Setelah bergabungnya Ketum Gerindra, Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah, muncul pendapat – misalnya dari Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari – yang menyebutkan bahwa ancaman politik saat ini justru berasal dari “kelas menengah”. Namun, membandingkan dengan studi yang menyebutkan kelas menengah adalah penikmat utama berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi. Rilis kementerian keuangan juga menyebut kelas menengah adalah penggerak ekonomi potensial. Lantas benarkah klaim tersebut?
PinterPolitik.com
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari boleh saja menjadi salah satu sosok yang paling menonjol dalam acara Foreign Policy Community of Indonesia yang bertajuk Indonesia’s Economic & Political Outlook 2020 pada 13 Desember 2019 lalu.
Dalam paparannya yang begitu energik dan penuh aksentuasi, Qodari menyampaikan optimisme akan kestabilan politik setelah bergabungnya Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang telah menjadi rival berat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam dua kontestasi Pilpres terakhir, ke dalam koalisi pemerintah sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Namun, di tengah optimisme tersebut, Qodari menyampaikan pernyataan yang cukup mengejutkan dan sepertinya butuh dicerna lebih lanjut. Ia menyebutkan bahwa ancaman kestabilan politik pemerintah Jokowi saat ini justru datang dari kelas menengah atau middle class, dan bukannya kelas bawah atau lower class.
Beda halnya dengan kelas bawah yang tidak memiliki pendidikan, gawai, dan aktif bermain sosial media (sosmed), kelompok kelas menengah ini memiliki kapabilitas untuk menyebarluaskan berbagai ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi.
Menurut Qodari, ketidakpuasan kelas menengah ditengarai karena kegalauan mereka akibat belum memiliki pekerjaan, ataupun tidak mendapatkan upah kerja yang mereka ekspektasikan sebagai kelompok yang mengenyam pendidikan tinggi. Atas dalih ini, mereka lantas mengekspresikan ketidakpuasan tersebut, khususnya melalui sosmed.
Selepas acara, PinterPolitik lantas mewawancarai Qodari. Akan tetapi, belum sempat pertanyaan terkait pernyataannya tentang kelas menengah dilontarkan, alumnus University of Essex, Inggris tersebut terburu-buru pergi setelah PinterPolitik menanyakan perihal adanya pengamat asing yang menilai Jokowi menempatkan demokrasi di belakang pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain, penjelasan lebih lanjut terkait pernyataan Qodari tersebut sayangnya tidak diperoleh. Oleh karenanya, dalam tulisan ini, analisis atas pernyataan Qodari didasarkan atas pernyataannya sepanjang acara berlangsung.
Lalu, benarkah klaim Qodari bahwa kelas menengah adalah ancaman pemerintah saat ini?
Kapabilitas untuk Sebarkan Opini
Menilik pada pernyataan Qodari, mungkin dapat dipahami bahwa pernyataan tersebut lebih pada semacam prediksi atau suatu potensi bahaya.
Qodari sendiri menyinggung perihal adanya perubahan strategi politik, yang mana isu SARA menjadi senjata utama untuk menggiring opini massa. Strategi tersebut terjadi setidaknya sejak pergulatan Pilpres 2014 dan memuncak pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Tidak hanya Qodari, para pengamat asing rupanya turut menyoroti hal serupa.
Thomas Paterson dalam tulisannya di ASPI The Strategiest misalnya, menyebutkan bahwa kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017 adalah contoh paling menonjol dari weaponisation atau “upaya mempersenjatai” yang menggunakan sentimen agama dan intoleransi agama yang sengaja disebarluaskan – khususnya melalui sosmed – yang kemudian banyak menciptakan disinformasi – kondisi ketika penyampaian informasi yang salah bertujuan untuk membingungkan orang lain.
Merujuk pada definisi Qodari yang mengkategorikan kelas menengah sebagai mereka yang berpendidikan dan memiliki gawai, sekiranya tidak begitu mengejutkan mengapa kelompok ini disimpulkan sebagai mereka yang memiliki kapabilitas untuk menyebarluaskan opini.
Dengan jumlah kelas menengah Indonesia saat ini yang mencapai 60 juta orang, pengguna gawai sekitar 100 juta orang, dan pengguna internet sekitar 171 juta orang, rasa kekhawatiran Qodari terkait akan terguncangnya kestabilan politik karena adanya disinformasi, khususnya melalui sosmed, nampaknya sangat beralasan.
Peter Siciu dalam tulisannya di Forbes juga turut menyoroti perihal besarnya peran sosmed dalam melakukan pembelahan politik. Menurut Siciu, hal ini juga tidak terlepas dari minimnya peran para perusahaan sosmed untuk menghentikan penyebaran informasi palsu (hoaks) dan misinformasi atau informasi yang tidak tepat.
Bedanya dengan disinformasi, pada misinformasi tidak terdapat tendensi untuk sengaja menyebarkan informasi salah ataupun membingungkan orang lain, melainkan itu terjadi semata-mata karena ketidaktahuan sang penyebar informasi.
Siciu yang mengutip pernyataan Nathaniel Ivers dari Wake Forest University menekankan bahwa akar dari masalah tersebut adalah pada pertanggungjawaban masing-masing pengguna sosmed. Masalahnya, pertanggungjawaban etis semacam itu justru sangat minim terjadi karena adanya faktor para pengguna yang bersifat anonim dan tidak berhubungan secara langsung, sehingga leluasa untuk menyebarkan informasi.
Persoalan anonim dan hubungan yang tidak langsung ini telah lama menjadi sorotan utama Filsuf Eksistensialisme asal Prancis, Emmanuel Levinas yang menyimpulkan bahwa konsep sosialitas manusia adalah relasi antar wajah atau face-to-face relation. Maksudnya adalah secara etis, orang akan memiliki rasa bertanggung jawab satu sama lain jika berada dalam pertemuan tatap muka.
Dalam kehidupan sehari-hari, bukankah kita akan memiliki rasa “tidak enak” untuk berbicara atau bertutur apabila orang yang kita maksud sedang kita tatap? Beda halnya jika orang tersebut berada entah di mana, kita cenderung berujar terkaitnya dengan cukup bebas, bahkan sembarang bukan? Itulah yang terjadi pada sosial media.
Kelas Menengah Dorong Ekonomi
Di luar persoalan besarnya potensi pembelahan politik melalui sosmed, yang mana ini mengafirmasi kekhawatiran Qodari, terlebih dahulu sekiranya kita harus menelusuri benarkah kelas menengah adalah aktor di balik masalah tersebut. Atau mungkin pertanyaan yang lebih dalam adalah, tepatkah definisi Qodari dalam mengkategorikan kelas menengah?
Merujuk pada sejarahnya, pembagian strata sosial atau masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial mendapatkan puncak popularitasnya ketika Filsuf dan Revolusioner asal Jerman, Karl Marx menyebarluaskan pemikirannya terkait adanya perbudakan kepada para buruh atau kelas proletar oleh para pemilik modal dan alat produksi atau kelas borjuis.
Akan tetapi, nyatanya konsep kelas menengah adalah apa yang menjadi kekurangan dalam konsep Marx. Adalah James Bradshaw yang pada tahun 1745 menjadi sosok pertama yang disebut memperkenalkan istilah kelas menengah. Kelompok ini sendiri merujuk kepada mereka yang bukan pemilik modal atau alat produksi, tetapi bukan pula kelompok buruh.
Di era kontemporer atau saat ini, pembagian kelas sosial adalah pembagian yang merefleksikan keadaan socioeconomic atau sosial-ekonomi yang umumnya dibagi menjadi tiga kelas, yakni kelas atas atau upper class, kelas menengah, dan kelas bawah.
Pembagiannya memang tidak memiliki suatu definisi yang tunggal, akan tetapi umumnya dilakukan berdasarkan kategori ekonomi, seperti pendapatan atau pengeluaran per kapita per hari.
Di Indonesia, pembagian ini umumnya merujuk pada definisi dari Asia Development Bank (ADB) yang melakukan pembagian kelas berdasarkan pengeluaran per kapita per hari. Untuk kelas menengah sendiri, ADB mendefinisikannya sebagai mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per hari sebesar US$ 2-20 atau Rp 28-280 ribu.
Membandingkan pada definisi Qodari, terlihat jelas kategori yang dipakainya tidak merujuk pada ADB. Kemudian, menilik pada definisinya yang menyebut “kelompok galau” dan berpotensi menyebarluaskan ketidakpuasan terhadap pemerintah, boleh jadi definisinya memiliki tendensi pandangan politik yang kuat.
Hal ini juga diperkuat dengan berbagai pernyataan Qodari yang condong untuk melakukan pembelaan terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi, misalnya dengan mendukung masuknya Prabowo ke dalam koalisi. Padahal, hal ini justru disorot negatif oleh berbagai pihak karena dipandang dapat menjadi preseden buruk terhadap demokrasi. PinterPolitik yang turut menanyakan hal ini juga ditanggapi diplomatis oleh Qodari dengan menyebutnya: “Itu kan pandangan orang”.
Di luar persoalan definisi yang bertendensi politis tersebut, menariknya, berbeda dengan Qodari yang melihat kelas menengah sebagai ancaman, berbagai pihak justru melihat kelas menengah sebagai suatu keuntungan ekonomi.
Merujuk pada optimisme Qodari terhadap kestabilan politik yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, bukankah seharusnya ia juga harus memiliki optimisme serupa dengan faktor lain yang dapat menjadi keuntungan ekonomi?
Pasalnya, dalam publikasi pada laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang berjudul Kelas Menengah Penggerak Ekonomi Indonesia, dengan jelas disebutkan bahwa kelas menengah adalah faktor penting yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tidak hanya itu, dalam hasil penelitian SMERU Research Institute yang dipublikasikan dalam EastAsiaForum, menariknya disebutkan bahwa kelas menengah justru adalah pihak yang paling menikmati berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi. Artinya, jika kelas ini begitu menikmati berbagai kebijakan pemerintah, lantas atas dasar apa kelas ini harus menyebarkan ketidakpuasan atas pemerintah?
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami bahwa pernyataan Qodari bisa dilihat dari sudut pandang efek sebaran informasi di dunia digital. Atau mungkin, dengan fakta berbagai pernyataannya yang condong membela pemerintah, mungkin itu dapat dipahami sebagai perpanjangan point of view pemerintah yang bertujuan untuk menyampaikan maksud tertentu. Terkait hal tersebut, tentu hanya Qodari yang mengetahuinya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.