Hanya sedikit mahasiswa milenial yang mampu dan mau berjuang demi kepentingan umum. Sebagai agen perubahan, agen kontrol, serta penyambung lidah, mahasiswa seharusnya mampu memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan bermasyarakat.
PinterPolitik.com
Milenial, penamaan yang diberikan oleh dua penulis William Strauss dan Neil Howe, merupakan individu-individu yang terlahir sebagai generasi Y. Mereka, sang milenial, lebih akrab dengan teknologi informasi dan komunikasi sehingga tak ayal kehidupan mereka penuh dengan teknologi.
Secara garis besar, generasi milenial merupakan mereka yang terlahir beriringan dengan adanya Revolusi Industri 4.0 di dunia ini. Revolusi industri yang berkontribusi sangat besar terhadap kehidupan bermasyarakat dunia ini memberikan sumbangsih terbesarnya dalam dunia internet, teknologi nirkabel, dan big data. Tak ayal, banyak perubahan yang signifikan terjadi pada kehidupan bermasyarakat.
Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat sering kali hanya terjadi secara message to message menggunakan media sosial. Tentu, hal tersebut menimbulkan banyak permasalahan karena percakapan yang terjadi di dunia maya menimbulkan efek maya pula. Sering kali, intonasi dalam percakapan menjadi perdebatan dalam interaksi message to message. Selain itu, validitas dari data yang diperdebatkan terkadang diragukan.
Pada abad ke-21 yang merupakan zaman milenial yang sebenarnya, terjadi perubahan pula yang sangat besar karena mulai adanya efek dari revolusi industri, yakni Internet of Things (IoT). IoT menjadi efek dari adanya revolusi industri 4.0 karena dengan adanya IoT muncul lah cyber physical system – hal-hal yang bersifat biologis, kimiawi dapat tersambung dengan mudah dalam sistem siber. Selain itu, IoT membuat internet tidak terbatas dalam ruang dan waktu.
IoT merupakan salah satu hasil pemikiran para peneliti yang mengoptimasi beberapa alat seperti media sensor, radio frequency identification (RFID), wireless sensor network, serta smart object lain yang memungkinkan manusia mudah berinteraksi dengan semua peralatan yang terhubung dengan jaringan internet.
Lantas, dampak yang diberikan IoT terhadap para generasi milenial seperti apa? Bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi kehidupan berpolitik?
Ke Mana Politik Mahasiswa?
Sebelum dijawab, kita persempit terlebih dahulu generasi milenial tersebut. Melihat urgensi dari kehidupan dan keadaan politik Indonesia yang sedang di alami, maka akan lebih baik kita bahas mahasiswa milenial dalam berpolitik.
Sebagaimana sejatinya mahasiswa milenial, tetap menjadi kewajiban baginya untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) karena mahasiwa tidak hanya seperti apa yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang hanya sekedar terdaftar menjadi mahasiswa aktif di sebuah lembaga perguruan tinggi. Merupakan sebuah keharusan bagi mahasiswa untuk mengembalikan muruah dirinya sebagai mahasiswa sebenarnya.
Sebagai agen perubahan dan agen kontrol, mahasiswa harus mampu memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan bermasyarakat karena ada tugas khusus pula yang dibebankan kepada mahasiswa, yaitu sebagai penyambung lidah masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa.
Etika independen yang dimiliki setiap mahasiswa mengharuskannya terbebas dari belenggu partai politik. Namun, hal tersebut bukan berarti mahasiswa harus bebas dari kehidupan berpolitik. Sering kali, kesalahpahaman mahasiswa terhadap etika independen membuat mahasiswa itu sendiri apolitis dan apatis, serta tidak mementingkan kepentingan bersama.
Dengan sikap apolitis tersebut, mahasiswa semakin kehilangan muruah nya. Isu politik dan nasional yang seharusnya terangkat dan diselesaikan oleh sang penyambung lidah masyarakat kini terbengkalai karena mereka terlalu sibuk dengan kenikmatannya bermain gawai.
Mahasiswa kini bisa dibilang berbeda dengan mereka sang penyambung lidah masyarakat ’98 yang benar-benar menjadi agen perubahan dan agen kontrol. Tentu, hal tersebut menjadi masalah yang besar bagi kehidupan berpolitik di Indonesia ini. Indonesia telah kehilangan pengubah dan pengontrol, serta sang penyambung lidah masyarakat.
Bila berbicara mengenai sikap apatis dan anti-sosial tersebut, hal ini terjadi dikarenakan efek dari IoT yang senantisa memanjakan penggunanya karena dapat mengakses internet di mana pun dan kapan pun. Data yang belum tentu terjamin validitasnya beredar dengan mudah dan dilahap bulat-bulat oleh para penikmatnya.
Perubahan etika berkritik jelas adanya dimana kala itu demo menjadi ajang berkritik yang efektif kini media sosial menjadi tempat berpolitik dan berkritik. Yang dipertanyakan berikutnya adalah apakah berkritik di media sosial itu efektif.
Jelas, jawabannya tidak, karena yang berkritik mengenai politik hanya bercuap-cuap dan tak solutif. Opini-opini tersebut malah hanya menjadikannya ajang saling adu argumen satu sama lain.
Pada hari ini, hanya sedikit mahasiswa milenial yang mampu dan mau berjuang demi kepentingan umum, yakni kepentingan rakyat Indonesia. Kehidupan milenial yang melahirkan mereka menjadi mahasiwa yang apolitis hanya membuat mereka menjadi pribadi yang tidak mau susah payah berurusan dengan rezim penguasa.
Lantas, dimana peran mahasiswa milenial seharusnya berada di dunia politik? Bila berbicara mengenai agent of change dan agent of control, maka sudah jelas di mana tempatnya mahasiswa berada seharusnya. Lalu, mengapa mahasiswa milenial banyak yang tak peduli?
Tentu, hal tersebut terjadi karena pola berpikir kritis yang seharusnya ditanamkan mulai pudar. Literasi membaca mulai hilang dan keberanian kian terlelap.
Seharusnya, milenial yang merupakan sang penyambung lidah ini tak gentar terhadap apa yang menghadangnya. Kritik terhadap kehidupan politik menjadi sarapan baginya. Namun, selaras dengan apa yang dikatakan oleh sang aktivis dan sastrawan Wiji Thukul, kini usul tersebut ditolak tanpa ditimbang dan kritik dibungkam tanpa alasan.
Mencari Sang Penyambung Lidah
Memang, kehidupan berpolitik kini sudah pindah ranahnya ke media sosial. Salah satu solusi agar mahasiswa memiliki peran dalam kehidupan berpolitik adalah dengan membuat medianya sendiri dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai perjuangan mahasiswa itu sendiri. Selain itu, mengembalikan muruah mahasiswa akan menjadi jalan yang baik guna membangun kehidupan berpolitik.
Namun, mahasiswa tetap harus mengedepankan etika independennya. Mahasiswa tak perlu lah berat-berat ditunggangi oleh partai politik yang hanya menjadikannya boneka dan massa.
Mahasiswa milenial lebih tepat bila berperan sebagai pengubah dan pengontrol atas rezim yang berkuasa. Kehidupan berpolitik bukan berarti kita harus masuk dalam partai politik. Dinamika berpolitik di kampus dan masyarakat akan menjadi poin yang lebih penting dibandingkan kepentingan yang disuguhkan oleh partai politik.
Maka, bukan ramalan bila puisi Takut 66, Takut 98 yang ditulis oleh Taufiq Ismail dapat menjadi kenyataan. Ketika dituliskan “presiden takut pada mahasiswa,” maka di dalamnya tersirat bahwa mahasiswa sudah semestinya menjadi pemegang dari kontrol keadaan kehidupan berpolitik Indonesia.
Dari sekian banyak masalah yang dipaparkan, tetap muncul sebuah pertanyaan. Kemana sang penyambung lidah milenial pergi ketika kehidupan berpolitik di negara ini memanas? Kemana mereka pergi ketika rakyat negaranya tertindas? Dan kemana mereka pergi ketika hak-hak yang dimiliki rakyatnya dirampas? Apakah mereka asyik dengan tugasnya sendiri? Atau mereka enggan berpartisipasi? Atau mereka sibuk dengan skripsinya masing-masing?
Mahasiswa dan politik sama seperti gula dan rasa manis di dalamnya, tidak akan pernah bisa terpisahkan. Hanya saja, hari ini sang penyambung lidah sedang tertidur dengan lelap dalam dekapan “ibundanya”. Tinggal menunggu waktu saja, kapan dan bagaimana mereka akan bangun dari tidur lelapnya itu.
Tulisan milik Nidzar Fashy Muzakki, mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia