Kemenangan film Moonlight yang meraih piala Oscar sebagai Film Terbaik di ajang Academy Award 2017, disambut gembira banyak pihak. Film yang berkisah tentang kehidupan seorang pria homoseksual berkulit hitam ini, dipuji sebagai film yang mampu membuka wawasan masyarakat atas apa yang dirasakan tokoh utamanya.
PinterPolitik.com
“Suatu hari nanti, kamu harus memutuskan sendiri akan menjadi apa dirimu saat besar nanti. Jangan biarkan seorang pun yang menentukannya untukmu.” ~ Juan.
Kutipan di atas merupakan salah satu dialog Juan dengan seorang anak kecil yang menjadi peran sentral dalam film Moonlight, Chiron. Di ajang Academy Award ke 89 yang berlangsung 26 Februari lalu, Moonlight mendapatkan piala Oscar dan menjadikannya film bertema lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) pertama yang memenangkan kategori Film Terbaik Academy Awards.
Dalam sebuah wawancara, sutradara Moonlight Barry Jenkins mengakui kalau di film ini ada sedikit bagian yang merupakan cermin dari kehidupannya. Seperti juga Chiron, Jenkins dibesarkan oleh ibu yang kecanduan alkohol dan dari keluarga kurang mampu. Walaupun ia bukan homoseksual seperti Chiron, namun sedikit banyak, kehidupannya pun melalui fase yang sama.
“Saya tidak bisa menghindar dari keterlibatan emosi di film itu, tapi saya selalu berusaha memberikan batasan pada diri saya. Saya tidak tertarik untuk mempermasalahkan LGBT, saya juga tidak peduli dengan maskulinitas saya,” kata Jenkins mengenai kuatnya emosi yang tergambar di film besutan keduanya itu.
Sementara menurut penulis skenario Tarell Alvin McCraney, film ini ia tulis secara spesifik untuk memberi gambaran seutuhnya mengenai apa terjadi di kehidupan nyata. “Masih ada homofobia di sini, juga misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan anti-feminis yang menyebar. Untuk melawannya, kita harus berhati-hati dan membiarkan masyarakat untuk menilai serta memahaminya sendiri,” papar McCraney yang juga meraih piala Oscar untuk kategori Naskah Adaptasi Terbaik.
Kaum Tersingkirkan
“Tetap menunduk Chiron!”
Itu adalah permintaan Kevin saat terpaksa memukuli Chiron untuk menunjukkan kalau ia sama jagoannya dengan teman-temannya. Walau Kevin tidak tega, namun ia tetap memukuli Chiron. Itulah mengapa ia meminta Chiron untuk menunduk, sehingga ia tidak harus memukulinya lagi. Namun Chiron tetap berdiri dan hanya bisa jatuh saat dikeroyok tiga orang secara beramai-ramai.
Kekerasan kerap dipilih sebagai pernyataan atas penolakan yang harus diterima oleh kaum LGBT, bahkan di Indonesia pun hal ini kerap terjadi. Terkadang, kekerasan yang dilakukan menggunakan dalih agama untuk membenarkan tindakan tersebut. Berdasarkan data Arus Pelangi, organisasi yang menaungi kelompok LGBT di Indonesia, tingkat diskriminasi dan kekerasan memang sangat tinggi terhadap individu LGBT.
Dari hasil penelitian, tercatat 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan, 79,1 persen dalam bentuk kekerasan psikis, 46,3 persen dalam bentuk kekerasan fisik, 26,3 persen kekerasan ekonomi, 45,1 persen kekerasan seksual, dan 63,3 persen kekerasan budaya. Sementara, hampir separuh (49 persen) dari semua transperempuan (waria) pernah mengalami kekerasan seksual.
Penolakan melalui kekerasan, juga kerap dilakukan secara massal, salah satu contohnya adalah upaya penutupan Pesantren Waria Al Fattah di Yogyakarta. Sekelompok orang yang tidak suka, sengaja merusak dan menutup bangunan pesantren, serta mengusir para santri waria di sana. “Padahal, kami di sini hanya ingin belajar mengaji,” kata salah seorang santri waria, mengenai upaya penutupan pesantren yang berdiri 8 Juli 2008 ini.
Kekerasan yang dilakukan secara berkelompok juga terjadi pada kaum Bissu di Sulawesi, saat pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Mudzakar. Kala itu banyak sekali Bissu-bissu yang dibunuh dan dipaksa menjadi laki-laki ‘sejati’ sesuai dengan ajaran agama. Seiring perkembangan zaman, tidak sedikit juga kaum Bissu yang memilih untuk melepaskan kesakralannya.
Belakangan, penolakan keberadaan kaum LGBT pun sudah masuk ke dalam ranah hukum. Sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Mei 2016 lalu mendaftarkan uji material pasal 284 (perzinahan), 285 (perkosaan) dan 292 (pencabulan sejenis orang dewasa terhadap anak) KUHP ke Mahkamah Konstitusi. AILA menginginkan agar ada perluasan makna terhadap masing-masing pasal tersebut.
Mereka ingin agar pidana perzinahan tidak lagi terbatas kepada hubungan seksual pasangan yang sudah menikah saja, tapi juga menyasar pada pasangan tidak menikah. Pidana pencabulan juga diperluas maknanya dengan membidik hubungan seksual sejenis sesama orang dewasa. Para anggota AILA melihat, maraknya LGBT di tanah air merupakan pengaruh dari negara luar, khususnya Barat.
Ironisnya, Patrialis Akbar yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan terkesan mendukung aksi kelompok ini, belakangan malah tersandung kasus bersama seorang perempuan yang bukan istrinya. Ini memperlihatkan, kekerasan bisa terjadi di ranah manapun. Bahkan pelaku kekerasan sebagian besar adalah para aparat keamanan, politisi, bahkan penegak hukum.
Sejarah LGBT di Barat
Pada tahun 1869, Dr. K.M. Kertbeny yang berkebangsaan Jerman-Hongaria menciptakan istilah homoseks atau homoseksualitas. Homo berasal dari kata Yunani yang berarti sama, dan seks berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan penyimpangan kebiasaan seksual seseorang yang menyukai jenisnya sendiri, misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita.
Istilah peyimpangan seksualitas itu sendiri sebenarnya masih bisa diperdebatkan, ini terbukti dari ditemukan adanya gambar-gambar pra-sejarah tentang hubungan gay yang terdapat di Gua Val Camonica, Italia. Menurut para ahli, di masa itu perempuan bukan dianggap sebuah obyek seks seperti sekarang ini. Beratus-ratus tahun sebelum masehi, perempuan ternyata sangat dihormati karena dianggap sebagai “Pencipta kehidupan”.
Bahkan dalam catatan sejarah bangsa Sumerian, dikisahkan bahwa jabatan imam pemimpin upacara keagamaan haruslah seorang gay, karena seorang imam tidak boleh berhubungan dengan perempuan. Sementara sebutan Assinu bagi imam Sumerian tersebut, bila diterjemahkan berarti pria yang memiliki rahim.
Di Mesir pada tahun 1380 sebelum masehi (SM), muncul seorang raja yang konon tidak mempunyai jenis kelamin yang jelas, bernama Ikhnaton. Pada masa pemerintahannya, Ikhnaton mengubah dewa yang harus disembah rakyat Mesir, yaitu dewa yang memiliki dua kelamin, Alton.
Masa-masa kejayaan homoseksual, terjadi pada tahun 700-600 SM di Yunani. Di balik kisah keperkasaan para prajurit Yunani dan dewa perangnya, kota di negeri itu juga dipenuhi dengan tempat-tempat bagi para pria untuk merawat diri dengan memotong rambut, mencukur kumis atau jenggotnya. Pada masa itu, pria Yunani lebih memuja lekuk tubuh pria, lebih daripada lekuk tubuh wanita.
Bahkan di tempat ideologi dunia lahir ini, para filsuf terkenal dan legendarisnya pun gay; seperti Plato dan Socrates. Ini terbukti dari pernyataan Plato, “Hubungan cinta antara dua pria memiliki nilai jauh lebih tinggi, daripada pria dan wanita” serta ucapan Socrates yang mengatakan “Hubungan yang mulia adalah bila hubungan itu tidak menghasilkan keturunan”. Konon, sejarah mencatat kalau kekasih pria Socrates bernama Alcibiades.
LGBT di Indonesia
Di Indonesia sendiri, homoseksualitas telah ada sejak sebelum masuknya Islam maupun Kristen di tanah air. Salah satu yang keberadaannya masih dapat dijumpai adalah di Sulawesi Selatan. Saat kepercayaan animisme masih dipegang kuat oleh bangsa Bugis, kaum homoseksual memiliki kedudukan terhormat, yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Mereka menyebutnya sebagai Bissu.
Sebelum ajaran Islam masuk ke Sulawesi di awal abad XVII, Bissu berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, dan pertanian. Dalam upacara adat itu, mereka akan menarikan Tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan dan diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat.
Pada akhir tahun 1960, sebenarnya homoseksual sudah ‘diterima’ masyarakat saat lahirnya organisasi waria pertama di Indonesia, Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) dan didukung Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Namun penggunaan istilah wadam (wanita-adam) kemudian mendulang protes karena kelompok agama tidak setuju nama Adam yang ada dalam kitab suci digunakan oleh kelompok transgender.
Begitu juga di awal 1980-an, saat terjadi pernikahan antara dua orang perempuan, bernama Jossie dan Bonnie – perempuan lesbian pertama yang menyatakan pernikahannya secara publik. Menurut Majalah Tempo terbitan 30 Mei 1981, Jossie yang saat itu berusia 25 tahun, terlihat tampan dengan kemeja dan dasi berwarna merah. Sedang pasangannya, Bonnie yang tiga tahun lebih muda, terlihat cantik dalam balutan gaun berwarna merah.
Bangkitnya Gerakan LGBT di Barat
Di tahun 1960-an, kaum LGBT di hampir seluruh Eropa, secara tegas menuntut kesamaan hak dengan warga negara lainnya tanpa membedakan orientasi seksual. Di Amsterdam pada 4 Mei 1970, Aksi Kelompok Gay Muda Amsterdam atau Amsterdamse Jongeren Aktiegroep Homoseksualiteit melakukan aksi peringatan nasional untuk para korban meninggal akibat kekerasan yang dialami korban homoseksual.
Pada Mei 1979, tercetus ide dari anggota Center for Culture and Recreation yaitu organisasi lesbian pertama di Amsterdam di tahun 1946, untuk mendirikan sebuah monumen peringatan bagi kaum homoseksual. Pendirian ini bekerjasama dengan kelompok gay dari Partai Sosialist Pasifist (The Gay Group of The Pacifist Socialist Party). Ide ini mendapat dukungan dari kelompok gay dan lesbian, baik dari individu maupun kelompok yang terdiri dari berbagai grup lesbian dan gay internasional.
Namun ternyata tidak semua orang setuju dengan istilah LGBT ketika itu, contohnya ada yang berpendapat bahwa pergerakan transgender dan transeksual tidak sama dengan lesbian, gay, dan biseksual (LGB). Seorang Psikiatri Ilmu Kejiwaan berpendapat, heteroseksualitas maupun homoseksualitas adalah bentuk norma, sementara ‘biseksualitas’ adalah kondisi normal manusia yang ditolak masyarakat.
Stigma dan Stereotype Masyarakat
Little: (polos) Apa itu banci?
Juan: Banci itu… kata yang biasa digunakan untuk membuat seorang gay merasa terhina.
Little: Apa aku banci?
Juan: Bukan. Kamu bukan banci. Kamu bisa saja seorang gay, tapi jangan biarkan orang lain memanggilmu banci.
Kata banci merupakan kata hinaan bagi seorang pria yang penampilan dan tingkah lakunya lemah lembut. Kata ini telah menjadi stigma yang kuat di dalam masyarakat, akibat adanya stereotype bahwa seorang laki-laki harus bersikap maskulin, seperti harus terlihat gagah, tidak mengenal rasa takut, dan tidak boleh menangis.
Stereotype ini sangat berbeda berbeda dengan kepribadian Chiron yang saat masih anak-anak di panggil Little. Karena ia hanya memiliki figur ibu di rumah, Little tumbuh menjadi anak yang pendiam, perasa, dan introvert. Berbeda dengan anak-anak berkulit hitam lainnya yang ingin terkesan ‘jagoan’ dengan mengganggu orang lain, Little cenderung menghindari masalah.
“Terlahir sebagai anak lelaki berkulit hitam, kita dipaksa untuk menjadi orang yang kuat, lebih maskulin dan dominan, serta selalu terlibat perkelahian kapan saja. Harapan itu sudah melekat dengan sendirinya, sehingga tidak boleh ada sedikitpun pemikiran kalau kita punya kelemahan di mata orang lainnya,” kata Jenkins menjelaskan mengapa Little yang enggan berkelahi malah menjadi sasaran kekerasan teman-temannya.
Stereotype mengenai maskulinitas tak hanya berlaku dalam lingkungan pergaulan di luar rumah, di dalam rumah pun, stigma ini berlaku. Salah satu contoh adalah apa yang pernah terjadi pada Kanza Vina dari Sanggar Swara yang terpaksa lari dari rumah. Sebagai seorang transgender, ia tak hanya mendapat penolakan dari teman sepergaulan tapi juga dari orangtuanya. Bahkan, para pengajar di sekolahnya pun mengolok-oloknya sebagai kaum Luth.
Stigma mengenai homoseksualitas memang bukan hanya berada pada ranah gender, tapi juga menyangkut pada agama. Dalam Islam, kisah mengenai sebuah kaum yang lebih suka berhubungan badan dengan sesama jenis di era Nabi Luth, dikenal sebagai Kaum Sodom. Sedangkan pada Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, dikenal sebagai Gomora yang ada pada era Lot.
Ketiga kitab suci ini sama-sama mengisahkan kalau hubungan sejenis tersebut merupakan dosa besar, sehingga Allah memutuskan malaikat untuk membumihanguskan kota Sodom/Gomora beserta seluruh penduduknya yang zalim. “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, maka kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” – Alquran Surah Al-Araaf (7:80-84) dan Kitab Perjanjian Baru surat Kejadian (19:27-29).
Meski begitu, tafsir mengenai mengapa Allah memberi azab kepada kaum Sodom/Gomora sendiri masih bisa diperdebatkan. Menurut Peneliti di Yayasan Wakaf Paramadina Mun’im A. Sirry, bila ditelaah kembali kisah keseluruhan dari azab Allah tersebut adalah karena penduduk Sodom/Gomora dilaknat atas perzinahan atau melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan para pendatang di kota itu. Sementara mereka enggan menggauli istri yang dinikahi secara sah. Sehingga menurut Mun’im, azab tersebut diberikan karena perzinahan yang dilakukan hampir seluruh penduduk kota, bukan dari masalah jender pasangan seksualnya.
Dukungan HAM dan Solidaritas Kelompok
Kevin: Apa yang membuatmu menangis?
Chiron: Aku mungkin sudah terlalu sering menangis. Terkadang, aku merasa ingin melebur menjadi butiran tangis itu sendiri.
Kevin: Tapi kamu hanya akan mengalir bersama air kan? Mengalir bersama air seperti para preman sok jagoan yang berusaha menyembunyikan kesedihan mereka.
Stigma dan agama yang diagungkan masyarakat, membuat Chiron maupun Kevin harus ‘bersembunyi’ dari dirinya sendiri. Menjadi orang lain bertahun-tahun, diakui Chiron sebagai sebuah beban yang begitu berat, sehingga membuatnya ingin terus menangisi kehidupan. Hanya pada Kevin ia bisa menjadi dirinya sendiri, karena yang ia inginkan hanyalah untuk dicintai, dikasihi.
Di luar dari berbagai stigma dan pandangan agama, kita harus mengakui kalau kaum LGBT telah ada di masyarakat sejak dahulu. Bagaimana pun penolakan yang dilakukan, tidak dapat membuat kaum LGBT berubah drastis. Beberapa psikolog klinis yang cenderung berpandangan agamis, menyatakan kalau LGBT dapat disembuhkan. Namun sayangnya, hingga saat ini pernyataan tersebut masih belum dapat dibuktikan.
Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan organisasi dan gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan perlindungan HAM kelompok LGBT. “Gerakan masyarakat sipil tersebut bermula dari kesadaran adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT. Kekerasan tersebut masih berlangsung hingga saat ini,” ujar pegiat HAM dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati.
Gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak kelompok LGBT sudah muncul sekitar tahun 1980-an di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Saat itu beberapa organisasi yang ada lebih banyak bergerak di lingkup kesehatan dan HIV/AIDS. Kemudian memasuki tahun 2000-an, muncul organisasi yang bergerak di bidang advokasi bagi kelompok rentan dan sulit mendapatkan akses keadilan.
“Kami ingin membuat satu organisasi yang lingkup kerjanya melakukan advokasi bagi kelompok LGBT yang rentan dan sangat sulit mendapatkan akses keadilan,” ungkapnya. Namun gerakan ini selalu menemui hambatan besar di masyarakat, selama stigma negatif terus ditujukan kepada orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda. LGBT kerap dipandang sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan.
Menurut Yuli berpendapat, lahirnya resistensi di masyarakat terhadap kelompok LGBT disebabkan oleh kurangnya kesadaran bahwa manusia itu beragam. Menurutnya, keberagaman tidak hanya dilihat dari sisi suku, agama, ras dan golongan, tapi juga beragam dari sisi orientasi seksual serta identitas gender.
“Setiap orang memiliki hak untuk tidak setuju terhadap LGBT, namun akan bermasalah ketika ketidaksetujuan tersebut berlanjut ke tindak kekerasan dan penyebaran kebencian. Masyarakat harus bisa melihat dari sisi lain, bahwa kelompok LGBT juga manusia yang memiliki hak asasi,” tutur Yuli.
Walaupun belum ada larangan untuk mendirikan organisasi LGBT di Indonesia, namun Pemerintah juga masih belum memberikan persetujuan adanya pernikahan sesama jenis. Sikap pemerintah yang masih ambigu terlihat saat terjadi keributan antara kelompok LGBT dengan sekelompok warga.
Ketika itu, Presiden Jokowi mengatakan tidak melarang tindakan kelompok tersebut, namun juga mengingatkan kalau masyarakat Indonesia masih banyak yang belum menerima hadirnya LGBT. Ini memperlihatkan kalau pemerintah hingga saat ini belum bisa memberikan rasa aman dan hak atas kebebasan untuk berkumpul dan berserikat bagi kelompok LGBT. Coba banyangkan bila hal ini terjadi pada kalian, apa yang akan kalian lakukan? (Berbagai sumber/R24)