Kabar tak sedap datang dari perusahaan milik negara, Perum Bulog. Sebanyak 20 ribu ton beras milik perusahaan ini terpaksa dimusnahkan. Pasalnya, stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) tersebut tak dapat lagi dikonsumsi.
PinterPolitik.com
Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Dalam regulasi tersebut, disebutkan apabila batas waktu simpan melampaui 4 bulan, maka berpotensi mengalami penurunan mutu.
Atas dasar itu, seluruh beras yang ada di Bulog yang dianggap telah melewati batas waktu simpan yang sudah ditetapkan terpaksa harus dibuang atau di-disposal.
Lantas, apa hubungannya dengan kasus pemusnahan 20 ribu ton beras yang kini sedang ramai dibahas? Ternyata, usia penyimpanan beras 20 ribu ton itu telah melebihi 1 tahun. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi pihak Bulog untuk tidak menjalankan mandat regulasi tersebut.
Meski demikian, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso alias Buwas, mengatakan beras yang akan di-disposal itu bukan berarti tak dapat dikonsumsi lagi.
Menurutnya, terkait ketentuan pelepasan (disposal stock) telah diatur dalam Permentan 38/2018. Beras disposal itu akan diolah menjadi produk lain seperti tepung, ethanol dan pakan ternak.
Namun, mirisnya akibat dari salah perhitungan itu negara harus merugi sebesar Rp 160 miliar. Ini tentu sangat menyedihkan. Belum lagi, perusahaan negara yang sempat jadi sorotan publik ini kini sedang mengalami masalah besar terkait finansial.
Bulog saat ini sedang dililit utang senilai Rp 28 triliun per November 2019. Angka ini meningkat dua kali lipat jika dibandingkan pada 2017 yang hanya Rp 13,2 triliun.
Menanggapi utang tersebut, Buwas menuturkan bahwa hal itu disebabkan adanya pengadaan beras baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Kesulitan mencari jalan keluar, Buwas pun mengaku bingung bagaimana cara mengatasi utang perusahaan yang kian menggunung itu.
Kini, di tengah upaya penyelematan utang Bulog yang terus membengkak, Buwas harus siap menghadapi hujan kritik terkait kasus pemusnahan puluhan ribu ton beras rusak.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, Buwas harus mencari dana lagi untuk pemusnahan beras, sebab disposal stock memerlukan biaya tak sedikit.
Sebelum itu sosok yang dikenal galak ini telah mengingatkan kepada pemerintah agar melakukan perhitungan yang cermat sebelum menerapkan kebijakan impor beras.
Sayangnya, himbauan itu sama sekali tak digubris. Pemerintah melalui mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita ketika itu bahkan ngotot untuk tetap melakukan impor beras.
Padahal, stok beras nasional yang ada di gudang Bulog masih tersedia cukup banyak. Bahkan, menurut Buwas pasokan beras di 2018 cukup untuk kebutuhan domestik, dan diprediksi mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri hingga 2020.
Menariknya, sikap keras kepala itu tidak hanya ditunjukkan Enggartiasto. Rupanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sangat mendukung kebijakan impor beras tersebut.
Jika demikian, apa yang bisa dimaknai dari persoalan ini?
Polemik Kebijakan Impor Beras
Hulu dari pemusnahan cadangan beras pemerintah ini tiada lain akibat membludaknya pasokan beras di perum Bulog. Besarnya stok beras di Bulog berdampak pada inefisiensi pengelolaan.
Disinyalir hal itu sebagai efek dari kebijakan pemerintah yang mengabaikan kondisi riil di lapangan. Pemerintah di bawah Kementerian Perdagangan Enggartiasto tidak menghentikan – minimal mengerem – keinginan untuk terus memasok beras dari luar.
Padahal, pasokan beras dalam negeri pada 2018, menurut Buwas sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional. Jikapun dipaksa impor, risikonya stok beras yang dikelola Bulog bakal mengalami kesulitan dalam penyimpanan, juga mekanisme penyalurannya.
Buwas menyebut daya tampung gudang Bulog hanya mampu memuat 2,4 juta ton. Pun, kapasitas 2,4 juta ton itu sendiri sudah terisi penuh oleh beras dari dalam negeri dan realisasi impor sebelumnya. Sementara kalau menambah lagi 2 juta ton, maka tentu akan sulit menyediakan tempat penyimpanan.
Namun, pernyataan Buwas itu dibantah Enggartiasto bahwa impor beras 2018 justru untuk mengatasi kondisi pasokan beras domestik yang minim.
Enggartiasto diketahui telah menerbitkan izin impor beras sebanyak 2 ton pada 2018 yang rencananya akan dilakukan secara bertahap.
Politisi Partai Nasdem itu bahkan tak peduli soal stok beras di gudang yang sudah penuh. Dirinya menyebut perkara gudang yang penuh bukan urusannya. Tugas dia sekadar menetapkan izin impor.
Kini apa yang diprediksikan Buwas setahun lalu itu tidak meleset. Buah dari keras kepala yang ditunjukkan Enggartiasto berdampak buruk terhadap salah satu perusahaan primadona milik negara itu.
Mirisnya, kebijakan Enggartiasto itu mendapat dukungan penuh dari Presiden Jokowi, yang menurutnya kebijakan impor beras masih dibutuhkan ketika itu.
Alasannya sederhana, fluktuasi harga beras nasional yang kerap tidak stabil akibat ketidakstabilan pasokan harus diakali dengan kebijakan impor.
Ironinya, Jokowi sendiri saat itu mengakui kalau stok beras dalam negeri sedang mengalami surplus. Lalu, apa yang membuatnya ikut mendukung ngotot agar tetap impor?
Diketahui, produksi beras nasional pada 2018 mencapai 33 juta ton. Sementara tingkat konsumsi masyarakat di tahun yang sama berkisar 29 juta ton. Ini berarti masih terdapat surplus 3 juta ton sepanjang 2018.
Namun, Jokowi punya alasan lain untuk membenarkan kebijakan impor beras tersebut. Menurutnya, kebijakan impor dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan cadangan.
Jokowi juga berkilah hal itu demi menjaga kestabilan harga beras di pasaran, jika sewaktu-waktu terjadi gagal panen, menimbang kondisi cuaca dan bencana yang kerap menjadi penyebabnya.
Bisnis Kartel di Balik Impor beras
Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan kebijakan impor beras di era Jokowi ditunggangi oleh permainan kartel pangan yang menempel di pemeritah. Akibat hal itu, Jokowi, kata Rizal tidak bisa berkutik.
Rizal menilai kebijakan impor merupakan sebuah langkah tidak tepat di saat para petani sedang memasuki musim panen. Jika itu tetap dilakukan, maka sudah pasti di belakangnya terdapat pemain kartel.
Hal serupa juga diakui mantan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, yang mengungkapkan kentalnya mafia pangan selama kepemimpinannya.
Lincolin Arsyad dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebut kartel merupakan suatu organisasi resmi dari para penjual yang secara bersama menentukan harga, kuantitas, dan diferensiasi produk secara bersama-sama untuk memaksimalkan keuntungan industri tersebut.
Dalam konteks kebijakan impor beras, fenomena ini meskipun tidak kasat mata, dapat tersingkap melalui performa kebijakan di era Jokowi yang terbukti melapangkan jalan para pemain kartel memainkan irama pasokan pangan, khususnya komoditas beras, seperti yang disinggung oleh Rizal Ramli dan Amran Sulaiman.
Dugaan kuat adanya pemain kartel di balik impor beras memang cukup beralasan. Cara lain untuk melihat hal itu melalui ketidakmampuan Jokowi dalam menghentikan kebijakan impor beras yang tampak terpaksa itu.
Jokowi bersama lingkaran pembantunya bahkan ikut terseret dalam dinamika kartelisasi ini. Bisa jadi mereka tidak menginginkan itu, namun tak punya pilihan kebijakan lain.
Robison dan Hadiz dalam The Political Economy of Oligarchy and The Reorganization of Power in Indonesia menyebut kelompok ini sebagai klik oligarki atau oligarki predatoris – sebuah entitas atau jejaring bisnis-politik yang melibatkan para birokrat dengan pengusaha.
Klik oligarki ini senantiasa memanfaatkan segala akses dan fasilitas publik yang ada untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memedulikan nasib masyarakat.
Robison dan Hadiz juga mengungkapkan bahwa para oligarki ini memiliki keistimewaan terutama dalam membagi-bagikan lisensi perdagangan.
Pernyataan ini menggambarkan adanya praktik bisnis-politik yang beroperasi di balik kebijakan impor yang melibatkan aktor-aktor penting di dalamnya.
Mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Kekuatan mereka bersumber pada keistimewaan hak yang diberikan oleh negara berupa jabatan formal beserta sumber daya material (capital) yang mereka miliki.
Imbas dari permainan kartel di balik kebijakan impor ini tidak hanya membuat harga beras domestik merosot akibat stok yang melimpah, melainkan berdampak buruk terhadap nasib para petani yang jumlahnya mencapai 4 juta lebih.
Alhasil, 20 ribu ton beras yang terbuang sia-sia adalah harga yang harus dibayar rakyat Indonesia akibat kejamnya praktik kartelisasi ini. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.