“Orang-orang besar tidak mencapai kebesaran mereka karena keuntungan, namun karena kesempatan yang diberikan kepada mereka dan yang mereka bentuk sesuai dengan keinginan mereka” – Machiavelli.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]ita tentu ingat bagaimana pria itu mengabadikan acara makan siangnya bersama Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud lewat sebuah video blogging (vlog) beberapa waktu lalu – mungkin jadi presiden pertama yang membuat vlog bersama Raja Arab Saudi. Kita juga ingat bagaimana kelucuan-kelucuan yang diciptakan saat memberikan kuis dengan hadiah sepeda. Kita ingat aksi-aksi blusukannya. Kita tentu ingat dengan baju putih dan celana hitamnya itu.
Mungkin tidak ada yang membayangkan lelaki kurus yang berasal dari keluarga yang sederhana itu akan menjadi pemimpin sebuah negara besar seperti Indonesia. Tidak ada yang membayangkan gaya kepemimpinannya akan menjadi begitu berbeda – bagi kebanyakan orang disebut dengan istilah ‘lebih merakyat’. Tidak ada yang membayangkan, setelah hampir dua tahun menjadi gubernur Jakarta, pria yang dulunya bernama Mulyono ini akhirnya dipilih rakyat menjadi Presiden ke-7 Republik Indonesia.
Harus diakui, Presiden Joko Widodo adalah tokoh dengan sejuta pesona. Saat ini, Jokowi – begitu namanya biasa disingkat – mungkin menjadi orang paling populer di negara ini. Jokowi adalah trend center politik nasional saat ini. Jokowi seolah menjadi antitesis dari elit-elit politik yang ada di Indonesia. Kesederhanaan pribadinya dan ketegasan pola pikirnya juga membuatnya menjadi begitu populer. Karakternya itu seolah melahirkan paham baru: Jokowi-isme – kalau ingin disebut demikian.
Semua mata tertuju ke kota Solo ketika Jokowi menggunakan mobil Esemka – yang adalah buatan anak-anak SMK di Solo – sebagai kendaraan dinasnya. Semua mata tertuju ke Jakarta ketika Jokowi meluncurkan ‘Kartu-kartu Sakti’. Semua mata juga tertuju pada Jokowi saat ia dan program-program ekonominya diarahkan untuk mentransformasi Indonesia secara keseluruhan dan menciptakan pemerataan kesejahteraan.
Kartu Indonesia Pintar bantuan utk pendidikan. Jangan untuk beli pulsa ya. Nanti kartunya dicabut, kalau untuk jajan pulsa –Jkw pic.twitter.com/UdnnvVPMmL
— Joko Widodo (@jokowi) February 8, 2017
Belakangan ini, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi juga mengalami peningkatan. Survei dari CSIS pada September 2016 lalu menyebutkan ada kenaikan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi dari 50,6 % pada tahun 2015 menjadi 66,5 % pada tahun 2016. Hal ini tentu menjadi catatan positif bagi pemerintahan Jokowi.
Namun, dalam kesederhanaan dan gaya kepemimpinannya tersebut, tentu saja timbul pertanyaan: apakah semua hal yang menjadi political branding atau merk politik Jokowi merupakan sesuatu yang benar-benar melekat pada pribadi Jokowi ataukah hal ini merupakan strategi politik Jokowi menghadapi kerasnya konstelasi politik nasional di tingkat elit? Apakah Jokowi-isme yang dekat dengan rakyat merupakan sebuah produk politik Jokowi dan caranya untuk mengamankan kekuasaan?
Jokowi-isme: Gerakan Politik Rakyat?
Bagi kebanyakan pengamat politik, munculnya tokoh pemimpin baru seperti Jokowi di Indonesia atau Narendra Modi yang saat ini menjadi presiden India, merupakan gerakan politik kebaruan, khususnya di negara-negara berkembang. Narendra Modi awalnya adalah seorang penjual teh yang kemudian menjadi pemilik kedai teh, sementara Jokowi adalah seorang pengusaha kerajinan kayu.
Dua-duanya tidak punya karir politik mentereng, namun memiliki kesamaan: sama-sama berasal dari rakyat bawah, sama-sama memiliki karakter yang dekat dengan rakyat, sama-sama memiliki pesona yang diperkuat lewat kampanye media massa dan media sosial, memiliki cita-cita yang sama untuk memperbaiki kondisi negara dari korupsi, memperbaiki birokrasi yang semrawut, serta menyejahterakan seluruh masyarakat. Dua-duanya mungkin mewakili idealisme ‘siapa saja bisa menjadi presiden’.
Jokowi sendiri dianggap sebagai salah satu tokoh politik paling populer di Indonesia dalam setengah abad terakhir. Ia dianggap sebagai politisi yang tahu bagaimana nasib rakyat kecil – apalagi latar belakangnya sebagai orang kecil yang terpinggirkan, pernah mengalami rasanya digusur, dan mengalami hidup susah.
Bagi mayoritas masyarakat kecil di Indonesia, Jokowi mewakili gerakan politik identitas mereka: orang kecil yang terpinggirkan. Politik identitas itu sendiri merupakan istilah untuk menggambarkan gerakan politik yang didasarkan pada identitas seseorang, misalnya agama, kepentingan, status sosial, suku, dan lain sebagainya. (Baca: AADS (Ada Apa Dengan SARA)
Kemenangan Jokowi pada pemilihan presiden tahun 2014 merupakan kemenangan politik identitas rakyat kecil – kalau mau disebut demikian. Kemenangan Jokowi juga merupakan kemenangan gerakan politik kontra-elitis. Namun, apakah Jokowi memang benar-benar menjadi representasi masyarakat kelas bawah?
Jokowi-isme Melawan Oligarki
Oligarki merupakan sebuah sistem kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok kecil elit. Jeffrey A. Winters dalam bukunya “Oligarki” (2011) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam sejarahnya dikuasai oleh sekelompok elit yang disebutnya sebagai oligark. Bahkan, hingga saat ini, situasi sosial-politik negara ini sangat dipengaruhi oleh para elit politik atau oligark ini.
Di Indonesia, oligark adalah elit-elit politik – juga kelompok-kelompok yang punya modal ekonomi – yang ‘berhak’ untuk menentukan siapa saja yang ada dalam surat suara yang akan dicoblos masyarakat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bahkan tidak jarang, para oligark ini juga adalah mereka-mereka yang seringkali ada di dalam surat suara tersebut. Siapa saja mereka? Silahkan cari tahu sendiri – maksudnya tentu bukan ‘tahu’ yang biasa ada di penjual gorengan tentunya.
Kemunculan Jokowi yang notabene bukan berasal dari golongan oligark maupun elit politik tentu menimbulkan tanda tanya: apakah telah ada pergeseran dalam sistem politik di Indonesia yang oligarkis – seperti istilah Jeffrey Winters? Banyak isu yang kemudian menguat di seputaran kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 lalu bahwa dirinya hanyalah ‘boneka’ dari oligark politik di Indonesia. Menanggapi tudingan tersebut, Jokowi memberi jawaban:
“Saya ndak nanggapi yang seperti itu. Karena masyarakat sudah tidak bodoh, sudah pintar, bisa milah-milah yang benar”.
Maka, ketika menjadi presiden, pada awalnya Jokowi terlihat begitu kesulitan untuk berhadapan dengan elit-elit politik. Jokowi juga dinilai sebagai presiden paling lemah yang pernah memimpin Indonesia – jika dinilai dari latar belakang dan pengaruh politiknya. Kita tentu ingat bagaimana untuk beberapa lamanya tensi politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) begitu menyita energi politik nasional dan sempat menurunkan kepercayaan publik terhadap Jokowi.
Untuk menghadapi tekanan dari oligark-oligark politik tersebut, Jokowi menggunakan strategi politik yang oleh banyak pihak dinilai sebagai sesuatu yang berbeda. Pribadinya yang sederhana juga menjadi political branding yang kuat, ditambah aksi-aksinya yang dekat dengan rakyat, sering sekali turun ke lapangan – sesuatu yang sangat berbeda jika dibanding banyak pemimpin terdahulu – membuatnya menjadi media darling dan sering muncul di berbagai media massa. Hal ini membuat Jokowi menjadi tokoh yang sangat populer dan dicintai oleh masyarakat banyak. Jokowi menjadi begitu dekat dengan rakyat dan hal ini menjadi salah satu kekuatan terbesar yang dimilikinya.
Maka, tidak heran, Jokowi menjadi begitu percaya diri terhadap berbagai kebijakan yang akan diambilnya. Kita tentu masih ingat kasus pro-kontra pengangkatan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Jokowi akhirnya memilih untuk mendengarkan suara-suara rakyat, ketimbang mengikuti keinginan elit-elit politik. Kebaruan politik ala Jokowi juga tampak dalam strategi politiknya yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Pribadi Jokowi yang sederhana seolah menjadi antitesis semua persepsi masyarakat tentang elit politik.
Hal-hal tersebutlah yang membuat Jokowi merasa kuat secara politik dan tidak gentar saat menghadapi kerasnya politik di tingkat elit. Jokowi-isme seolah menjadi Jokowi-is-me, sebuah bentuk kampanye untuk memberikan dukungan terhadap Jokowi sebagai bagian dari masyarakat banyak.
Saat berhadapan dengan retorika politik elitis, Jokowi sering menggunakan slogan: “Kerja, Kerja, Kerja”, sebagai senjata utama untuk menghadapi tekanan tersebut – hal yang membuatnya menjadi populer di tingkat bawah.
“Saya ingin bercerita sedikit mengenai kondisi baik ekonomi, politik, dan lain-lain yang berada di negara kita. Tetapi lebih banyak ekonomi lah, saya nggak mau banyak cerita mengenai politik. Pusing”.
Begitulah kata-kata Jokowi ketika memberikan sambutan saat bertemu dengan masyarakat Indonesia yang berada di Sydney, Australia pada 26 Februari 2017 lalu. Politik memang bikin pusing, makanya Jokowi lebih sering menggunakan slogan ‘kerja’ sebagai lawan terhadap retorika politik. Kalau mau dilihat secara lebih dalam, hal ini sebetulnya adalah cara paling jitu – kalau mau disebut demikian – untuk menghadapi tekanan politik pada tingkat elit. Benarkah demikian?
Jokowi-isme: Copy-Paste Politik Xi Jinping di Tiongkok?
Tidak diragukan lagi bahwa saat Jokowi memimpin negara ini ada kedekatan yang sangat besar antara Indonesia dengan Tiongkok. Kita tentu masih ingat bagaimana kedekatan Jokowi dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping saat peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu.
Pada beberapa kesempatan di perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu, presiden Jokowi terlihat begitu akrab dengan Xi Jinping dan – boleh dibilang – sedikit mengabaikan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe. Terkait hal tersebut, beberapa kalangan bahkan menilai strategi politik domestik Jokowi merupakan copy-paste strategi politik domestik Xi Jinping. Benarkah demikian?
Jawabannya bisa dilihat dari beberapa pernyataan Jokowi yang dikeluarkannya beberapa waktu lalu. Jokowi mengatakan bahwa berawal dari kekagumannya pada pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pernah berada pada level di atas 10 %, ia kemudian meminta bocoran saran dari presiden Xi Jinping.
Jokowi menuturkan bahwa ia mendapatkan 3 resep utama untuk mengatasi persoalan politik dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dari Presiden Xi. Dua saran adalah di bidang ekonomi, yakni terkait rencana pembangunan jangka panjang, serta tidak menunda-nunda pembangunan infrastruktur, terutama yang berkaitan dengan interkonektivitas antardaerah. Jika mampu mengondisikan dua hal tersebut, maka pembangunan ekonomi Indonesia pasti akan maju.
Sementara saran lain yang diberikan Xi Jinping adalah mengenai pentingnya sinergi partai-partai politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Partai-partai harus memiliki tujuan yang sama, yakni memajukan negara. Hal ini penting agar persoalan politik tidak mengganggu aktivitas ekonomi dan pembangunan. Maka, manuver politik Jokowi beberapa waktu terakhir mulai memperlihatkan bagaimana Jokowi merangkul partai-partai politik untuk secara bersama-sama membangun negara. Saat ini hanya ada 2 partai – Gerindra dan PKS – yang menyatakan diri sebagai oposisi penuh di parlemen. Sementara 1 partai lainnya – Demokrat – tidak menyatakan sikap resminya.
Itupun, dengan Gerindra misalnya, Jokowi memiliki hubungan yang sangat baik yang dibuktikan lewat kunjungan-kunjungan dan aktivitasnya bersama Prabowo Subiyanto – tokoh yang menjadi rivalnya pada pemilihan presiden 2014 lalu. Apakah strategi ini berhasil? Perlu ada kajian yang lebih mendalam terkait masalah ini. Yang jelas, akhir-akhir ini, tidak banyak terdengar lagi kisruh yang frontal antara DPR dengan pemerintah: semuanya sepakat memperjuangkan kemajuan bangsa.
Strategi politik ini sejauh ini telah dijalankan dengan baik oleh Jokowi, walaupun dalam konteks lokal masih saja terdapat guncangan, misalnya dalam konteks pilkada DKI Jakarta. Yang jelas dari Jokowi sendiri mengatakan bahwa ia belajar dari Tiongkok, khususnya dari Presiden Xi Jinping, bagaimana mengelola berbagai potensi yang ada demi terwujudnya ekonomi yang menyejahterakan semua orang.
Jokowi-isme: Masa Depan Politik Kesejahteraan Indonesia
Niccolo Machiavelli mungkin dikenal sebagai pemikir yang agak ‘gila’. Namun, sebagai sebuah rasionalitas, pemikiran-pemikirannya merupakan realitas politik yang seringkali tak terbantahkan. Machiavelli pernah mengatakan bahwa seorang pemimpin atau politisi yang bijak akan lebih memilih untuk dekat kepada rakyat karena rakyat jauh lebih loyal, sementara elit yang jumlahnya lebih sedikit seringkali akan mudah berpindah. Sebagai seorang politisi, Jokowi tahu betul apa pentingnya dukungan rakyat bagi dirinya. Dukungan rakyat akan sangat menunjang kekuasaannya.
Jokowi-isme sangat menekankan pentinganya dukungan masyarakat. Dalam konteks elit, Jokowi-isme boleh jadi menerapkan apa yang diresepkan oleh Xi Jinping. Namun, kekuatan utama Jokowi-isme ini ada pada diri Jokowi sendiri sebagai pribadi yang sederhana dan teguh. Kita mungkin mengenal pribadinya lewat Esemka, blusukan, baju Kotak-kotak, istilah ‘presiden metal’, salam dua jari, kuis-kuis berhadiah sepeda, dan lain sebagainya. Dengan memahami Jokowi-isme, kita bisa tahu apa yang sebetulnya ada di dalam pikiran Presiden ke-7 Republik Indonesia ini.
“Pemimpin adalah ketegasan tanpa ragu”, dan “Dalam memimpin saya jadikan rakyat sebagai konsumen. Dan konsumen adalah raja”, mungkin merupakan dua kutipan kata-kata Jokowi yang paling menggambarkan Jokowi-isme. Jokowi sedang bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata. Bagi masyarakat banyak, Jokowi akan selalu dikenang dalam segala keunikan dan kesederhanaannya. Lalu, bagaimana nasib Jokowi-isme di pilpres 2019 nanti? Tunggu kelanjutannya! (S13)