“Aku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan.” – Efek Rumah Kaca, Di Udara
PinterPolitik.com
Kata Sokrates “ilmu itu seperti udara. Ia begitu banyak di sekeliling kita. Kamu bisa mendapatkannya di mana pun dan kapan pun.”
Sayangnya, Sokrates meninggal sebelum menengok keadaan udara Jakarta pada saat ini. Jika merasakan keadaan polusi Jakarta sekarang, mungkin doi enggak bakal bilang seperti itu, hehe.
Menurut World Air Quality Report 2018, Jakarta dan Hanoi dilaporkan menjadi dua kota paling berpolusi di Asia Tenggara. Bahkan, Jakarta memiliki kualitas udara sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO.
Oh jadi ini alasan orang Jakarta banyak yang pakai masker, tak kira sakit meriang.
Dinas Kesehatan Jakarta mencatat sebanyak 16 kecamatan mengalami kasus terbesar di infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dampaknya, sebesar 58,3 persen penduduk di Jakarta mengeluarkan biaya kesehatan hampir Rp51,2 triliun karena penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara selama 2016.
Langkah Anies Baswedan untuk mengatasi permasalahan kualitas udara Share on XUang senilai Rp51,2 triliun itu bisa untuk memberi makan seluruh warga Indonesia selama berminggu-minggu loh. Bisa bangun akses jalan dan bendungan juga. Jadi ini ya salah satu alasan pemerintah ngebet banget pindah Ibu Kota. Hadeh.
Adapun peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta menjadi salah satu penyebab kualitas udara memburuk. Selain itu, posisi PLTU terdekat memiliki radius sekitar 100 km dari Jakarta, hal yang tentu saja memperburuk keadaan ini.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan berencana untuk menggugat Pemprov DKI karena permasalahan udara. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menanggapi rencana pelaporan tersebut sebagai kritik guna memajukan Ibu Kota ke depannya.
Anies menyebutkan bahwa masalah utama polusi ini karena di Jakarta ada sebanyak 17 juta kendaraan bermotor. Dengan demikian, dia berencana untuk mengubah moda transportasi bus Transjakarta yang berbahan bakar minyak, menjadi bus listrik yang bebas polusi.
Yaduh Pak, kalau programnya hanya itu saja, kapan sehatnya warga Jakarta? Belum lagi masalah yang akan timbul terkait pengadaan barang dan jasa Transjakarta yang membutuhkan waktu, lalu kendaraan bus listrik masih mahal sehingga menyedot anggaran, rawan praktik korupsi, dan lain-lain.
Selain itu, masyarakat juga belum teredukasi dengan baik untuk beralih menggunakan kendaraan umum. Jadi, buat apa ada bus listrik kalau masih banyak warga yang naik kendaraan pribadi?
Seharusnya, selain bus listrik, perlu dilakukan berbagai tindakan yang menyebabkan masyarakat berpindah untuk menggunakan transportasi massal. Kebijakan itu seperti perluasan ganjil-genap untuk mobil, bahkan motor.
Adapun menaikkan harga parkir di perkantoran dan pusat perbelanjaan, membatasi izin pembelian kendaraan, menaikkan pajak kendaraan, menerapkan zonasi khusus bebas kawasan bermotor dan lain-lain, bisa jadi alternatif solusi juga.
Masalahnya memang Pak Anies berani ya jika menaikan pajak dan melakukan pembatasan jumlah kendaraan? Kan lawannya manufaktur dan pebisnis terbesar di Indonesia.
Kalau cuma mengandalkan bus listrik gitu sih sama saja seperti mengimbau warga Jakarta untuk menggunakan masker saja, enggak terlalu guna, upps. (R47)