HomeNalar PolitikWamen Baru, Politik Akomodasi Jokowi?

Wamen Baru, Politik Akomodasi Jokowi?

Wacana penambahan enam Wakil Menteri (Wamen) dalam kabinet Indonesia Maju menuai tanggapan beragam oleh publik. Masuknya lima partai politik (parpol) dalam 12 Wamen yang diumumkan Jokowi bulan lalu seolah menunjukkan adanya intensi politik yang kuat dari jabatan ini. Apakah jabatan memang ditujukan sebagai upaya perbaikan administrasi pemerintahan? Atau justru merupakan upaya Jokowi dalam mengakomodasi para pendukungnya?


PinterPolitik.com

Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo tampaknya masih kekurangan personel. Hal ini terlihat dari rencana pemerintah kembali merekrut beberapa posisi Wamen dalam kabinet tersebut. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan mengungkapkan bahwa Presiden kemungkinan akan menambah setidaknya enam Wamen baru dalam kebinetnya.

Penambahan Wamen dalam kabinet Indonesia Maju merupakan upaya Jokowi untuk menajamkan kinerja pemerintah dalam pembangunan. Pasalnya, posisi Wamen dianggap akan menjadi hal yang penting untuk melaksanakan tugas khusus yang tidak diselesaikan oleh Menteri.

Dalam kabinet yang ada sekarang misalnya, posisi Wamen Agraria dan Tata Ruang bertugas khusus untuk menyelesaikan masalah konflik agraria. Selain itu, dua Wamen yang ditunjuk untuk Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertugas dalam pengawasan dan pembiayaan.

Sebelumnya, Jokowi telah meneken dua Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengangkatan Wamen di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).

Di tengah adanya pewacanaan tersebut, banyak pihak merasa upaya penambahan enam kursi Wamen dinilai lebih kepada ego politik Jokowi daripada kepentingan administrasi pemerintahan, benarkah demikian?

Wamen, Posisi Incaran Koalisi

Penambahan enam kursi Wamen dalam kabinet Jokowi dinilai akan semakin menggemukkan koalisi Jokowi. Wacana tersebut seolah bertentangan dengan upaya pemerintah dalam deregulasi dan debirokratisasi yang gencar dilaksanakan.

Padahal, dalam beberapa waktu yang akan datang pemerintah akan melakukan pemangkasan 440.000 pejabat Eselon III dan IV dengan tujuan untuk mengurangi rentang pengambilan keputusan dan memudahkan pemerintah dalam bergerak cepat.

Penambahan Wamen yang ada justru akan menciptakan rantai birokrasi baru yang bisa jadi membuat upaya debirokratisasi menjadi tidak efektif.

Jika ditelisik lebih jauh, gemuknya kabinet kedua Presiden pada periode kedua sejalan dengan cara upaya Jokowi dalam kembali duduk di posisi pemerintahan saat ini. Tidak mengherankan karena untuk bisa kembali terpilih Jokowi mengakomodasi banyak dukungan politik.

Pada awal pencalonan Jokowi sebagai presiden pada 2009, Jokowi hanya didukung empat partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hal diatas berbeda jauh dengan periode kedua pencalonannya yang didukung hingga 10 parpol.

Kondisi di atas menyebabkan adanya perbedaan konfigurasi parpol dan posisi Wamen pada dua kabinet Jokowi. Pada kabinet Kerja 2014-2019, Jokowi hanya menempatkan 15 menteri dari parpol dalam kabinetnya dan 3 posisi Wamen. Kondisi tersebut berbeda jauh pada kabinet Indonesia Maju 2019-2024, di mana Jokowi menempatkan 17 menteri dari parpol dan 12 Wamen.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Jika dilihat lebih jauh, posisi Wamen juga memiliki risiko politik yang tinggi. Bukannya tidak mungkin bahwa adanya Wamen akan memicu adanya konflik kepentingan dalam suatu kementerian.

Terlebih lagi, jika terdapat kementerian yang didalamnya terdapat dua orang yang berasal dari parpol yang berbeda. Dalam kabinet Indonesia Maju, Kementerian Perdagangan diisi oleh PKB dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang keduanya merupakan parpol pendukung utama dari Jokowi.

Bagi-Bagi Kekuasaan?

Asumsi mengenai adanya jabatan Wamen sebagai bentuk dari bagi-bagi jabatan pada pemerintah Jokowi tentu tidak mengherankan. Pasalnya, penunjukan 12 Wamen lalu bisa saja menunjukkan adanya intensi kuat Jokowi untuk mengakomodasi semua kelompok pendukungnya pada pemilihan presiden (pilpres) Mei lalu.

Bukan hanya dari golongan dari parpol, bahkan dukungan kuat terhadap Jokowi juga berasal dari organisasi-organisasi massa besar.

Penunjukan Wamen oleh Jokowi bisa jadi merupakan bentuk konsesi politik pada parpol dan organisasi massa yang saat ini belum mendapat jatah pada pemerintahan Jokowi.

Hal di atas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Thiago Silva dan kawan-kawan dalam Cabinet Rules and Power Sharing in Presidential and Parliamentary Democracies. Silva melihat dalam sistem presidensial, presiden memiliki kekuatan yang kuat dalam menentukan dan mengontrol kabinetnya.

Silva melihat formasi kabinet dalam sistem presidensial sangat kuat aspek politisnya. Tujuan utama dari pembentukan kabinet selain untuk membagi kekuasaan kepada para pendukungnya juga sebagai upaya kontrol kepada rekan koalisinya.

Berdasarkan pada tulisan di atas, Wamen di Kabinet Indonesia Maju dapat dilihat sebagai upaya Jokowi dalam membagi porsi kekuasaan kepada para pendukungnya.

Posisi Wamen Agama, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Agraria dan Tata Ruang misalnya merupakan pos-pos yang diisi oleh parpol-parpol kecil pendukung Jokowi yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Selain itu, Jokowi bahkan memberikan posisi Wamen Pertahanan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal  (BKPM) kepada organisasi yang secara vokal mendukungnya yaitu Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan Kelompok Relawan Pro-Jokowi.

Penambahan enam posisi Wamen dalam kabinet Jokowi bisa dibilang menjadi urgensi politik Jokowi di tengah banyaknya suara sumbang dari para pendukungnya yang hingga saat ini belum mendapatkan tempat.

Terlebih lagi, masuknya  Partai Gerindra menjadi anomali tersendiri di kabinet Jokowi. Padahal, masih terdapat kelompok-kelompok lain seperti partai Hanura, Partai Keadilan dan  Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang sampai ini belum masuk jajaran pemerintahan Jokowi.

Melihat dari konsepsi Silva, presiden membentuk eksekutif sebagai bentuk kontrol atas kelompok koalisinya. Sangat wajar jika Jokowi tidak ingin kehilangan kontrol dan dukungan dari ketiga partai yang selama ini menjadi suporter loyalnya dalam politik Indonesia.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Kondisi di atas semakin urgen seiring dengan indikasi hilangnya kontrol Jokowi atas partai Nasdem. Manuver politik partai Nasdem saat ini dianggap sebagai bentuk ketidakpuasaannya terhadap pembentukan pemerintahan Jokowi.

Kekecewaan partai Nasdem sebagai salah satu parpol pendukung utama Jokowi juga bisa dibilang sangat beralasan. Dalam penyusunan kabinetnya Jokowi tidak memberikan posisi yang strategis kepada partai Nasdem ditambah duduknya Gerindra sebagai kelompok oposisi dalam pemerintahan Jokowi.

Kontrol Birokrasi?

Posisi jabatan eksekutif memang menjadi salah satu konsesi politik yang umum digunakan pasca Pilpres di banyak negara. Hal ini dikarenakan dalam sistem presidensial kepala pemerintahan memiliki hak prerogatif dalam menempatkan seseorang dalam jajaran birokrasi di bawahnya.

Tobias Bach dalam Politicians and Bureaucrats in Executive Government menjelaskan bahwa terdapat relasi yang asimetris antara politisi eksekutif dengan birokrat. Relasi ini ditunjukkan dengan adanya kemampuan pejabat publik terpilih (kepala pemerintahan) dalam menentukan ranah kerja kelompok birokrat.

Kemampuan tersebut dapat terwujud baik melalui penunjukan kepala birokrat yang baru, perubahan peraturan hingga reformasi struktur pemerintahan. Dengan kata lain, Bach melihat adanya intervensi kepala pemerintahan melalui pos menteri secara politis merupakan upaya politisi dalam mengontrol kelompok birokrasi.

Kelompok birokrasi dalam hal ini kementerian menjadi entitas yang harus dikontrol secara politis karena birokrasi memiliki kekuataan dan wewenang dalam pembuatan kebijakan publik dan memiliki dimensi organisasional yang sangat besar.

Oleh karena itu, politisi harus berada dalam lingkaran tersebut utuk menjadi pengambil keputusan dari setiap kewenangan yang dikelola oleh kelompok birokrasi agar kepentingannya tidak terhambat.

Dalam wacana penambahan enam posisi Wamen, bisa ditebak pos-pos kementerian yang belum memiliki representasi politisilah yang kemungkinan akan dibuat posisi Wamennya.

Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Koperasi dan UMKM (Kemenkop) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merupakan kementerian yang belum memiliki kontrol politisi dalam posisi puncak.

Masuknya politisi-politisi ke dalam kementerian melalui posisi Wamen ke depannya dapat menjadi sarana Jokowi dalam mengakomodir kelompok pendukungnya. Apalagi, setelah manuver politik yang dilakukan Nasdem tentu, penambahan posisi Wamen menjadi suatu yang urgen bagi Jokowi. Selain itu masuknya kelompok politisi dalam pos kementerian juga bisa jadi akan semakin meneguhkan kontrol Jokowi atas kelompok birokrasi.

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Polemik Skuter, Anies Telat Adaptasi?

Skuter listrik di Jakarta menuai banyak polemik di Jakarta. Kisruh ini kembali memunculkan asumsi tentang kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam merespon pembangunan di ibukota....

Pilkada Asimetris, Kepentingan Siapa?

Adanya evaluasi besar-besaran terkait Pemilihan Umum (Pemilu) langsung 2019 lalu memunculkan wacana akan diubahnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan. Pilkada asimetris banyak...

Omnibus Law Jokowi, Akankah Berhasil ?

Pemerintah tampaknya sangat serius dalam mendorong adanya omnibus law ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari telah rampungnya pembahasan di pemerintah dan akan segera...