Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa Jepang-lah yang akan mengerjakan proyek kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya. Keputusan ini menegaskan kembali dominasi investasi Jepang di Indonesia serta mengingatkan kembali adanya rivalitas yang sedang berlangsung antara Jepang dan Tiongkok dalam menanamkan investasinya di Indonesia. Lalu, seperti apa kita memaknai rivalitas Jepang-Tiongkok di Indonesia saat ini?
PinterPolitik.com
Keputusan pemerintah yang memilih Jepang bisa jadi merupakan “kompensasi” terhadap kekecewaan Jepang karena pada 2015 lalu pemerintah Indonesia menolak proposalnya dan lebih memilih Tiongkok dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Beberapa tahun ke belakang iklim investasi Indonesia memang diwarnai oleh rivalitas antara Jepang dan Tiongkok.
Rivalitas ini bersumber dari hubungan Jepang-Tiongkok yang memang penuh dengan pertikaian, baik karena faktor ekonomi, sejarah, maupun geopolitik.
Menghadapi kondisi tersebut, sejauh ini pemerintah Indonesia berusaha mengakomodir kepentingan kedua negara Asia Timur tersebut.
Salah satunya dengan cara membagi-bagi jatah proyek ataupun investasi, baik untuk Jepang maupun Tiongkok.
Strategi Indonesia
Konteks bagi-bagi proyek yang dilakukan pemerintah ini nampaknya merupakan strategi hedging alias pemagaran.
Menurut Ryan Yu-Lin Liou dan Philip Szue-Chin Hsu, hedging adalah strategi yang dilakukan suatu negara untuk memaksimalkan keuntungan yang diterimanya dengan menghindari komitmen yang terlalu besar ataupun keharusan untuk memilih hanya satu negara.
Dalam konteks Indonesia, hedging digunakan untuk menyeimbangkan pengaruh Jepang dan Tiongkok dalam hal investasi.
Tujuan utamanya agar Indonesia mendapatkan investasi dari kedua negara, bukan hanya dari satu negara saja.
Hedging ini menjadi penting mengingat di level internasional, Jepang dan Tiongkok sedang bersaing, sehingga jika Indonesia terlalu dekat ke Tiongkok misalnya, dikhawatirkan kedekatan tersebut akan merusak hubungan dengan Jepang.
Selain pertimbangan eksternal dalam menyeimbangkan dua raksasa asal Asia Timur ini, tidak menutup kemungkinan keputusan pemerintah untuk melakukan hedging juga berasal dari adanya stigma bahwa selama ini pemerintahan Jokowi terlau dekat dengan Tiongkok.
Bukan tanpa alasan, selama periode pertama kepemimpinannya, nilai investasi Tiongkok di Indonesia memang meningkat secara drastis.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment Tiongkok di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp 11 triliun di tahun 2014 menjadi sekitar Rp 33,4 triliun pada tahun 2018.
Pemerintah juga pernah secara khusus menawarkan 28 proyek ke Tiongkok dengan nilai total Rp 1.296 triliun, sesuatu yang tidak pernah ditawarkan kepada Jepang ataupun negara lain.
Pun sebelum Jepang diumumkan sebagai pemenang kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, tersiar kabar bahwa pemerintah berpotensi memberikan proyek ini kepada Tiongkok.
Namun, kelompok-kelompok yang memunculkan ataupun mempercayai stigma tersebut nampaknya harus berpikir ulang.
Jika melihat sejarah dan nilai investasi asing di Indonesia, termasuk lima tahun pertama kepemimpinan Jokowi, data secara jelas memperlihatkan bahwa Indonesia jauh lebih dekat dengan Jepang dibanding Tiongkok.
Kembali ke data BKPM, pada periode 2013-2018 Jepang menjadi investor asing terbesar kedua di Indonesia setelah Singapura.
Dalam jangka waktu enam tahun tersebut, nilai PMA asal Jepang di Indonesia menyentuh angka Rp 294,5 triliun sementara Tiongkok “hanya” setengahnya, yaitu Rp 138 triliun.
Sejarah kedekatan Indonesia-Jepang dalam sektor ekonomi sendiri tidak lepas dari Jepang yang memang sudah terlebih dahulu dekat dan berinvestasi di Indonesia sejak 1960-an.
Sementara investasi Tiongkok baru masuk secara masif satu dekade ke belakang, itu pun menghadapi beberapa hambatan.
Misalnya, adanya sentimen negatif masyarakat terhadap orang-orang keturunan Tiongkok, atau disebut juga sinophobia, khususnya sejak masa Orde Baru, serta adanya kekhawatiran bahwa investasi Tiongkok merupakan jebakan utang.
Dengan melihat strategi hedging dan sejarah investasi Jepang, pemberian proyek kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya ke Jepang juga bisa dimaknai sebagai usaha pemerintah untuk meyakinkan bahwa di tengah semakin besarnya investasi Tiongkok, Indonesia tidak meluapan “sekutu lamanya”.
Indonesia Butuh Tiongkok
Keterbukaan pemerintahan Jokowi terhadap investasi asal Tiongkok juga bisa dimaknai sebagai usaha untuk mengimbangi dominasi Jepang.
Disengaja atau tidak, Jokowi yang mendorong masuknya investasi Tiongkok membuat rivalitas Jepang-Tiongkok di Indonesia semakin tajam.
Jepang tidak lagi mendominasi dan harus memutar otak karena jika tidak puas dengan tawaran Jepang, pemerintah Indonesia memiliki alternatif investasi dari Tiongkok.
Kondisi ini pun – secara tidak langsung – diakui sebagai hal yang menguntungkan bagi Indonesia, salah satunya oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, persaingan Jepang-Tiongkok menguntungkan negara-negara Asia Tenggara karena kedua negara ini memiliki karakter produk yang berbeda.
Jepang terkenal dengan produknya yang berkualitas tinggi, namun memiliki harga yang mahal. Sementara produk-produk asal Tiongkok dikenal murah, namun kualitasnya masih berada di bawah produk Jepang.
Oleh karena itu, lanjut Sri Mulyani, agar dapat bersaing, Jepang akan berusaha menekan harga produknya, sementara Tiongkok akan berusaha meningkatkan kualitas produknya.
Dengan demikian Indonesia akan diuntungkan karena dapat memilih produk ataupun investasi mana yang dianggap paling menguntungkan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Malcolm Cook, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Menurutnya, rivalitas Jepang-Tiongkok menguntungkan bagi pertumbuhan eknomi dan otonomi negara-negara Asia Tenggara karena dua hal.
Pertama, kehadiran Tiongkok membuat Jepang meningkatkan anggaran bantuan luar negerinya, termasuk anggaran yang diberikan ke Asia Tenggara.
Kedua, agar negara-negara Asia Tenggara lebih memilihnya dibanding Tiongkok, Jepang mengubah beberapa persyaratan kerja samanya yang kemudian lebih menguntungkan negara-negara Asia Tenggara.
Tidak hanya di Indonesia, rivalitas Jepang-Tiongkok juga terjadi di negara lain.
Filipina misalnya, yang dalam pembangunan infrastruktur kereta apinya memberikan proyek jalur kereta utara kepada Jepang, sementara jalur selatan diberikan kepada Tiongkok.
Rivalitas juga terjadi di Afrika, di mana kedua negara sama-sama berusaha menarik hati negara-negara benua tersebut dengan karakter ataupun persyaratan investasinya masing-masing.
Meskipun kalah dalam proyek Jakarta-Surabaya, Tiongkok tidak menyerah begitu saja. Masih ada mega project lain yang diincar oleh Tiongkok seperti mobil listrik dan pemindahan ibu kota.
Namun, dalam proyek-proyek ini Tiongkok juga harus bersaing tidak hanya dengan Jepang, tetapi juga dengan negara lain.
Dalam program mobil listrik, Tiongkok akan bersaing dengan Jepang dan Korea Selatan.
Sementara dalam investasi ibu kota baru, Tiongkok juga harus bersaing dengan Rusia dan Singapura yang sudah menyatakan minatnya untuk membantu pendanaan ataupun investasi.
Terakhir, Tiongkok juga sedang menawarkan program sky train alias kereta layang kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur yang – menurut Gubernur Khofifah Indar Parawansa – tinggal menunggu persetujuan presiden.
Pada akhirnya, terlepas dari perdebatan yang ada, usaha pemerintah untuk terus mendorong investasi dari Tiongkok, mungkin sesuatu hal yang patut untuk diapresiasi.
Masuknya investasi Tiongkok dapat dimaknai sebagai usaha pemerintah untuk mengimbangi investasi dari Jepang, sekaligus membuat Jepang menawarkan investasi-investasi yang lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Dengan berbagai manfaat yang diberikan, pemerintah nampaknya harus terus mendorong sekaligus menyeimbangkan investasi dari Jepang maupun Tiongkok dengan tujuan akhir memanfaatkan sebaik-baiknya rivalitas Jepang-Tiongkok yang terus terjadi untuk manfaat ekonomi. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.