Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) digadang-gadang akan menjadi calon gubernur DKI Jakarta pada tahun 2022 mendatang. Mengapa ide ini mencuat kembali menjelang Kongres V PDIP?
PinterPolitik.com
“I would love to say things got easier I as I grew, but conflict in my family was nothing new” – Locksmith, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Risma selalu menjadi kader PDIP yang digadang-gadang untuk posisi politik yang lebih tinggi. Dalam beberapa pemilihan, nama Wali Kota Surabaya tersebut selalu mencuat dalam bursa kandidat.
Dalam Pilgub Jatim 2018 lalu misalnya, nama Risma sempat digadang-gadang untuk menjadi calon kuat bagi PDIP. Namun, sang wali kota menolak dan berakhir hanya menjadi pendukung bagi paslon Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno.
Mungkin, sosok keibuan Risma memang sering kali berhasil dalam membius masyarakat Surabaya. Berbagai kebijakannya yang dianggap sukses juga membuat masyarakat Surabaya tidak jarang membangga-banggakan sang wali kota.
Kok saya lbh ingin bu risma maju utk pilgub DKI bang…
— Adolf Tobing (@maximillian2008) June 25, 2019
Mungkin, sosok Risma yang keibuan dan tegas juga berhasil membuat warga-warga di luar Surabaya terbius. Efek bius inilah yang mungkin dirasakan oleh Maruarar Sirait, seorang politisi PDIP.
Pasalnya, beberapa waktu lalu, politisi yang akrab disapa Ara tersebut mengungkapkan potensi Risma untuk berpartisipasi dalam Pilgub DKI pada tahun 2022 mendatang. Menurutnya, ideologi dan rekam jejak Risma dapat menjadi senjata ampuh PDIP guna menyaingi petahana Anies.
Selain itu, Ara melihat partainya akan sependapat dengan usulan pribadinya tersebut. Politisi PDIP tersebut melihat Risma juga memiliki rekam jejak partai yang mumpuni.
Usulan yang diungkap Ara ini pun menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa Risma memiliki potensi yang besar untuk bersaing dalam Pilgub DKI Jakarta 2022? Lantas, apa maksud lain Ara dalam mengusung Risma?
Karier Risma
Nama Risma sebenarnya pernah mencuat dalam bursa kandidat Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahkan, kemunculan namanya pada 2016 lalu disebut-sebut dapat menjadi pilihan alternatif di luar kandidat lain, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Usulan nama Risma pada tahun 2016 tersebut membuat Ahok memberikan responsnya tersendiri yang berujung pada adu argumen antara kedua pejabat daerah tersebut. Apalagi, elektabilitas Risma menempati posisi kedua setelah dirinya dalam survei Vox Populi – diikuti oleh Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan Yusril Ihza Mahendra.
Ahok boleh saja panik pada saat itu. Pasalnya, Mantan Gubernur Bangka Belitung tersebut juga mengakui bahwa sebagian dari kebijakannya terinspirasi oleh apa yang dilakukan Risma di Surabaya.
Selain itu, sosok Risma memang dianggap memiliki sifat yang tegas dan lugas. Menurut pengamat politik Hariyadi dari Universitas Airlangga, Wali Kota Surabaya ini dianggap memiliki gaya kepemimpinan yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
Modal politik personal didasarkan pada gagasan akan dikenali dan diketahuinya seseorang – berkaitan dengan kualitas tertentu yang dimilikinya. Share on XGaya kepemimpinannya yang tegas dan berorientasi pada publik inilah yang dapat menjadi modal politik personal Risma dalam Pilgub DKI Jakarta 2022. Dengan mengutip Pierre Bourdieu, Manuel Alcántara-Sáez dalam tulisannya yang berjudul Political Career and Political Capital menjelaskan bahwa modal politik personal didasarkan pada gagasan akan dikenali dan diketahuinya seseorang – berkaitan dengan kualitas tertentu yang dimilikinya.
Dari sini, bisa dibilang bahwa Risma telah memiliki modal personal yang cukup mumpuni. Selama dirinya menjabat, sikap kerasnya kerap dianggap berhasil mendisiplinkan kinerja pemerintah kota Surabaya.
Sebagai wali kota, Risma telah mendapatkan banyak penghargaan, baik nasional maupun internasional. Pada tahun 2014 misalnya, Risma mendapatkan penghargaan sebagai salah satu wali kota terbaik dari City Mayors Foundation, London.
Berbagai prestasi dan kualitas inilah yang dapat menjadi poin tambah bagi modal personal Risma. Tentu, bukan tidak mungkin apabila modal personal ini dapat ditranslasikan dengan baik apabila Wali Kota Surabaya tersebut maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2022.
Kontestasi Intra-Partai?
Ide untuk mengusung Risma ke tingkat politik yang lebih tinggi sebenarnya bukanlah hal baru. Dari pilgub hingga pilpres, nama Risma beberapa kali mencuat menjadi bursa kandidat yang potensial.
Namun, mengapa nama Risma kini kembali dimunculkan oleh Ara dalam Pilgub yang masih akan dilaksanakan dalam 2-3 tahun mendatang? Apa sebenarnya yang dilihat oleh Ara?
Pengusungan nama Risma oleh Ara bisa jadi berkaitan dengan Kongres V PDIP yang akan dilaksanakan pada Agustus nanti. Bisa jadi, ini merupakan respons Ara terhadap percepatan kongres yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2020.
Mungkin, kongres tersebut akan menjadi ajang persaingan antar-kubu dalam partai tersebut. Sebelumnya, pernah digemborkan bahwa PDIP memiliki tiga kubu yang berbeda pendapat, yaitu kubu loyalis Megawati, kubu loyalis Taufiq Kiemas, dan kubu Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Kubu Parkindo – partai yang dahulu berfusi menjadi PDI – disebut-sebut sebagai kubu yang menginginkan regenerasi partai yang tidak didasarkan pada garis keturunan Soekarno. Bisa jadi, kubu inilah yang dimaksud oleh Puan Maharani – putri Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri – sebagai kubu yang dianggap memiliki perbedaan pendapat.
Uniknya, meskipun memiliki peran yang cukup besar di PDIP dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, popularitas Ara gagal untuk membawa dirinya ke Senayan. Pasalnya, nama Ara muncul di salah satu dapil “neraka” dalam Pileg 2019.
Selain itu, Ara sendiri beberapa kali diterpa keputusan partai yang tidak menguntungkannya. Ara gagal menjadi menteri dalam kabinet Jokowi setelah digadang-gadang menjadi kandidat muda yang potensial. Selain itu, Ara juga tak mendapatkan posisi di DPP PDIP dalam kepengurusan PDIP periode 2015-2020.
Lagi-lagi, alasan yang diungkapkan oleh Megawati saat itu adalah keinginannya untuk melepaskan sosok-sosok yang dianggap memecah-belah partainya. Bisa jadi, keputusan Megawati tersebut semakin meminggirkan kubu Parkindo di PDIP.
Ketidakpuasan kubu ini bisa jadi turut melatarbelakangi pengusungan Risma oleh Ara dalam Pilgub DKI Jakarta 2022. Mungkin, Risma dan Ara memiliki kesamaan kepentingan dalam kontestasi politik intra-partai tersebut.
Sebelumnya, hubungan Risma dan wakilnya, Whisnu Sakti Buana, juga sempat memanas. Risma menilai terpilihnya Whisnu sebagai wakil pengganti Bambang Dwi Hartono tidak dilakukan melalui konsultasi dengan sang wali kota terlebih dahulu. Polemik ini sempat membuat Risma ingin mengundurkan diri.
Hal ini juga disebut-sebut berujung pada perpecahan intra-partai di Surabaya. Menurut Sukorim Abdussalam dari Universitas Trunojoyo, tiga kubu ini adalah kubu Risma, kubu Mantan Wali Kota Surabaya Bambang D.H., dan kubu Whisnu.
Whisnu sendiri disebut-sebut memiliki kedekatan struktural partai. Bahkan, Megawati pernah menyebutkan bahwa dirinya menganggap Whisnu layaknya anaknya sendiri.
Dari sini, Ara bisa jadi merasa memiliki kesamaan dengan Risma sebagai outsider – politisi di luar lingkaran elite partai – dalam tubuh PDIP. Bisa jadi, kesamaan inilah yang mendasari Ara dan Risma guna melawan pengaruh fungsionaris PDIP yang lebih dekat dengan lingkaran elite partai.
Dengan mewawancarai Ketua Tim Relawan Jokowi Muhammad Yamin, Ahmad Alhamid dan Aditya Perdana dalam tulisannya yang berjudul “Presidentialized Party di Indonesia” menjelaskan bahwa kehadiran outsiders atau newcomers seperti Jokowi dan Risma membuat fungsionaris PDIP lainnya cenderung mendekati Megawati. Pasalnya, para pendatang baru ini disebut-sebut menjadi ancaman bagi kader-kader PDIP lainnya.
Risma sebagai seorang political newcomer (pendatang baru dalam politik) bisa saja menjadi kunci bagi Ara dan kubunya untuk meningkatkan pengaruhnya dalam PDIP. Menurut Miguel Carreras dalam tulisannya yang berjudul Institutions, Governmental Performance and the Rise of Political Newcomers, politisi pendatang baru memiliki kesempatan lebih besar dalam Pemilu, apalagi di tengah-tengah kelemahan partai yang tidak mampu membangun hubungan programmatis dengan pemilihnya.
Namun, ada atau tidaknya kontestasi ini belum dapat dipastikan. PDIP sendiri mengklaim partainya tetap solid mendukung Megawati untuk tetap Ketum meskipun disinyalir terdapat perpecahan, entah kubu mana yang memulai perpecahan tersebut.
Jika kontestasi intra-PDIP ini benar terjadi, mungkin lirik rapper Locksmith dapat menggambarkan kehidupan partai tersebut. Meskipun partai ini terus bertumbuh besar, konflik keluarga mungkin tetap eksis, entah ke mana konflik ini akan berakhir. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)