Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memilih tujuh staf khusus (stafsus) kepresidenan yang berasar dari generasi milenial. Namun, untuk membuat gebrakan-gebrakan baru, para stafsus muda ini bisa jadi akan menghadapi beberapa tantangan.
PinterPolitik.com
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja mengumumkan tujuh staf khusus (stafsus) kepresidenan yang berasal dari generasi milenial. Datang dari beragam keahlian dan latar belakang, para pejabat milenial yang baru ini berusia sekitar 23-36 tahun.
Tujuh stafsus milenial tersebut adalah CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra (32), perumus Gerakan Sabang Merauke Ayu Kartika Dewi (36), pendiri Ruangguru Adamas Belva Syah Devara (29), pendiri Kitong Bisa Billy Gracia Yosaphat Mambrasar (31), CEO Creativepreneur Putri Indahsari Tanjung (23) pendiri Thisable Enterprise Angkie Yudistia (32), dan Ketua Umum PB PMII periode 2014-2017 Aminuddin Ma’ruf (33).
Untuk sebagian orang, keputusan Presiden Jokowi adalah langkah yang baik dalam rangka mengakomodasi kepentingan serta upaya regenerasi kepemimpinan berdasarkan prestasi dan kompetensi. Namun, sebagian orang yang lain memilih pesimis.
Di samping adanya anggapan pemborosan anggaran negara, hadirnya ketujuh milenial tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan tumpang tindih tugas dengan jabatan lainnya di kabinet Jokowi.
Terlepas dari kontroversi yang ada, keputusan Presiden Jokowi memilih tujuh staf khusus dari kalangan milenial tentu bukan tanpa alasan. Jokowi ingin membuktikan bahwa dirinya tidak berbohong ketika mengumbar janji kampanye yang menyasar kepentingan milenial.
Namun demikian, apakah pemilihan generasi milenial untuk menduduki kursi bergengsi di sekitar Istana benar-benar menjadi solusi atas permasalahan kebangsaan saat ini?
Bersaing dalam Birokrasi
Di tengah derap perubahan dan laju informasi yang bergerak begitu cepat, partisipasi politik generasi milenial akhir-akhir ini patut diapresiasi. Selain di lingkaran Istana, kaum milenial juga tampak di kursi parlemen (DPR) sebagai wakil rakyat, baik di level pusat maupun daerah. Paling tidak, mereka menjadi harapan baru dalam mengelola kebijakan (government policy) dan merespons tantangan demografi yang kini sudah di depan mata.
Menurut studi yang dilakukan oleh Canadian Center of Science and Education pada tahun 2018, generasi milenial sangat menguasai teknologi dan dapat mengakses informasi dari berbagai sumber sehingga mereka bisa belajar dengan cepat dan akses mereka terhadap dunia luar membuat mereka berlomba-lomba dalam memperbanyak prestasi dan memiliki daya saing tinggi.
Kendati demikian, runyamnya sistem politik dan kultur birokrasi yang sudah mengurat akar di Indonesia membuat optimisme terhadap milenial ini sedikit bias. Stafsus milenial ini tentu akan bersaing dengan kelompok kepentingan lain yang sudah lama berada di lingkaran Jokowi.
Apabila mereka tak punya daya tekan, mereka akan kalah dari elite politik senior dan hanya menjadi etalase (pajangan) politik karena para elite politik senior ini memiliki dukungan kekuatan partai, bargaining power, dan sudah terbiasa melakukan kompromi politik dengan Jokowi.
Mannheim menyebutkan bahwa generasi yang lebih muda tidak dapat bersosialisasi dengan sempurna karena adanya gap antara nilai-nilai ideal yang diajarkan oleh generasi yang lebih tua dengan realitas yang dihadapi oleh generasi muda tersebut. Lebih lanjut, dikatakan bahwa lokasi sosial memiliki efek yang besar terhadap terbentuknya kesadaran individu.
Kuatnya kompromi politik dalam sebuah pemerintahan seringkali menyebabkan pejabat kita terjebak dalam pragmatisme politik untung-rugi. Kekuasaan (power) hanya dimaknai sebatas cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akhirnya, pada titik tertentu, mereka senantiasa membuat kebijakan publik sesuka hati tanpa mempertimbangkan dampak bagi publik sebagai penguasa sah kedaulatan.
Padahal, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Itu artinya sejatinya dasar teoritis demokrasi adalah kekuasaan (kratos) berada di tangan rakyat (demos). Di dalam segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, rakyat dan kepentingannya adalah starting point (titik pijak) yang paling utama.
Selain kompromi politik, stafsus milenial juga akan dihadapkan dengan budaya birokrasi yang bersifat paternalisme-feodalistis. Paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan dan harus dihormati oleh bawahannya. Konsekuensi dari mentalitas feodal tersebut menjadikan birokrasi sangat lemah untuk berinisiatif dan berimprovisasi saat memberikan pelayanan.
Kondisi birokrasi seperti ini persis dengan apa yang digambarkan oleh Karl Max hanya berorientasi untuk mempertahankan privilege dan status quo kepentingan kelas penguasa. Lebih jauh lagi, Mas’oed menyatakan terdapat ketimpangan antara birokrat dan rakyat dalam hal status, pendidikan, dan kepemilikan informasi yang pada akhirnya memunculkan kemacetan dan bahkan kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Budaya birokrasi yang paternalis-feodalists juga mengakibatkan munculnya raja-raja kecil (little kings) di daerah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Kebijakan raja-raja kecil ini sulit dikontrol sehingga terjadi disfungsi birokrasi seperti penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pendelegasian dan pembentukan partner kerja.
Di sinilah peran pejabat milenial dibutuhkan dalam penyelenggaraan birokrasi. Karakteristik anak muda yang anti-kemapanan, memiliki idealisme besar, kreatif, serta berani diharapkan mampu menjadi pembawa perubahan (agent of change) dalam mendorong lahirnya reformasi birokrasi. Berbagai terobosan dan keberanian perlu dilakukan oleh birokrat muda guna mempercepat laju perubahan seperti yang dicita-citakan.
Tumpuan Harapan Bersama
Setidaknya, ada tiga hal penting yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi agar relasi milenial di dalam pemerintahan bisa berjalan sinergis. Pertama, perlu adanya kejelasan tugas dan fungsi (upoksi) dari stafsus milenial agar tidak terjadi tumpang tindih jabatan. Kedua, pemerintahan Jokowi perlu senantiasa mendukung mereka dalam melakukan inovasi kebijakan. Ketiga, pemerintah perlu menjamin manfaat bagi mereka melalui program yang dijalankan. Apabila ketiganya mendapat perhatian pemerintah, perekrutan staf khusus ini bisa saja akan menjadi lebih efektif.
Selain tiga hal penting di atas, tantangan terbesar stafsus milenial Jokowi saat ini adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan posisi dan kreativitas mereka di bidang teknologi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam hal ini, pejabat milenial harus senantiasa berusaha melakukan peningkatan kualitas layanan dan perbaikan sistem manajemen pemerintahan dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang strategis, berkeadilan, efektif dan profesional, serta akuntabel.
Dengan demikian, hadirnya generasi milenial pada pemerintahan saat ini diharapkan mampu menjadi jawaban atas permasalahan kebangsaan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Segala bentuk perbedaan pandangan kita tentang ‘generasi milenial’ bukan menjadi alasan untuk kita semua tetap mendukung mereka melakukan hal terbaik untuk tanah kelahirannya.
Tulisan milik Dadan Rizwan Fauzi, mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan di Unversitas Pendidikan Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.