Di masa akhir jabatannya, MPR sepakat untuk membahas kembali penerapan GBHN. Pengadaan kembali GBHN merupakan bagian amendemen UUD 1945 dan disebut-sebut karena ingin kembali mewujudkan Ekonomi Pancasila. Namun, bagaimana apabila Ekonomi Pancasila ternyata hanya merupakan jargon politik atau semacam pendekatan normatif semata?
Pinterpolitik.com
Baru-baru ini, MPR sepakat untuk melakukan Amendemen Terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terkait penerapan sistem perencanaan pembangunan nasional dengan menerapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Secara implisit Zulhas – demikian sapaan akrabnya – menyebut bahwa GBHN adalah alat atau metode yang digunakan menuju Ekonomi Pancasila. Istilah Ekonomi Pancasila sendiri dipopulerkan oleh Profesor Mubyarto, Guru Besar Universitas Gadjah Mada.
Ekonomi Pancasila ini merupakan perwujudan sila kelima dalam Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lalu benarkah kembalinya GBHN akan membantu Indonesia membawa ekonominya ke arah yang lebih baik?
Sila Kelima Tidak Realistis?
Ekonomi Pancasila tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan representasi dari sila kelima Pancasila tersebut.
Membaca Pasal 33, terutama ayat 2, yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, oleh beberapa pihak disebut menegaskan bahwa Indonesia berbentuk negara kesejahteraan (welfare state) – sekalipun konsep ini masih lebih kompleks karena melibatkan tunjangan-tunjangan sosial yang tidak ada di Indonesia.
Yang jelas, berbeda dengan istilah “negara penjaga malam” atau Nachtwächterstaat yang hanya mengurusi militer, kepolisian, pengadilan untuk melindungi warganya dari agresi, pencurian, pelanggaran kontrak, penipuan, dan menegakkan hukum kepemilikan – negara kesejahteraan harus aktif terlibat dalam mengurus ekonomi rakyatnya.
Dalam kaitannya dengan Pancasila, persoalannya adalah bukan pada seberapa ideal sila kelima dan konteks negara kesejahteraan, melainkan seberapa baik sila tersebut dapat diimplementasikan.
Masalah mendasar dari implementasi sila tersebut adalah tidak mungkin dilakukan distribusi kekayaan yang merata pada seluruh rakyat Indonesia, katakanlah seperti yang disebutkan oleh Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.
Misalnya terkait bagaimana distribusi itu dilakukan, atau metode distribusi apa yang seharusnya dilakukan. Tidak mungkin suatu negara mendistribusi kekayaan dengan cara melakukan subsidi besar-besaran karena tentu akan membuat perekonomiannya kolaps.
Venezuela adalah contoh konkret dan terbaru dari persoalan ini. Subsidi berlebihan yang begitu memanjakan rakyat menjadi salah satu faktor penting mengapa ekonomi Venezuela hancur, sekalipun kebijakan itu membuat pemimpin negeri tersebut, Hugo Chavez dikenal sebagai pahlawan bagi orang-orang miskin.
Tentu pertanyaannya jika sila kelima itu tidak realistis untuk dilaksanakan, bagaimana mungkin UU turunannya menjadi realistis?
Pasal 33 UUD 1945 memang memperlihatkan konsep yang begitu ideal. Akan tetapi, suatu konsep yang menjadi landasan kebijakan publik tidak cukup dengan diuji konsistensi atau bentuk ideal dari idenya saja, melainkan juga harus diuji seberapa baik ide tersebut dapat diimplementasikan.
Trickle Down Effect sebagai Solusi?
Ketidakmungkinan subsidi besar-besaran – katakanlah jika ingin meniru Venezuela – adalah kemutlakan. Namun, apakah itu menjadi penghalang untuk merealisasikan sila kelima?
Pemerintah Orde Baru yang paling getol menyerukan implementasi Pancasila, melakukan kebijakan sentralisasi ekonomi – yang apabila kita bedah paradigma ekonominya merupakan bagian dari mazhab Trickle Down Effect.
Trickle Down Effect adalah mazhab dalam ekonomi yang memiliki asumsi bahwa pertumbuhan yang dihasilkan oleh pengusaha swasta akan dengan sendirinya “menetes ke bawah”, ke para pekerja.
Dengan demikian, dalam mazhab ini, pemerintah tidak memprioritaskan pemberian subsidi atau bantuan kepada rakyat kecil atau usaha mikro, melainkan kepada usaha makro yang lebih memberi sumbangan kepada laju perekonomian.
Ekonomi yang nantinya tumbuh dengan pesat, diharapkan dapat menetes atau ikut memberi pertumbuhan bagi pekerja, rakyat kecil, dan seterusnya.
Implementasi mazhab ini nampak dalam berbagai kebijakan ekonomi yang dilakukan. RM. A. B. Kusuma dalam buku Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiel “Orde Reformasi” (2011) menyebutkan bahwa pada era Presiden Soeharto terjadi konglomerasi dan subsidi besar kepada para konglomerat.
Pada tahun 1998, ketika terjadi krisis moneter, untuk menghindari kebangkrutan para pengusaha, pemerintah memutuskan untuk membebankan “bunga utang” para pengusaha pada APBN sebesar Rp 60 triliun.
Tidak hanya itu, utang konglomerat yang sebesar Rp 650 triliun rupiah beserta bunganya itu diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menanggungnya, yang diperkirakan baru lunas pada tahun 2030. Peristiwa ini dikenal sebagai diubahnya private debt (utang pribadi) menjadi public debt (utang publik).
Lalu, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya pada tahun 2005, Boediono yang menjabat Menko Perekonomian pada saat itu, mengurangi subsidi petani tebu dan padi, tetapi tetap mensubsidi perbankan dengan jumlah sekitar Rp 45 trilliun untuk menciptakan efisiensi.
Sementara pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pembebasan pajak penghasilan (PPh) selama periode tertentu (tax holiday). Insentif tax holiday ini setidaknya telah membuat masuknya investasi senilai Rp 210,8 triliun sejak diterapkan.
Tax holiday merupakan subsidi secara tidak langsung. Itu ibarat pemerintah mensubsidi para investor terkait pajak yang seharusnya mereka bayar.
Ketiga contoh kebijakan ekonomi di tiga era tersebut memperlihatkan bagaimana mazhab Trickle Down Effect menjadi paradigma yang digunakan. Ketiganya memperlihatkan pola yang sama, yaitu mensubsidi konglomerat atau pengusaha.
Pada kenyataannya, mazhab ini juga tidak membuahkan hasil. Yang terjadi justru hanya akumulasi kekayaan bagi para konglomerat dan pengusaha.
Memang pemerintah mengatur regulasi terkait dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat lokal. Tetapi, dana itu tidak dapat dibandingkan, dan nyatanya memang tidak membuat masyarakat lokal yang diberikan dana menjadi sejahtera.
Justru di banyak kasus, pabrik-pabrik yang diharapkan mengangkat perekonomian rakyat lokal misalnya, malah merusak lingkungan atau memberikan dampak negatif.
Hanya Jargon?
Zulkifli Hasan tentu tidak sembarangan dalam menyebut Ekonomi Pancasila ketika menyinggung pengadaan kembali GBHN. Akan tetapi, Ekonomi Pancasila sepertinya bukan ditujukan sebagai kebijakan publik seperti dalam benak kita, melainkan hanya sebagai jargon politik.
Sampai saat ini, Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan implementasi sila kelima adalah pasal yang paling sulit untuk terealisasi. Tentu itu bukan tanpa alasan. Profesor Mubyarto yang mempopulerkan konsep tersebut bahkan ditertawakan banyak kalangan karena dinilai terlalu normatif.
Sila kelima seharusnya tidak dipahami secara denotatif, melainkan secara hermeneutis. Maksudnya, sila itu harus disadari memang tidak akan mungkin untuk terealisasi, sehingga harus diterapkan sebagai semacam guide atau ideologi.
Negara kesejahteraan memang harus aktif dalam memastikan kemakmuran rakyatnya, tetapi sama halnya dengan sila kelima, sebenarnya konsep itu hanya sebagai prinsip normatif.
Konsep normatif semacam itu justru telah membebani negara dengan tuntutan yang melebihi kapasitasnya. Hal ini membuat rakyat selalu merasa tidak puas dan merasa negara sebagai evil.
Lantas, apakah Ekonomi Pancasila harus diganti atau disingkirkan? Tentu tidak, sebab itu sama saja dengan menyebut Pancasila harus digantikan. Persoalannya adalah masyarakat belum mampu dengan jernih membedakan terkait mana hal yang normatif dan mana yang implementatif.
Ekonomi Pancasila itu penting dipertahankan, bukan karena merupakan sistem ekonomi yang mumpuni, melainkan karena menjadi nilai normatif yang mumpuni.
Ekonomi Pancasila merupakan apa yang disebut sebagai “kehendak umum” dalam politik. Nilainya yang sangat normatif menjadi perwujudan ideal kolektif masyarakat. Pemikir asal Jerman, Carl Schmit menyebut kehendak umum ini sebagai pendekatan normatif terhadap konstitusi.
Pada akhirnya, entah apa tujuan Zulkifli Hasan dan para pendukung kembalinya GBHN membawa wacana Ekonomi Pancasila ini ke hadapan publik. (R53)