HomeNalar PolitikGood Bye Jonan, Welcome Arcandra?

Good Bye Jonan, Welcome Arcandra?

Wacana siapa yang akan menduduki puncak Kementerian ESDM di periode kedua kekuasaan Jokowi kini menjadi salah satu perdebatan seru. Pasalnya, kursi menteri yang satu ini menjadi incaran banyak partai dan elite politik, bahkan termasuk Prabowo Subianto. Setelah dua Menteri ESDM sebelumnya ditengarai cenderung dekat dengan elite politik tertentu, Jokowi disebut-sebut sedang berupaya mendudukkan orang pilihannya sendiri di kursi tersebut. Saat itulah nama Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar muncul ke puncak perdebatan.


PinterPolitik.com

“You gain strength, courage, and confidence by every experience in which you really stop to look fear in the face”.

:: Eleanor Roosevelt ::

Kursi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini menjadi salah satu pos paling panas dan diincar oleh banyak kubu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Ignasius Jonan yang saat ini menduduki kursi tersebut besar kemungkinan tak akan lagi dipertahankan.

Selain karena beberapa isu di sektor energi, teguran Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tingginya impor migas, hingga yang terbaru terkait persoalan mati lampu yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu – yang disebut-sebut berkaitan dengan kerja supervisi Kementerian ESDM – membuat kursi Jonan menjadi semakin panas.

Citra Jonan memang tak buruk, berbekal keberhasilan dirinya dan Menteri BUMN Rini Soemarno mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Namun, pertautan kepentingan yang ada di balik kursi Menteri ESDM masih terus terjadi karena menjadi salah satu pos menteri yang sangat strategis.

Wacana terbaru yang muncul adalah terkait kemungkinan Jokowi menempatkan sosok pilihannya di kursi menteri tersebut. Hal inilah yang membuat nama Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mencuat ke permukaan dan disebut-sebut berpotensi menjadi kandidat yang bisa saja akan dipilih Jokowi menjadi Menteri ESDM. Sang presiden memang untuk waktu yang lama sudah mengincar Arcandra untuk posisi tersebut.

Namun karena persoalan kewarganegaraannya yang dianggap ganda – di mana Arcandra juga berpaspor Amerika Serikat – akhirnya membuatnya hanya ditempatkan sebagai Wakil Menteri ESDM, jabatan yang tidak ada saat Sudirman Said sebagai menteri terdahulu memimpin kementerian tersebut.

Tak heran banyak yang menyebutkan bahwa posisi Wakil Menteri ESDM “sengaja” diadakan Jokowi agar Arcandra tetap ada dalam pemerintahannya.

Bahkan, kini, beberapa pihak menyebutkan bahwa tak ada halangan lagi bagi Jokowi jika ingin mengangkat Arcandra menjadi menteri ESDM. Hal ini salah satunya disampaikan oleh Peneliti LIPI Siti Zuhro.

Menurutnya, persoalan double citizenship Arcandra telah selesai, sehingga keputusan untuk mengangkat yang bersangkutan menjadi Menteri ESDM ada di tangan Jokowi sepenuhnya.

Persoalannya tinggal berani atau tidak Jokowi menghadapi tekanan yang akan muncul jika hal tersbut diambil. Selain itu, kursi Menteri ESDM adalah incaran beberapa elite besar – termasuk Prabowo Subianto, jika wacana kumpul kebo alias “kumbo” benar-benar terjadi. Beranikah Jokowi menunjuk sang menteri pilihannya itu?

Arcandra, Pilihan Jokowi (Lagi)?

Kritik terbuka atas tingginya impor migas yang disampaikan Jokowi pada Jonan dan Rini setidaknya menggambarkan visi energi Jokowi yang ingin mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan gas.

Jokowi misalnya pernah meminta agar Indonesia juga harus mampu mengekspor produk migas, misalnya untuk komoditas avtur. Menariknya, salah satu yang mengiyakan keinginan Jokowi tersebut adalah Arcandra.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia bisa mengekspor bahan bakar pesawat tersebut. Walaupun terkesan kebetulan, namun boleh jadi memang ada kesamaan visi di sektor energi antara Jokowi dengan sang wamen.

Kesamaan visi dan rekam jejak Arcandra yang malang melintang di dunia migas memang menjadi salah satu alasan Jokowi sepertinya “ngebet” untuk menjadikan pria yang lahir dan tumbuh besar di Padang, Sumatra Barat itu sebagai Menteri ESDM pasca lengsernya Sudirman Said kala itu, sekalipun jabatannya harus berakhir hanya dalam waktu 20 hari.

Lulusan dari jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Texas A&M University Ocean Engineering ini bisa dianggap sebagai salah satu putra terbaik Indonesia di bidang migas. Ia mengawali karirnya sebagai Asisten Peneliti Offshore Technology Research Center selama empat tahun, lalu menjadi Technical Advisor Noble Denton, hingga Principal Horton Wilson Deepwater pada 2009-2013 lalu.

Setidaknya Arcandra telah malang melintang di sektor energi dan telah 20 tahun menetap di Amerika Serikat dan menjadi Presiden Petroneering, perusahaan konsultan dan pengembangan teknologi pengeboran minyak lepas pantai.

Untuk ukuran seorang profesional, kehidupan dan posisi yang berhasil diraihnya adalah dambaan banyak orang. Dari sisi penghasilan pun sepertinya jabatan-jabatan itu tak akan sebanding dengan yang didapatkan jika ia menjadi Menteri ESDM, apalagi Wakil Menteri ESDM.  Ia juga dikenal karena memiliki beberapa paten atas namanya.

Setelah hanya 20 hari menjabat sebagai menteri akibat polemik status kewarganegaraan ganda, kini Arcandra sepertinya tak akan menemui halangan berarti untuk menjabat sebagai Menteri ESDM di kabinet baru. Ia telah memberikan klarifikasi bahwa kewarganegaraannya telah dikembalikan.

Selain itu, di kabinet periode pertama, Jokowi memang sangat “terkekang” keinginan partai-partai dan patron-patron politik yang ada di belakangnya untuk menentukan pilihan yang akan menduduki kursi menteri.

Konteks ini ingin dilawan Jokowi di periode kedua kekuasaanya untuk menciptakan apa yang disebut sebagai power presidency – hal yang dibahasakan secara sederhana oleh sang presiden lewat kata-kata “tak ada beban”.

Penguatan posisi presiden ini pernah dilakukan oleh Presiden AS Andrew Jackson (1767-1845), ketika ia harus berhadapan dengan Kongres – dan bahkan termasuk dengan wakil presidennya sendiri – yang berbeda pandangan dengan dirinya.

Power Presidency di Sektor Energi

Dwight G. Anderson dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa legitimasi seorang presiden tidak hanya berasal dari konstitusi semata, tetapi juga dari kekuatan politik dirinya sendiri. Kekuatan politik tersebut bisa dilihat dari hal-hal yang normatif, kultural maupun hal-hal yang behavioral atau lahir dari sikap dan pandangan-pandangan politiknya.

Jokowi secara normatif memang tak begitu kuat. Ia bukan ketua umum sebuah partai politik, pun tak memiliki rekam jejak di militer. Artinya, kekuatan politiknya akan terlihat dari sikap politik dan kebijakan yang akan diambil.

Pernyataannya yang menyebutkan akan membatasi kursi menteri dari kalangan parpol hanya 45 persen merupakan salah satu cara Jokowi menunjukkan kekuatan kepresidenannya dalam konteks sikap dan pandangan-pandangan politiknya, selain juga jaminan konstitusional posisinya sebagai pemenang Pilpres 2019.

Power presidency ini juga ditunjukkan ketika Jokowi menolak ide amendemen UUD 1945 yang dimotori oleh partai pengusung utamanya sendiri, PDIP. Ia juga tampak tak terlalu mengindahkan permintaan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait jatah kursi menteri yang harus lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya.

Besar kemungkinan, hal ini pula yang  akan dilakukannya di sektor Kementerian ESDM. Jokowi berpotensi akan memilih sendiri Menteri ESDM yang ia sukai. Pada titik ini, sosok Arcandra adalah salah satu yang besar kemungkinan akan menjadi labuhan telunjuk Jokowi.

Apalagi, sosok-sosok Menteri ESDM sebelum-sebelumnya cenderung punya pertalian dengan patron politik tertentu. Sudirman Said misalnya, dianggap sebagai orang yang dekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sementara Ignasius Jonan yang kini menjabat dianggap sebagai orang yang dekat dengan Megawati Soekarnoputri.

Artinya, Jokowi akan mendapatkan tantangan untuk benar-benar independen menentukan orang pilihannya di kursi Menteri ESDM.

Belum lagi jika kumbo politik dengan Prabowo Subianto benar-benar terwujud, maka kursi Menteri ESDM juga disebut-sebut diincar oleh mantan Danjen Kopassus tersebut, mungkin dengan menempatkan orang pilihannya.

Beberapa sumber lain juga memang menyinggung sosok dari parpol, misalnya politisi Partai Golkar Satya Wira Yudha untuk posisi Menteri ESDM tersebut. Namun, Jokowi tampaknya tak akan memberikan kursi tersebut kepada orang dari parpol, apalagi jika ia ingin punya power yang lebih di sektor energi.

Apa pun itu, seperti kata Eleanor Roosevelt di awal tulisan, keberanian memang harus ditunjukkan dari wajah yang tidak lagi menampilkan rasa takut. Setidaknya, Jokowi telah menunjukkan hal tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.