Isu kembalinya militer ke dalam dunia politik-sipil Indonesia, atau yang dikenal dengan istilah “Dwifungsi” belakangan ramai dibicarakan ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 tahun 2019 tentang jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI).
PinterPolitik.com
Meskipun dalam Pasal 1 Ayat 1 secara jelas dituliskan bahwa Perpres ini hanya mengatur jabatan fungsional prajurit dalam suatu satuan organisasi TNI, beberapa pihak berpendapat bahwa kekhawatiran yang muncul di masyarakat cukup beralasan karena pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan sinyal kuat untuk “memperbolehkan” semakin banyak anggota aktif TNI berkarir di institusi sipil.
Pada awal tahun ini misalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan rencananya untuk melakukan restrukturisasi TNI dalam bentuk penambahan 60 pos jabatan struktural baru. Rencana ini kemudian dilanjutkan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang menginginkan prajurit TNI aktif dapat menempati jabatan eselon satu atau eselon dua di lembaga atau kementerian sipil.
Rencana ini mendapatkan reaksi keras karena dinilai akan merusak jenjang karir Aparatur Sipil Negara (ASN), bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi, bahkan dinilai sebagai usaha untuk memunculkan kembali dwifungsi militer ala Orde Baru.
Sementara ada pendapat lain salah satunya dari Evan A. Laksmana, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Evan berpendapat bahwa rencana untuk menambah porsi militer di instansi sipil bukan disebabkan oleh adanya agenda pengembalian dwifungsi, namun lebih kepada permasalahan surplus prajurit di tubuh TNI. Benarkah demikian?
Wiranto membantah Perpres no 37 tahun 2019 akan mengembalikan dwifungsi militer jaman Orde Baru
Nantikan artikel selengkapnya di https://t.co/xcS6dRiOpe pic.twitter.com/CwnXKPAtZe
Seberapa Parah?
Berdasarkan Rapat Pimpinan TNI tahun 2017, jajaran TNI mengalami kelebihan 141 Perwira Tinggi dan 790 Perwira Menengah yang didominasi dari Angkatan Darat. Selain di level perwira, TNI juga mengalami kelebihan ribuan prajurit di level Bintara dan Tamtama.
Prajurit-prajurit yang tidak kebagian jatah jabatan ini kemudian masuk kedalam kategori “Luar Formasi” atau sering diistilahkan dengan sebutan “non-job”. Mereka harus sabar menunggu, bahkan hingga tiga tahun, sebelum mendapat jabatan baru.
Surplus prajurit di tubuh TNI tidak hanya disebabkan oleh faktor sederhana terkait lebih banyaknya prajurit yang direkrut dibanding jumlah jabatan yang tersedia. Permasalahan surplus ini jauh lebih rumit daripada itu.
Dalam artikelnya, Evan menjelaskan bahwa surplus prajurit muncul akibat kurangnya peran manajemen personel TNI sebagai institusi, terutama dalam hal promosi pangkat dan jabatan. Menurut analisisnya, kenaikan pangkat/jabatan seorang prajurit di tubuh TNI lebih didorong oleh faktor kedekatan atau intervensi politik. Kedekatan dan loyalitas junior dengan seniornya dilihat lebih menjamin kenaikan pangkat dibanding prestasi sang prajurit itu sendiri.
Permasalahan juga terjadi dalam sistem pengukuran dan evaluasi prajurit yang tidak lengkap, tidak akurat, dan tidak terintegrasi, sehingga indikator apakah seorang prajurit pantas naik pangkat atau menduduki suatu jabatan menjadi tidak jelas. Hal ini memungkinkan terjadinya lobi-lobi jabatan yang tidak sesuai sistem.
Dampak Surplus Prajurit
Di tengah kondisi ini pemerintah terkesan hanya mengeluarkan solusi-solusi jangka pendek alias “instan” untuk menyalurkan prajurit-prajurit non-job, salah satunya dengan memperlebar pintu masuknya TNI untuk menjabat di institusi sipil.
Surplus prajurit adalah masalah serius. Terus menumpuknya prajurit non-job, terutama di level perwira, dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik internal di tubuh TNI karena ketidakpuasan atau kecemburuan para prajurit yang “terlantar” karir dan pangkatnya. Profesionalisme dan program modernisasi TNI-pun dapat terhambat karena para pimpinan TNI harus disibukkan dengan permasalahan manajemen personel akut.
Selain itu, surplus prajurit menyebabkan lebih banyak anggaran terpakai untuk belanja pegawai dibanding untuk pembelian, riset, dan pengembangan senjata.
Namun, di sisi lain, solusi instan pemerintah juga dapat menimbulkan konflik sipil-militer. Jenjang karir institusi sipil bisa rusak ketika mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dan sudah sepantasnya naik ke eselon satu atau dua harus mengalah karena kursinya diambil oleh prajurit TNI. Alih-alih memperbaiki surplus perwira di tubuh TNI, solusi ini malah dapat memunculkan kondisi yang sama di institusi sipil dengan munculnya surplus ASN.
Lebih lanjut lagi, dalam salah satu cuitannya di twitter, Evan menjabarkan beberapa solusi jangka panjang yang dapat diambil pemerintah. Pertama, meningkatkan transparansi indikator kenaikan pangkat yang berdasarkan pada prestasi (merit-system) sang prajurit. Kedua, membuat kebijakan “up-or-out” yaitu kebijakan yang memungkinkan seorang perwira untuk keluar dari militer jika dalam jangka waktu tertentu tidak memenuhi syarat untuk naik pangkat.
Ketiga, mempermudah prajurit TNI yang ingin keluar dari militer dengan memberikan pelatihan karir tambahan dan kebijakan pensiun dini. Selain untuk mengurangi surplus, solusi ini juga diperlukan guna memastikan bahwa prajurit-prajurit yang menempati jabatan tinggi adalah mereka yang benar-benar terbaik dan memiliki kapabilitas sesuai jabatannya.
Perpres Jokowi tentang jabatan fungsional TNI menimbulkan polemik. Simak infografis kami lainnya di https://t.co/8g1yOIFghR pic.twitter.com/TKzWKB54h3
Manuver Jokowi?
TNI sendiri, setidaknya sejak tahun 2007, sudah menyadari bahwa akan terjadi surplus perwira tinggi dan menengah yang diprediksi mulai terjadi pada tahun 2009. Belum adanya solusi sistemik selama 12 tahun merupakan indikator kuat bahwa TNI tidak mampu mengatasi masalah ini sendiri. Diperlukan intervensi pihak luar yang tentunya memiliki otoritas lebih tinggi dari TNI itu sendiri, siapa lagi kalau bukan presiden.
Jokowi perlu mencari solusi yang sebisa mungkin diterima oleh semua pihak. Perlu diingat bahwa melatih seorang prajurit, apalagi sampai ke level perwira tinggi, adalah bentuk investasi yang tidak murah. Pemerintah tentunya tidak ingin menciderai perasaan TNI dengan terus membiarkan prajuritnya terlantar, apalagi mengambil solusi yang terkesan membuang prajuritnya sendiri.
Namun di sisi lain, Jokowi juga harus merespon kegelisahan masyarakat sipil yang jelas-jelas akan dirugikan dan menolak jika TNI semakin dilibatkan dalam struktur pemerintahan sipil negara.
Dalam mencari solusi, Jokowi bisa menggunakan manuver politik yang sebelumnya pernah ia gunakan baik sebelum maupun pasca Pilpres. Manuver politik yang dimaksud adalah dengan mengundang purnawirawan senior TNI ke istana untuk membicarakan solusi surplus prajurit.
Cara ini bisa digunakan agar nantinya solusi yang dikeluarkan dapat lebih diterima oleh TNI, baik secara institusi maupun personal, karena merupakan hasil diskusi dari senior-senior TNI itu sendiri.
Jika sebelumnya Jokowi dinilai mengizinkan rencana restrukturisasi TNI guna mengamankan dukungan institusi tersebut jelang Pilpres 2019, di periode kedua pemerintahannya nanti seharusnya Jokowi bisa lebih “keras” lagi mendorong TNI agar membenahi masalah manajemen personelnya. Apalagi Jokowi sendiri mengatakan bahwa dirinya “sudah enggak ada beban” untuk lima tahun ke depan karena dirinya tidak (bisa) mengikuti Pilpres lagi.
Konteks ini juga penting mengingat selama periode pertama kekuasaannya, Jokowi menikmati kedekatan dengan TNI sebagai alat untuk mengukuhkan kekuatannya di hadapan patron-patron politiknya.
Strategi Jokowi ini salah satunya diungkapkan oleh Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia. Menurutnya, dalam periode pertama kekuasaannya, Jokowi menggunakan TNI AD untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah.
Dengan demikian, mengatasi surplus prajurit di tubuh TNI akan menambah daftar prestasi Jokowi pun citra politiknya di hadapan kubu militer. Toh, jika nantinya berhasil, TNI seharusnya akan berterimakasih kepada Jokowi karena mampu mengatasi permasalahan akut sekaligus menyelamatkan institusi tersebut dari konflik internal.
Mampu tidaknya seorang Jokowi dalam menyelesaikan masalah surplus prajurit di tubuh TNI juga sangat bergantung, sekaligus menjadi indikator, seberapa besar kontrol beliau terhadap institusi TNI.
Pada akhirnya, setidaknya untuk saat ini, narasi-narasi pemerintah yang ingin menambah jatah jabatan prajurit TNI di institusi sipil lebih didasari oleh kondisi surplus prajurit dibanding adanya suatu rencana besar untuk mengembalikkan dwifungsi. Namun, bagaimanapun juga, surplus prajurit ini tetap berbahaya bagi stabilitas nasional karena TNI, sebagai pilar utama pertahanan negara, dilemahkan dengan kondisi ini. (F51)