HomeData PolitikKeluarga Cendana, Piye Kabare?

Keluarga Cendana, Piye Kabare?

Keluarga Cendana sepertinya masih mencari celah untuk kembali berkuasa sebagai orang nomor satu di Indonesia. Mungkinkah kemunculan mereka saat ini, menjadi pertanda bangkitnya putra putri mantan Presiden Soeharto?


PinterPolitik.com

Beliau merupakan sosok yang kontroversial. Pada kasus tentang HAM dan Timor Timur (Timor Leste), banyak yang tidak sepakat dengan langkah yang diambilnya. Meski demikian, pada masa pemerintahannya Indonesia mengalami modernisasi yang terjadi bersamaan dengan tantangan politik, sosial, dan ekonomi. Hingga terjadinya krisis moneter Asia pada 1997-1998, Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang cukup signifikan.” ~ Perdana Menteri Australia Kevin Rudd.

Sejak pagi, Masjid At-Tin di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, sudah dipenuhi ribuan orang yang akan mengikuti acara Peringatan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), sekaligus haul mantan presiden kedua Indonesia, H.M. Soeharto. Kegiatan yang oleh beberapa pengamat penuh nuansa politis ini, dihadiri oleh salah satu pasangan calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Pada acara itu, politikus Partai Golkar yang juga anak keempat Soeharto, Siti Hediati atau yang akrab disapa Titiek Soeharto, menyatakan kalau masyarakat Indonesia merindukan zaman saat Soeharto berkuasa dulu. “Enak zaman Soeharto. Aman, gampang cari makan, dan gampang cari pekerjaan. Sejarah membuktikan kebaikan yang telah dilakukan Soeharto selama 32 tahun. Banyak yang merindukan dan mendoakan Soeharto,” katanya.

Perkataan Titiek ini, mengingatkan kita pada slogan “Piye kabare? Isih kepenak jamanku toh?” (Bagaimana kabarnya? Masih lebih enak zamanku, kan?) yang sempat begitu marak beredar di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lalu. Namun apakah benar, rakyat menyimpan rindu pada sosok Soeharto?

Di acara yang sama, Sekretaris Jenderal Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo) Ahmad Hadari, mengatakan partainya telah mendapat restu untuk mengusung Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Partai yang sedang menjalani verifikasi faktual di KPU tersebut juga telah berkomunikasi dengan Partai Berkarya yang juga mengusung Tommy.

Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, memang benar banyak rakyat yang merindukan kepemimpinan Soeharto. Sebab setelah 20 tahun pasca reformasi, demokrasi Indonesia dianggap masih belum memberikan perubahan signifikan terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan era Soeharto yang terlihat stabil, baik dari ekonomi maupun politik.

Menguak Luka Lama

Soeharto wafat pada  Minggu, 27 Januari 2008 dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Presiden Indonesia kedua ini berkuasa selama 32 tahun, setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar sidang istimewa yang menurunkan Presiden Soekarno dan menyerahkan kepemimpinan kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden, 7 Maret 1967. Setahun setelah penyerahan Supersemar.

Sejak resmi dilantik MPRS pada 12 Maret 1967 sebagai Presiden, Indonesia memasuki era baru yang kemudian dikenal sebagai “Orde Baru” (Orba). Gaya kepemimpinan Soeharto yang terbuka dengan dunia luar, memungkinkan Indonesia berkembang dan melakukan pembangunan di segala bidang. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah, serta merta menjadi daya tarik bagi para investor asing untuk menanamkan modal nya di tanah air.

Bagi masyarakat yang tidak terlalu melek politik, masa kepemimpinan Soeharto dari tahun 1967 hingga 1998, memang dirasakan makmur dan sejahtera. Bagaimana tidak, pada saat itu pembangunan infrastruktur terlihat maju pesat. Indonesia pun berhasil melakukan swasembada pangan di sektor pertanian, sehingga harga-harga kebutuhan pokok terjangkau karena nilai tukar rupiah pada dollar rendah.

Namun kesejahteraan itu, sebenarnya dibayar sangat mahal oleh rakyat Indonesia. Sebab secara politik, Soeharto menerapkan gaya kepemimpinan yang sangat otoriter, semua rakyat harus tunduk dan patuh pada pemerintah. Kebebasan pers, berbicara, dan berkumpul dibatasi. Siapapun yang mengkritik pemerintah akan dihukum, sehingga di masa ini banyak sekali pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi.

Baca juga :  The Unseen Trah Soeharto

Di awal pemerintahan, para pengamat menilai gaya otoriterian Soeharto tepat, karena saat itu Indonesia sedang bergolak. Tapi setelah tahun 1980-an, sistem ini tidak lagi berhasil karena keadaan Indonesia sudah mulai stabil. Selain itu, masyarakat juga semakin cerdas dan semakin paham mengenai hakikat negara demokratis. Sehingga akhirnya, Soeharto tertolak oleh kultur dan masyarakat yang dibangunnya sendiri.

Namun, luka yang paling dalam dan akan terus diingat terkait Orba adalah maraknya korupsi dan nepotisme yang terjadi pada masa itu. Timbulnya konglomerasi dan monopoli yang dilakukan, baik oleh para kroni maupun putra-putri Soeharto, membuat rakyat marah. Puncaknya, saat terjadi krisis moneter di tahun 1998, masyarakat dan mahasiswa pun bersatu memaksa Soeharto untuk lengser keprabon.

Kekayaan Dinasti Soeharto

Seluruh insan pers di Indonesia masih ingat, bagaimana TIME Asia harus tunduk pada keputusan pengadilan Indonesia dan membayar denda sebesar Rp 1 triliun kepada Soeharto. Pasalnya, pada edisi 24 Mei 1999, Majalah TIME memuat tulisan mengenai harta kekayaan Soeharto yang konon, mencapai US$ 15 miliar, terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya.

Padahal saat itu, gaji Soeharto sebagai presiden hanya sekitar Rp 15 juta per bulan. Namun menurut TIME,  kekayaan tersebut tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran TIME menemukan, kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau uang, tetapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Bukan cuma di Indonesia, tapi juga berserakan di sejumlah negara, seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

Ketika itu, Soeharto menyangkal dengan mengatakan tidak memiliki uang sepeser pun di luar negeri, termasuk seluruh kekayaan yang ditulis TIME. Soeharto kemudian mengadukan TIME Asia ke pengadilan. Dalam putusan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi, TIME Asia dinyatakan tidak bersalah. Tapi saat banding ke Mahkamah Agung pada 30 Agustus 2007, kemenangan berpihak ke Soeharto.

Meski begitu, dari laporan TIME inilah awal mula pengusutan harta kekayaan Soeharto bergulir. Penyelidikan juga meliputi tujuh yayasan milik Soeharto, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman, berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Kesimpulan dari penyelidikan ini, pemerintah menduga Soeharto dan keluarganya telah menggelapkan uang negara melalui Yayasan Supersemar.

Berdasarkan data Transparency International, Soeharto dinyatakan telah menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah, yaitu dengan perkiraan US$ 15–35 miliar selama 32 tahun masa pemerintahannya. Dalam kasus ini, pemerintah kemudian menggugat secara materiil sebesar US$ 420 juta serta Rp 185 miliar dan gugatan immateriil Rp 10 triliun.

Ketika Soeharto wafat, kelima anak Soeharto – kecuali Tommy – menggantikan ayahnya sebagai tergugat. Setelah beberapa kali banding, akhirnya pada 19 Februari 2009, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan Yayasan Supersemar harus membayar kerugian sebesar US$ 105.000.727,66 dan Rp 46.479.512.226,187 kepada negara, karena telah menyalahgunakan dana dengan cara memberi pinjaman dan menyertakan modal ke berbagai perusahaan.

Sebenarnya, jumlah yang dikembalikan keluarga Soeharto tidaklah seberapa dibanding kekayaan yang dinikmati dan hingga kini masih berlebihan bagi anak-cucunya hidup tanpa bekerja. Bila dibandingkan dengan beban hutang luar negeri yang ditinggalkan orba, dan terus menjadi beban negara. Sistem nepotisme yang dibudayakan Soeharto pun, telah mengakar kuat pada kroni-kroninya. Budaya ewuh pakewuh dan balas budi, membuat posisi Dinasti Cendana tetap kuat walau tidak lagi berada di tampuk kekuasaan.

Munculnya Sang Putra Mahkota

Ketika gaung semangat reformasi masih begitu kuat di tanah air, putra-putri Soeharto yang biasa disebut sebagai Keluarga Cendana, seakan berusaha menghindar dari sorotan publik. Meski begitu, beberapa putra Soeharto masih terlihat aktif di struktur pengurusan Partai Golkar, partai yang didirikan Soeharto sebagai kendaraan politiknya untuk terus berkuasa di masa orba.

Baca juga :  Prabowo Butuh Harmoko?

Namun lambat laun, satu per satu putra Soeharto mulai berusaha menjadi ‘putra mahkota’ ayahnya dengan masuk ke panggung politik. Putri pertama Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut, adalah yang paling awal bergerak dengan mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) di tahun 2002. Tapi partai yang didirikan bersama mantan KSAD Hartono itu, bahkan gagal menempatkan kadernya di DPR.

Di tahun 2009, gantian Tommy Soeharto yang memulai kiprahnya di pentas politik. “Sekarang saat yang tepat bagi saya untuk kembali ke politik, selain bisnis,” katanya saat itu. Walau cukup lama non aktif di partai, putra kesayangan Soeharto inipun mencoba maju untuk memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar. Namun keberuntungan ternyata tidak berpihak pada si bungsu.

Di tahun 2014, Tommy yang masih duduk di kepengurusan Golkar kembali mencalonkan diri sebagai ketua umum. Tapi lagi-lagi upayanya gagal, sehingga ia pun memutuskan untuk mendirikan partai sendiri, yaitu Partai Nasional Republik. Seperti juga yang dialami partai PKPB milik kakaknya, partai Tommy pun tak lolos dalam seleksi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum tahun 2014.

Upaya terakhir Tommy untuk terpilih sebagai ketua umum Golkar, dilakukan saat partai berlambang pohon beringin ini mengadakan Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) pada Mei 2016. Tapi lagi-lagi, pencalonannya ditolak dengan alasan Tommy pernah divonis 10 tahun penjara pada 2002, atas kasus kepemilikan senjata api ilegal dan pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.

Alasan ini membuat Tommy berang dan memutuskan membuat partai baru, bernama Partai Berkarya. Partai yang didirikan 17 oktober 2016 ini, memiliki lambang dan warna yang nyaris sama dengan Partai Golkar. Meski baru berumur beberapa bulan, namun Partai Berkarya telah menunjuk Tommy sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2019 nanti. Bahkan, mereka yakin kalau partainya akan berada di posisi tiga besar.

Haul Soeharto Sabtu lalu, bisa jadi merupakan salah satu upaya Tommy untuk memantapkan dukungan dari pasangan calon gubernur DKI Jakarta Anies-Sandi. “Bersatunya” kembali Prabowo dengan Titiek Soeharto yang membelot dari Golkar untuk mendukung pasangan calon ini pun, menjadi sinyal kuat bahwa Keluarga Cendana tengah bersatu untuk mendukung Tommy merebut kursi kepresidenan.

Dengan harta kekayaan yang masih dimiliki saat ini, serta dukungan massa dari beberapa partai yang pernah mereka biayai, kemungkinan akan bangkitnya keluarga Cendana dalam merebut kursi kepemimpinan Indonesia bisa saja terjadi. Masuknya nama Tommy Soeharto dalam bursa calon presiden, akan semakin memanaskan pilpres 2019 mendatang.

Bila prediksi ini benar, maka kemungkinan besar akan ada lima trah yang bertarung memperebutkan posisi nomor satu di Indonesia, yaitu Trah Soekarno (Megawati Soekarnoputri), Trah Sarwo Edie Wibowo (SBY), Trah Soeharto (Tommy Soeharto), Trah Djojohadikusumo (Prabowo Subianto),  dan trah pendatang baru – Joko Widodo.

Namun bila dilihat dari sudut pandang geopolitik maupun geostrategi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi kekuatan dan anugerah alam yang sangat besar, sehingga memiliki pengaruh besar pada percaturan politik luar negeri. Posisi maritim Indonesia yang strategis menjadi penting dalam persaingan global negara-negara Adidaya.

Posisi sentral Indonesia pada akhirnya menjadi pisau bermata dua. Walau diuntungkan secara ekonomi, namun secara politik dan militer menciptakan tekanan bagi Indonesia untuk melakukan keberpihakan. Sedangkan keberpihakan, tentu akan menimbulkan permasalahan pada keamanan negara. Inilah tantangan yang akan dihadapi oleh kelima trah yang akan bertarung nantinya. Siapakah diantara mereka yang sekiranya mampu menangani persoalan ini? (Berbagai sumber/R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...