Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada Hari Guru Nasional 2019 lalu bisa jadi merupakan sinyal bahwa akan ada perubahan radikal terhadap sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana dampaknya apabila perubahan-perubahan ini diterapkan?
PinterPolitik.com
Pidato Nadiem Makarim dalam momen Hari Guru Nasional pada 25 November lalu memperjelas visi bahwa ia serius dalam upaya untuk memacu peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam pidato singkatnya, Nadiem menyatakan beberapa hal penting yang harus diperhatikan guna mencapai cita-cita besar untuk membangun peradaban maju melalui pendidikan.
Pertama, mengajak kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar. Gerakan radikal ini merupakan hal utama yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Meminjam filosofi pendidikan Paulo Freire dalam bukunya berjudul Pendidikan Kaum Tertindas, pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan hadap masalah, bukan pendidikan gaya bank.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, faktanya masih banyak dijumpai sistem pendidikan gaya bank. Guru menjadi kaum penindas yang mengajar para murid (kaum tertindas) dengan menjejali mereka informasi-informasi yang harus dihafalkan saja (seperti menabung/investasi di bank agar mendapatkan keuntungan ekonomi). Jadi, murid menjadi ibarat obyek agar kelak bisa mendatangkan keuntungan bagi kelompok sosial tertentu di masa depan.
Tanpa disadari hal itu adalah “dehumanisasi pendidikan”. Pendidikan menjadi bersifat negatif karena murid menjadi objek teori yang mengalienasi mereka dari realitas empiris atau masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang harusnya menjadi pokok diskusi guna memecahkan permasalahannya.
Pendidikan gaya bank inipun hanya menjadi alat untuk mempertahankan status quo bagi para penguasa (lingkaran oligarki) dan menutup ruang-ruang intelektual bagi para murid maupun para guru sehingga nalar kritis, analitis, kreatif, dan inovatif nihil dihasilkan.
Nadiem Makarim tampaknya mengisyaratkan agar guru memakai filosofi pendidikan Freire yaitu pendidikan hadap masalah. Pendekatan ini membuat murid dan guru sama-sama menjadi subyek belajar melalui diskusi.
Mereka melakukan investigasi bersama-sama untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Kurikulum yang dihasilkan lebih kontekstual. Contohnya, dalam konteks masyarakat agraris, kurikulum akan didesain oleh guru dan siswa guna mengungkap realitas permasalahan yang berkaitan dengan pertanian. Jadi, guru dan murid akan menjadi aktor yang memunculkan inovasi demi mengatasi permasalahan yang nyata.
Kedua, adanya upaya memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas ini sebenarnya juga menjadi representasi dari sistem pendidikan hadap masalah. Jika dalam sistem pendidikan gaya bank, guru dan murid berada dalam hubungan yang tidak setara.
Namun, dalam sistem pendidikan hadap masalah, guru dan murid merupakan pembelajar yang setara. Artinya, guru bisa menjalankan peran sebagai murid dan murid berperan sebagai guru.
Tujuannya adalah membangun hubungan tanpa hierarki. Tanpa adanya hierarki maka kemerdekaan belajar dan mengajar akan dapat dicapai secara efektif.
Pembelajaran tidak hanya akan didominasi oleh salah satu pihak, tetapi mereka sama-sama menghasilkan pemikiran kreatif yang akan mengarah pada inovasi. Diskusi akan berjalan dengan baik karena akan ada banyak sudut pandang yang dihasilkan demi mencari jalan keluar untuk memecahkan permasalahan kontekstual.
Ketiga, pendidikan gaya ini bisa saja mencetuskan proyek bakti sosial. Jika menilik urgensinya, mengingat bahwa akhir-akhir ini banyak benih intoleransi antarumat beragama menyusup di sekolah.
Nadiem ingin agar guru berperan menanggulangi potensi intoleransi dengan mencetuskan program kerja bakti yang melibatkan seluruh kelas, artinya seluruh kelompok penganut agama yang berbeda akan ikut serta. Kegiatan bakti sosial merupakan representasi teori Intergroup Contact dari Gordon Allport.
Wang dan tim penulisnya dalam artikel ilmiahnya berjudul Perspective-Taking Increases Willingness to Engage in Intergroup Contact menyebutkan bahwa kontak antarpemeluk agama yang berbeda bertujuan mereduksi prasangka dan eksklusivisme. Pelaksanaan intergroup contact juga dapat membuat tiap individu terbiasa memiliki orientasi keagamaan intrinsik.
Orientasi keagamaan tersebut mengimplikasikan agama sebagai motivasi dan sumber yang memberi pengharapan dalam menjalani kehidupan. Pemeluknya cenderung mendambakan kehidupan sosial beragama yang toleran, rukun, dan kooperatif.
Kemudian, program bakti sosial juga efektif untuk mereduksi kasus bullying, mengingat bahwa bullying menjadi kasus pelik yang harus dicarikan solusinya. Dalam tulisan saya berjudul Mengatasi Bullying Melalui Semangat Gotong Royong, saya membahas bahwa program bakti sosial akan memperkuat hubungan dan interaksi sosial antar individu. Seluruh warga sekolah akan mampu menunjukkan sikap bekerja sama, interaktif, anti-diskriminasi, memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi, serta tolong-menolong.
Keempat, pendidikan gaya yang berbeda ini dapat memunculkan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Saya menangkap maksud Nadiem melalui pernyataan tersebut adalah untuk membangun konsep diri akademik yang positif bagi murid.
Dramanu & Balarabe dalam tulisannya berjudul Relationship Between Academic Self Concept and Academic Performance of Junior High School Students in Ghana menyebutkan konsep diri akademik positif adalah kondisi di mana murid memandang dirinya memiliki kemampuan potensial dalam bidang akademiknya. Mereka berkeyakinan penuh bahwa mereka memiliki kemampuan untuk terus diasah.
Lebih lanjut, Marsh dan tim penulisnya dalam tulisan berjudul Earning Its Place as a Pan-Human Theory menyebutkan bahwa konsep diri akademik positif akan membuat murid memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan lebih mudah mencapai prestasi akademik yang bagus karena memiliki motivasi yang kuat untuk terus mengembangkan potensinya.
Kelima, gaya pendidikan ini dapat menwarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan. Darmaningtyas dalam tulisannya berjudul Pendidikan yang Memiskinkan menyebutkan bahwa salah satu hal yang membuat kualitas pendidikan Indonesia stagnan adalah masalah rendahnya gaji guru di Indonesia. Gaji guru (terutama guru honorer) di negara kita masih berada di bawah taraf rata-rata untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan beban kerja mereka sangat tinggi.
Gaji mereka hanya cukup untuk membeli makanan pokok yang mungkin saja masih harus berutang dan bekerja serabutan. Dana untuk membeli buku, mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tidaklah cukup, sehingga mereka mengalami lack of knowledge.
Tentu saja, dampaknya juga akan bermuara pada penurunan kualitas peserta didik. Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi guru lain yang telah sejahtera agar membantu rekannya, tetapi juga bagi pihak sekolah, pemerintah kabupaten/kota, maupun pemerintah pusat agar memperhatikan terlebih dahulu kesejahteraan guru.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sistem penggajian yang lebih manusiawi, tugas administratif harus dikurangi, beban birokrasi (kepentingan pemangku kepentingan) harus dihilangkan agar guru merdeka untuk mendidik dan mengajar. Hal itu juga akan berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran yang bermuara pada peningkatan kualitas peserta didik.
Kita tentu sangat berharap bahwa perubahan-perubahan radikal yang akan dilakukan oleh Nadiem tidak diganggu oleh kepentingan politis tertentu, terutama oknum yang tidak ingin status quo-nya terancam. Sebagai masyarakat yang menginginkan perubahan, kita harus ikut mengawal dan mendukungnya.
Tulisan milik Yukaristia, Sarjana Pendidikan Akuntasi dari Universitas Negeri Malang.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.