguatan lembaga antirasuah tersebut, pemerintah lalu memunculkan wacana KPK sebagai sarang radikalisme. Novel Baswedan adalah salah satu yang paling disorot dalam wacana tersebut.
Melihat pola-pola yang ditampilkan pemerintah, muncul kecurigaan adanya nuansa pengulangan sejarah yang sempat dipakai di era pemerintahan Orde baru.
Pengalaman buruk yang pernah terjadi di zaman Orde Baru, melalui stigma “PKI” atau “komunisme”, negara dengan semena-mena menghabisi kelompok oposisi atau mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dikuatirkan bakal terjadi di era pemerintahan Jokowi.
Kekhawatiran ini cukup beralasan, menimbang terdapat kesamaan pola di antara kedua pengalaman tersebut.
Harus diakui, ketidakmampuan pemerintah dalam meredam gejolak sosial di akar rumput, bisa jadi merupakan alasan kuat memproduksi stereotip negatif terhadap individu maupun kelompok yang selama ini dinilai menjadi ancaman pemerintah.
Dengan demikian, stigma buruk yang diciptakan lewat kosa kata radikal atau radikalisme, menjadi pembenaran untuk membungkam mereka yang kritis atau berbeda sikap dan pandangan politik.
Negara dengan begitu, punya alasan kuat untuk menekan dan menghakimi siapa saja yang masuk dalam target mereka.
Seperti ditulis Narwaya dalam Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, pewacanaan Orde Baru atas coup d’etat’ yang dilakukan oleh PKI pada akhirnya memberi alasan bagi Soeharto untuk memberangus komunisme di Indonesia. Dari peristiwa ini pula stigma anti-Pancasila dilekatkan kepada komunisme.
Artinya, apabila melihat pola yang dilakukan pemerintah saat ini, dengan mengacu pada pendapat Narwaya, bisa dikatakan ada kemiripan. Bahwa baik Soeharto maupun Jokowi sama-sama menciptakan stereotip negatif terhadap gerakan yang dicap membahayakan kekuasaan.
Sayangnya, muatan kepentingan di balik kedok perang melawan radikalisme dan terorisme yang digunakan Jokowi saat ini terkesan berbahaya dalam iklim demokrasi, yang mengandaikan adanya ruang kebebasan masyarakat memberikan pendapat atau sikap politik.
Karenya, memahami hubungan penggunaan kedua label negatif ini sangat penting untuk memahami cara negara membenarkan tindakan represifnya terhadap masyarakat yang kerap kritis terhadap pemerintah. Lalu, akankah “radikal” bernasib sama seperti “PKI” dan “komunisme” di zaman Orde Baru?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.