Politik “kumpul kebo” (kumbo) antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto disebut-sebut akan terjadi. Namun, kumbo tersebut bisa jadi menghadapi suatu dilema tahanan (prisoner’s dilemma).
PinterPolitik.com
“The game’s mine again and ain’t nothin’ changed” – Eminem, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Penggemar serial anime Dragon Ball Z mungkin tidak asing dengan rivalitas yang terjadi di antara Goku dan Vegeta. Dengan sifat pribadi yang berlawanan, kedua manusia Saiya ini saling bersaing demi menjadi yang terkuat dengan melalukan pertarungan dalam setiap kesempatan.
Meski keduanya saling bersaing, hubungan antara Goku dan Vegeta bisa saja termasuk sebuah love-hate relationship. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan, keduanya bekerja sama dan berfusi – jurus menggabungkan kekuatan dan badan – menjadi Gogeta.
Mungkin, gambaran hubungan Goku-Vegeta ini turut terefleksi dalam hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Sudah dua kali kedua politisi ini saling bersaing dalam Pilpres.
Namun, Jokowi dan Prabowo kini tampak akrab. Setelah berbincang-bincang ketika menikmati perjalanan kereta Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, keduanya memilih untuk bersantap siang bersama.
Saya mengajak Pak Prabowo naik kereta MRT dari Stasiun Lebak Bulus sampai Senayan, pagi tadi. Ini pertemuan dua orang sahabat yang sudah lama direncanakan.
Kesempatan bertemu ini juga untuk mengenalkan MRT kita. Saya tahu Pak Prabowo belum pernah mencoba MRT hehe. pic.twitter.com/aRa0I1eJqR
— Joko Widodo (@jokowi) July 13, 2019
Pertemuan tersebut membuat publik menebak-nebak mengenai arah politik Jokowi-Prabowo ke depan. Mungkin, pertemuan tersebut menandakan makin kuatnya politik “kumpul kebo” (kumbo) yang memungkinkan Prabowo dan Gerindra untuk duduk bersama Jokowi dalam pemerintahan.
Tentunya, kemungkinan kumbo tersebut tidak luput dari berbagai pertanyaan. Mengapa Jokowi dan Prabowo melakukan upaya kumbo tersebut? Lalu, apa tantangan ke depan dari upaya kumbo tersebut?
Dilema Tahanan
Dilema tahanan (prisoner’s dilemma) merupakan suatu konsep yang berangkat dari teori permainan (game theory) yang penerapannya sering dipakai dalam studi Hubungan Internasional. Teori tersebut menggambarkan suatu permainan yang diisi oleh persaingan antara dua pihak. Permainan tersebut biasanya dijelaskan menggunakan model matematis – di mana keuntungan A dapat menjadi kerugian B dan begitu juga sebaliknya.
Berangkat dari model matematis tersebut, konsep dilema tahanan berfokus pada situasi di mana A maupun B sama-sama menghadapi ancaman atau kerugian. Dalam situasi tersebut, A dan B pun merasakan dilema mengenai tindakan yang perlu dilakukan.
Dilema semacam ini biasanya eksis di antara dua negara yang saling bersaing di panggung politik internasional, terutama negara-negara yang memiliki senjata nuklir – seperti yang terjadi pada Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Dengan kepemilikan senjata nuklir yang berarti memiliki kemampuan untuk pemusnahan massal, negara-negara akan merasakan dilema.
Kedua negara yang saling bersaing dalam permainan ini akan terus berusaha untuk menyeimbangi kekuatannya satu sama lain dengan saling meningkatkan kemampuan dan jumlah senjata nuklir yang dimiliki. Karena saling merasa takut akan dihabisi dengan persenjataan tersebut, menjadi wajar apabila keduanya saling berlomba.
Lalu, apakah situasi serupa dapat ditarik untuk menggambarkan dinamika politik Indonesia?
Jika kita amati, permainan serupa juga terjadi antara Jokowi dan Prabowo dalam kontestasi politik di Pilpres 2019. Kedua kubu saling bersaing menyiapkan persenjataannya masing-masing, dari kampanye hingga sidang sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), serta menciptakan tensi politik yang menegang.
Dengan manuver-manuver politik di antara keduanya, Jokowi dan Prabowo saling memperebutkan poin tambahan bagi kubunya masing-masing. Manuver-manuver permainan ini dapat tergambarkan pada upaya Prabowo menggandeng Ijtima Ulama, sementara Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres untuk memperebutkan suara kelompok Muslim.
Ketegangan politik akibat permainan tersebut telah menciptakan perseteruan di masyarakat, baik daring maupun luring. Kerusuhan yang terjadi pada Aksi 22 Mei 2019 lalu sempat menggoyahkan stabilitas nasional, katakanlah dengan jatuhnya beberapa korban jiwa.
Ketidakstabilan politik tersebut tentunya dapat berdampak pada aktivitas ekonomi. Pasalnya, ketidakstabilan tersebut dapat menghambat aliran modal asing yang masuk.
Situasi-situasi yang merugikan tersebutlah yang menjadi pertimbangan bagi adanya dorongan upaya kumbo. Dalam situasi tersebut, baik Jokowi maupun Prabowo akan mengalami kerugian tertentu – kondisi yang memunculkan dilema tahanan.
Dari situasi yang semakin memanas tersebut, kedua belah pihak biasanya akan berusaha mengatasi dilema tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menciptakan kesepakatan di antara keduanya melalui berbagai negosiasi.
Hal inilah yang terjadi di antara AS dan Uni Soviet. Dengan memanasnya ketegangan Perang Dingin – terutama dengan adanya Krisis Rudal Kuba, keduanya memutuskan untuk melakukan pelucutan senjata (disarmament).
Dorongan serupa juga terjadi di antara Jokowi dan Prabowo. Mungkin, upaya pelucutan senjata di antara keduanya terjadi dengan adanya upaya untuk melepaskan diri dari koalisi masing-masing.
Tentunya, terdapat hasil yang diharapkan dari upaya yang dilakukan untuk mengatasi dilema tersebut. Stephen J. Majeski dari University of Washington dalam tulisannya yang berjudul Arms Races as Iterated Prisoner’s Dilemma Games menjelaskan bahwa kerja sama akan terjadi apabila kedua pihak yang bermain dalam permainan dilema tahanan menyadari akan hasil yang dapat diperoleh dari sikap kooperatif tersebut.
Dalam hal ini, hasil yang diharapkan dari kumbo tersebut bisa jadi adalah untuk membagi kekuasaan yang dimiliki (power sharing). Pembagian kekuasaan tersebut dapat terjadi melalui pemberian posisi-posisi strategis pemerintahan.
Namun, pertanyaan lain pun timbul. Apakah dengan adanya kumbo dilema tahanan Jokowi maupun Prabowo dapat teratasi?
Permainan Lain?
Uniknya, di tengah-tengah upaya kumbo Jokowi-Prabowo, bisa saja terdapat aktor lain. Jokowi boleh jadi tidak hanya berada dalam satu permainan dengan Prabowo. Sang presiden mungkin memainkan permainan lain dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Dengan mengacu pada teori permainan, Jokowi dan Megawati sendiri telah memainkan permainannya sendiri dalam waktu yang cukup lama. Meski menjadi kader PDIP, sang presiden juga disinyalir berusaha menghalau pengaruh sang ketum terhadap dirinya.
Selama ini, Jokowi disebut-sebut bergantung kepada pengaruh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan guna menghalau pengaruh politik Megawati dan PDIP. Dalam sebuah artikel milik Kanupriya Kapoor di Reuters, dijelaskan bahwa sosok menteri super tersebut berperan sebagai penjaga gerbang bagi sang presiden.
Namun, kumbo Jokowi-Prabowo bisa saja membuat peran dan pengaruh Luhut semakin terkikis. Apalagi, sosok Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) disebut-sebut lebih mampu mengakomodir keinginan Prabowo dalam upaya kumbo tersebut.
Meningkatnya peran BG bisa jadi membuat Megawati mendapatkan satu poin lebih banyak dibandingkan Jokowi dalam permainan tersebut. Pasalnya, BG sendiri – mantan ajudan Megawati – disebut-sebut memiliki kedekatan tertentu dengan presiden kelima tersebut.
Belum lagi, hubungan Prabowo dan Megawati yang tampaknya semakin erat. Setelah bertemu dan menyantap nasi goreng bersama, mantan Danjen Kopassus tersebut menepati janjinya untuk menghadiri Kongres V PDIP atas undangan Megawati.
Kedua politisi tersebut juga memiliki sejarah kedekatan politik yang panjang. Pada Pilpres 2009 misalnya, keduanya pernah maju bersama sebagai paslon. Prabowo juga disebut-sebut sebagai sosok yang meyakinkan Megawati untuk mengusung Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
Kedekatan Prabowo-Megawati ini bisa saja membuat poin milik Jokowi semakin berkurang dalam permainannya dengan presiden kelima tersebut. Dalam arti lain, pengaruh politik Megawati terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut dapat saja membesar.
Kemungkinan tersebut bisa jadi benar. Pasalnya, di tengah-tengah persaingan antar partai politik dalam memperebutkan kursi kabinet Jokowi 2.0, sang presiden telah melontarkan pernyataan bahwa partai Megawati akan mendapatkan jatah menteri terbanyak dalam Kongres V PDIP di Bali meskipun belum memberikan jumlah pasti.
Pada akhirnya, meski Jokowi telah mengatasi dilema tahanan dalam permainannya dengan Prabowo, mantan Wali Kota Solo tersebut boleh jadi semakin kehilangan poin dalam permainannya dengan Megawati.
Mungkin, semakin meningkatnya poin yang didapatkan Megawati dalam permainan tersebut dapat tergambarkan dalam lirik rapper Eminem di awal tulisan. Permainan tersebut bisa jadi kembali menjadi miliknya entah hingga berapa lama lagi – mengingat dirinya telah terpilih kembali sebagai ketum. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.