HomeNalar PolitikMenanti Nadiem Lawan Isu PKI

Menanti Nadiem Lawan Isu PKI

Survei LIPI menyebutkan setidaknya isu terkait jutaan pekerja asing asal Tiongkok, kriminalisasi ulama, serta kebangkitan PKI, menjadi 3 hoaks utama yang mewarnai pergunjingan masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Menariknya, banyak studi menyebutkan bahwa sektor pendidikan bisa menjadi kunci utama untuk melawan hoaks – hal yang telah diterapkan di banyak negara dengan tingkat literasi digital yang tinggi. Ini tentu akan menjadi tantangan bagi Mendikbud Nadiem Makarim untuk melahirkan kurikulum yang mampu menjadi senjata melawan hoaks-hoaks yang makin banyak bertebaran.


PinterPolitik.com

“It is the mark of an educated mind to be able to entertain a thought without accepting it”.

:: Aristoteles (384-322 SM) ::

Dua orang bapak-bapak paruh baya bertengkar hebat di salah satu sudut kota Jakarta, setelah keduanya terlibat perbincangan tekait isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu dari antara keduanya bahkan sampai mengumpat dan mengancam akan memukul lawan bicaranya.

Sementara, di tempat lain, dua orang pemuda yang tinggal bersebelahan rumah selalu menghindar setiap kali bertemu akibat perdebatan panjang di media sosial terkait isu kriminalisasi ulama – perdebatan yang memanas sejak masa kampanye Pilpres 2019.

Itulah beberapa potret dampak yang terjadi di masyarakat akibat masifnya misinformasi. Maraknya hoaks dan misinformasi yang terjadi di Indonesia ini memang menjadi hal yang memprihatinkan. Untuk beberapa isu, saat ini tak lagi jelas mana hal yang benar-benar benar, dan mana yang hanya menjadi berita bohong.

Banyak pihak menilai masifnya hoaks beredar adalah karena rendahnya tingkat literasi digital masyarakat Indonesia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam salah satu surveinya menyebutkan setidaknya ada 3 hoaks atau berita bohong yang cukup masif tersebar di masyarakat dan dipercaya kebenarannya, yaitu isu tentang jutaan pekerja Tiongkok yang akan masuk ke Indonesia, lalu ada isu tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta isu kriminalisasi ulama.

Ketiga isu ini memang menjadi bagian dari wacana utama perdebatan yang terus terjadi utamanya di sekitaran Pilpres 2019 lalu. Namun, dengan sebarannya yang masif, kini ketiga isu ini dianggap sudah tak jelas lagi penerimaannya, apakah bisa dianggap sebagai kebenaran atau kebohongan.

Isu terkait jutaan pekerja asal Tiongkok misalnya, dipercayai oleh 74,3 persen responden dalam survei LIPI. Begitupun dengan dua isu lain yang dipercaya oleh hampir separuh responden survei tersebut.

Isu-isu ini memang membuat terjadinya kesimpangsiuran di masyarakat, terkait mana hal yang harus dipercaya. Sebagai catatan tambahan, isu-isu ini memang telah bergulir cukup lama dan punya hubungan erat dengan kepentingan politik elektoral, utamanya sebagai serangan terhadap lawan politik. The Diplomat pernah meramalkan efek misinformasi ini sebagai penentuan hasil akhir Pilpres 2019 lalu.

Tak heran, kini pemerintah disebut kesulitan untuk mengendalikan sebaran misinformasi tersebut. Menariknya, studi kasus di beberapa negara yang juga mengalami persoalan hoaks dan misinformasi, menyebutkan bahwa sektor pendidikan bisa menjadi kunci penyelesaian masalah.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Adalah konteks literasi digital yang disebut menjadi faktor penentunya, di mana hal tersebut bisa diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, literasi media digital bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Hal inilah yang membuat kini pandangan untuk melawan hoaks itu beralih ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Sosoknya yang masih muda dan menjadi salah satu kejutan dalam kabinet Jokowi memang dinantikan untuk mengatasi persoalan misinformasi yang telah berdampak parah di masyarakat. Pertanyaannya adalah mampukah Nadiem menjalankan tugas tersebut?

Lawan Hoaks Lewat Pendidikan

Tingkat literasi digital memang menentukan bagaimana masyarakat memproses sebuah isu yang tersebar lewat media digital. Saat ini, salah satu negara yang paling berhasil melawan sebaran hoaks adalah Finlandia.

Negara tersebut dianggap sukses menerapkan strategi jitu melawan hoaks dengan meningkatkan kapabilitas anak-anak di sekolah lewat kurikulum yang mampu melahirkan sikap dan pola berpikir kritis atau critical thinking.

Beberapa studi yang dilaporkan oleh World Economic Forum memang menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan ketahanan seseorang terhadap fake news atau berita bohong – utamanya mereka-mereka yang memiliki pengetahuan lebih dan kemampuan berpikir kritis.

Kelompok yang demikian ini umumnya lebih tahan menghadapi fabricated information atau informasi yang difabrikasi, baik untuk tujuan politik, maupun propaganda lainnya.

Sekalipun Andrew Guess dan kawan-kawan dalam tulisannya masih meragukan dampak riil dari fake news terhadap hasil Pemilu, yang jelas akan ada sampak sosial yang bisa dilihat di masyarakat. Polarisasi sosial adalah salah satu contohnya, di mana masyarakat terbagi dalam kutub politik yang bisa saja bergesekkan secara horisontal.

Di negara seperti Finlandia, Swedia dan Belanda, literasi digital dan cara berpikir kritis telah diajarkan di sekolah. Di Finlandia misalnya, ada organisasi yang bergerak di bidang fact-checking bernama Faktabaari yang metodenya kemudian diadaptasi dan diajarkan di sekolah.

Akibatnya, sekalipun menghadapi Pemilu yang penuh sebaran misinformasi, negara tersebut tak begitu merasakan dampak sosial dari hoaks dan segala jenis propaganda.

Dalam konteks Nadiem, sebenarnya founder Gojek ini sudah “meramalkan” bahwa ia akan menjabat sebagai Mendikbud. Pada awal Juli 2019 lalu – kala namanya sempat ramai dipergunjingkan akan menjadi salah satu calon menteri di kabinet Jokowi – Nadiem pernah menyebutkan bahwa jika ia menjadi Mendikbud, maka ia salah satunya akan berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis.

Menurut Nadiem, kompetensi critical thinking kerap diabaikan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Jika pada akhirnya kemampuan berpikir kritis ini akan menjadi fokus Nadiem, maka hal ini telah sejalan dengan upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.

Menanti Sejarah yang Benar

Persoalannya adalah bagaimana bentuk riil literasi digital tersebut diajarkan di sekolah. Misalnya terkait isu PKI, hingga saat ini masih terjadi cara pandang yang berbeda terkait isu ini.

Di satu sisi, partai yang satu ini masih dianggap sebagai pelaku utama dalam sejarah kelam di seputaran tahun 1965. PKI dan komunisme itu sendiri adalah hal yang dilarang, sehingga ada citra yang teramat buruk di baliknya.

Namun, jika berkaca pada studi dan penelitian dari banyak tokoh – umumnya yang berasal dari luar negeri – PKI umumnya dianggap sebagai satu bagian saja dari sejarah kelam tersebut, yang sebenarnya merupakan buntut dari perebutan kekuasaan di internal militer.

Tokoh seperti Benedict Anderson dan Ruth McVey adalah beberapa di antaranya yang menerbitkan analisis mereka terkait tragedi yang terjadi di seputaran tahun 1965 tersebut.

Artinya, sampai saat ini masih ada sisi sejarah yang abu-abu terkait isu PKI itu sendiri. Sementara, pada saat yang sama, isu ini menjadi serangan politik yang sangat efektif, utamanya terhadap Presiden Jokowi kala masa kampanye Pilpres.

Dengan demikian, tentu saja akan ada benturan ketika literasi digital itu diupayakan untuk menghalau propaganda tentang kebangkitan PKI – setidaknya jika berkaca dari survei LIPI – sementara kebenaran sejarah tentang partai terlarang ini tak pernah terang benderang.

Demikan pun dengan isu lain, misalnya terkait politik identitas. Jika kesadaran historis yang sesuai fakta sejarah tidak diajarkan di sekolah, maka  sulit untuk melihat sikap kritis itu berdampak positif untuk membendung misinformasi di masyarakat terkait perbedaan identitas. Hal ini tentu akan menjadi tantangan besar untuk seorang Nadiem Makarim.

Pada akhirnya, memang konteks literasi digital ini penting untuk membendung sebaran hoaks. Tanpa pendidikan dan kurikulum yang berfokus pada pengembangan critical thinking, niscaya perang terhadap hoaks tak akan pernah berkesudahan. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.