Idealnya Mahkamah Konstitusi haruslah memegang teguh tugasnya sebagai penengah pada saat lembaga-lembaga negara mengalami sebuah konflik ataupun benturan-benturan yang dapat mengurangi ‘harmonisasi’ dari sebuah hubungan. Keguncangan akan terjadi apabila seorang Hakim Mahkamah Konstitusi ini mulai terguncang karena di pundaknya terbebani oleh ‘pesan’ dari pihak tertentu.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ada era reformasi ini banyak lembaga-lembaga pemerintah baru yang muncul. Hadirnya lembaga-lembaga baru ini harusnya dapat lebih menguatkan sistem demokrasi Indonesia untuk di masa yang akan datang. Apa yang terjadi, ternyata justru munculnya lembaga-lembaga baru ini justru membuat terjadinya konflik-konflik baru juga bermunculan.
Disinilah tugas Mahkamah Konstitusi untuk menjadi penengah bagi lembaga-lembaga yang sedang berseteru ini. Sesuai dengan salah satu tanggung jawabnya Mahkamah Konstitusi yaitu mempunyai wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dimana keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan Lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Jelaslah sudah bahwasanya tugas dan tanggung jawab yang diemban diatas pundak Mahkamah Konstitusi tidaklah main-main. Untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi haruslah memiliki integritas serta kepribadian yang tiada cela, mencangkup kejujurannya, dapat bersikap adil dan terpenting adalah dapat bersikap seperti seorang negarawan.
Disinilah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi wajib menjaga dan menegakkan kehormatannya, keluhuran martabatnya dan berperilaku sebagai hakim Mahkamah Konstitusi dengan menjunjung Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama) dibentuklah Dewan Etik Hakim Konstitusi.
Muhammad Akil Muchtar, SH, MH Nasi Sudah Jadi Bubur
Sebelumnya tidak pernah ada yang menyangka dan mengira bahwa sosok pria Ketua Mahkamah Konstitusi yang pernah menjadi tukang semir sepatu ini akan tersandung sebuah kasus korupsi yang pada akhirnya akan menjebloskannya ke bui dan alangkah malangnya, harus mengakhiri masa hayatnyapun di dalam bui.
Sebagai orang nomor satu untuk bidang hukum di Indonesia, Akil Muchtar telah tertangkap basah menerima uang dari seorang anggota DPR Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, seorang pengusaha asal Kalimantan Tengah, dan adik Gubernur Banten Tubagus Chaery Wardana serta beberapa tersangka lainnya.
Di era reformasi pada tahun 1998, Akil dirangkul untuk bergabung ke Partai Golkar oleh salah seorang gurunya. Lewat jalur politik inilah akhirnya Akil dapat menikmati kursi anggota DPR RI periode 1999-2004. Pada saat itu Akil Muchtar mewakili daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu dan memperoleh 85 persen suara. Akil Muchtar berhasil mendapat jatah menjadi anggota DPR RI di Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
Mempunyai rasa idealisme yang tinggi, di tahun 2008 Akil mencoba untuk mendaftarkan dirinya untuk menjadi calon Hakim Konstitusi. Bagi Akil Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga independen yang dianggapnya akan memberikannya banyak ruang untuk kebebasannya berpikir.
Saat itu Akil Muchtar berpendapat bahwa keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi tidak boleh lahir karena adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun termasuk opini publik. Ingatlah tanggung jawab terhadap sumpah dan Tuhan, demikian anggapannya. Setelah berhasil bergabung di Mahkamah Konstitusi, Akil menjadi terlibat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Hal inilah yang membuat nama Akil Muchtar menjadi bersinar.
Akil Muchtar berharap nantinya dalam hukum acara pembuktian yang bersifat khusus akan dapat mempercepat proses pemulihan kerugian negara dengan menjangkau aset terdakwa yang hasil korupsinya disembunyikan di negara lain. Sungguh ideal dan luhur niatnya pada saat itu.
Apa yang terjadi, karena rayuan dan iming-iming ‘nilai’ rupiah dan jabatan, rasa malu menjadi urutan paling buncit. KPK menangkap basah praktek ‘suap’ dibeberapa tempat dan termasuk di ruang kerja ketua Mahkamah Konstitusi. Tertangkap dan mengelak, itulah reaksi pertama Akil saat tertangkap KPK. Barang bukti didapat oleh KPK berupa sejumlah uang dengan nilai yang cukup menggiurkan Rp 7,2 miliar yang terbagi dalam Rp 3 miliar dalam bentuk dollar AS dan dollar Singapura yang didapat dalam operasi tangkap tangan di rumah dinas Akil Mochtar sendiri.
Penangkapan Akil oleh KPK ini berhubungan dengan pilkada Garut dan Gunung Mas. Ada pembicaraan ‘khusus’ untuk memenangkan perkara sebelum diputuskan didalam rapat permusyawaratan mahkamah. Sedikit me-review ke belakang, nama Akil Muchtar diusung oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang sebetulnya ada banyak kepentingan di dalamnya. Kepetingan siapakah yang dipertahankan tapi nasi sudah menjadi bubur.
Dr. H. Patrialis Akbar, SH, MH Pilihan Orang Nomor 1 yang Kandas
Sebagai orang yang ikut berpartisipasi dalam terbentuknya KPK, memang agak mencengangkan saat mengetahui Patrialis tertangkap KPK karena dugaan menerima suap yang berhubungan dengan materi Undang – Undang No. 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Jika dirunut sedikit ke belakang, Patrialis Akbar pernah dipercaya oleh Presiden SBY untuk menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang ke 28. Saat itu acungan jempol diberikan kepada Patrialis dari Wakil Presiden masa itu Boediono.
“Saya tidak akan berikan pujian yang terlalu banyak, tapi ini benar-benar suatu surprise bagi kita semua. Saya senang mendengar langkah dan jurus-jurus baru Menkum HAM,” ungkap Boediono saat itu.
Sepak terjang Patrialis pada masa itu memang banyak membuat rakyat tercengang dengan keikutsertaanya dalam menangani kasus pengajuan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) hingga ayat (5).
Pada saat itu Patrialis mencoba itu menghadapi gugatan yang dilakukan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), dimana mereka menuntut untuk dirubahnya pasal yang berkaitan dengan tindak perzinahan yaitu tidak hanya berlaku untuk pasangan yang sudah menikah, tetapi juga harus berlaku bagi pasangan yang belum menikah dan homoseksual.
Angkat topi untuk Patrialis oleh rakyat karena mendukung AILA, walaupun saat itu Komisi Nasional Perempuan menentang gagasan tersebut. Patrialis berpendapat bahwa zina yang dilakukan dasar suka sama suka dan tidak dikenakan pidana justru akan banyak merugikan kaum perempuan.
Jika dicermati dengan seksama dan melihat bagaimana idealisme Patrialis terhadap dunia hukumdi Indonesia sangat disayangkan jika akhirnya dia harus jatuh karena tawaran uang sebanyak USD 20.000 serta voucher sebesar SGD 200.000. Jumlah yang sangat fantastis.
Banyak opini masyarakat yang mengaitkan kasus Patrialis ini dengan parpol tertentu. Akan tetapi hal ini dibantah oleh Ketua MK Mahfud MD. Mahfud berharap masyarakat Indonesia tidak usah mengkait-kaitkan peristiwa Patrialis ini dengan agama maupun politik. Jadi, apakah benar-benar untuk memenuhi keuntungan kantong pribadi sajakah?
MK Indonesia Bisakah Berkaca Pada MK Tetangga
Dalam perbincangan sehari-hari sering terlontar pemikiran masyarakat yang sederhana, yaitu kira-kira apakah dimungkinkan Mahkamah Konstitusi Indonesia dapat mengadaptasi Mahkamah Konstitusi nya negara tetangga, seperti Thailand? Memang referensi kajian tentang Mahkamah Konstitusi negara Thailand masih sangat kurang.
Sebuah buku berjudul JCL Studies in Comparative Law No. 1 (2009) dengan tema Constitutional Courts: A Comparative Studies yang ditulis oleh Andrew Harding, Profesor Hukum Asia-Pasifik dari University of Victoria (Kanada) dan Peter Leyland, Profesor Hukum Publik dari London Metropolitan University (Inggris), terdapat sebuah tulisanberjudul“The Constitutional Courts of Thailand and Indonesia: Two Case Studies from South East Asia”.
Ada hal yang menarik ditemukan disini berkaitan dengan peran Mahkamah Konstitusi yaitu Indonesia dan Thailand sama-sama merupakan negara demokrasi yang sedang berkembang tetapi mempunyai sistem yang berbeda. Thailand menerapkan bentuk negara monarki konstitusional dengan sistem parlemen, sedangkan Indonesia menerapkan bentuk negara republik dengan sistem presidensiil.
Selanjutnya analisa yang diungkapkan oleh Harding dan Leyland adalah bahwa rata-rata para hakim dan sistem hukum yang berlaku di Thailand relatif mempunyai reputasi yang baik. Reputasi baik secara profesional maupun independen. Tentunya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.
Rakyat Thailand sangat mempercayai dan respek pada setiap keputusan yang diberikan oleh lembaga peradilannya saat terjadi kasus-kasus atau isu-isu yang krusial, bahkan rakyat juga ikut andil dalam penyusunan Konstitusi 2007. Disini jelas terlihat bahwa MK Thailand memberikan jaminan independensi, seperti otonomi terhadap pegawai, administrasi, dan anggaran di MK Thailand.
Di Thailand masa jabatan hakim konstitusi dibatasi selama sembilan tahun untuk satu periode saja. Agar tidak terjadi konflik kepentingan maka hakim konstitusi dilarang secara tegas dan keras untuk tidak diperbolehkan menduduki posisi apapun di pemerintahan, mempunyai kepentingan bisnis, ataupun keterikatan di dalam profesi apapun. Selain itu, politisi, hakim, dan anggota dari badan independen lainnya di bawah Konstitusi secara spesifik tidak dibolehkan untuk memegang jabatan di MK Thailand.
Jelas terlihat disini bahwa Thailand mempunyai aturan yang sangat ketat terhadap Lembaga Mahkamah Konstitusi nya. Berbeda dengan di Indonesia, dalam memilih Hakim MK haruslah melalui beberapa tingkat seleksi, seperti seleksi awal yang terdiri dari seleksi administrasi termasuk latar belakang calon dan karya tulis yang diajukan untuk melihat sejauh mana kompetensinya di bidang hukum dan konstitusi.
Memilih Calon Hakim MK Dari Kalangan Akademisi
Kasus-kasus ‘luar biasa’ di tubuh Mahkamah Konstitusi kita sebaiknya dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih Hakim Mahkamah Konstitusi. Memang dalam memilih Hakim MK haruslah merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam Undang-undang MK juga menyatakan bahwa pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif (Pasal 19) serta obyektif dan akuntabel (Pasal 20 ayat (2)).
Mengapa harus dari kalangan akademisi? Tentunya pemerintah ingin memperbaiki mutu serta kualitas dari Hakim Mahkamah Konstitusi. Hendaknya lembaga pemerintah seperti DPR, Pemerintah, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang mempunyai hajat untuk menyeleksi calon hakim dapat duduk bersama untuk mengambil suara untuk menentukan kriteria dan sistem seleksi seperti apa serta profil seperti apa untuk menjadi Hakim MK ini.
Jika Hakim MK dipilih dari kalangan akademisi diharapkan orang tersebut mempunyai pemikiran layaknya orang dengan ijasah Doktor ataupun Sarjana Magister dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum. Rasanya memang lebih aman seorang Hakim dari kalangan akademisi karena kecil kemungkinan para akademisi ini tergoda dengan ‘nilai rupiah’.
Harapan seluruh rakyat Indonesia adalah bahwa Hakim MK dapat menjadi Hakim seutuhnya tanpa ada beban kepentingan kalangan tertentu. Harusnya dengan gaji Hakim MK sebesar Rp 72 juta per bulan, berdasarkan Putusan Pemerintah (PP) No 55/2014 dan Ketua MK sebesar Rp 121 juta per bulan itu sudah merupakan nilai yang cukup.
Jadilah Hakim Dengan Hati
“Perilaku manusia mengalir dari tiga sumber utama: keinginan, emosi, dan pengetahuan.” (Plato)
Kursi Hakim Mahkamah Konstitusi saat ini sedang dalam incaran bagi mereka dengan masing-masing niatannya. Bagaimana nantinya nasib Mahkamah Konstitusi kita, semua akan kembali pada individu yang nantinya akan menjalankan amanah ini. Jangan lagi terulang cerita yang tidak mengenakan.
Ke 12 calon yang lolos seleksi awal ini dan siapapun nantinya yang akan lolos haruslah dapat menjadi seorang Hakim Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hati. Mempunyai pendidikan yang tinggi untuk menjadi hakim tentunya merupakan keharusan. Mempunyai keinginan untuk melakukan yang benar merupakan kewajiban. Mempunyai emosi untuk melawan yang salah adalah sebuah tekad bulat.
“Orang yang tepat untuk menjadi hakim MK tidak harus berasal dari negarawan tapi yang harus mempunyai potensi untuk menjadi negarawan”. (Jimly Asshiddiqie – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi).
(Berbagai sumber/I28)