Beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Patrick Shanahan melakukan kunjungan ke Indonesia. Kunjungan tersebut bisa jadi berkaitan dengan manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
PinterPolitik.com
“The game is off balance, I’m back on my sh*t” – J. Cole, penyanyi rap asal AS
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Menhan AS Shanahan disambut dan ditemui oleh Menhan Indonesia Ryamizard Ryacudu. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak membahas berbagai persoalan yang dihadapi kedua negara, termasuk pemasalahan terorisme.
Ryamizard mengklaim bahwa saat ini terdapat pertumbuhan ancaman terorisme yang dihadapi oleh kedua negara. Ancaman ini datang dari kelompok radikal gelombang ketiga yang dianggapnya merupakan kelompok yang melarikan diri dari kekalahan kelompok-kelompok seperti Al-Qaeda dan Daesh di Timur Tengah.
Atas dasar tersebut, Shanahan sepakat bahwa Departemen Pertahanan AS akan mengadakan latihan bersama dengan Kopassus Unit 81 yang secara khusus menangani aksi-aksi teror di Indonesia. Keputusan yang kemungkinan mulai dilaksanakan tahun depan tersebut menandai berakhirnya hubungan buruk antara militer AS dan TNI yang sempat diembargo akibat tuduhan pelanggaran HAM di Timor Leste pada tahun 1999.
2 of 2: This year we celebrate 70 years of U.S.-Indonesian diplomatic relations. I look forward to engaging with MinDef Ryamizard Ryacudu to reaffirm U.S. commitment to a strong and continuing military partnership ahead of the #ShangriLaDialogue. #IndonesiaUSA70th
Namun, uniknya, kunjungan tersebut juga dilakukan di tengah-tengah situasi geopolitik kawasan Indo-Pasifik yang sedang memanas. Ryamizard sendiri menyebutkan bahwa mereka juga membahas mengenai sengketa Laut China Selatan yang banyak melibatkan negara-negara Asia Tenggara – di mana Indonesia juga dianggap terlibat di dalamnya.
Sebelumnya, situasi politik di kawasan Indo-Pasifik memang sedang memanas akibat adanya kapal-kapal perang AS yang beberapa kali melintasi wilayah laut yang diperebutkan tersebut. Situasi juga semakin memanas akibat adanya Perang Dagang antara AS dan Tiongkok.
Panasnya isu Laut China Selatan dan Perang Dagang AS-Tiongkok ini pada akhirnya juga meluber ke pertemuan International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue yang sebenarnya merupakan pertemuan yang membahas isu di bidang keamanan dan pertahanan. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan dari Tiongkok, Jenderal Wei Fenghe, mengkritik AS yang berusaha mem-bully negaranya.
Terlepas dari semakin tegangnya hubungan AS-Tiongkok, beberapa pertanyaan terkait Indonesia pun kemudian timbul. Apa maksud sebenarnya di balik kunjungan Shanahan? Lalu, apakah hal ini berkaitan dengan manuver dan kebijakan baru Jokowi?
Balancing?
Maksud di balik kunjungan Shanahan ke Indonesia bisa dipahami sebagai upaya balancing (menyeimbangkan) kekuatan antara AS dan Tiongkok. Bagi AS maupun Indonesia, upaya ini dilakukan untuk menghambat pengaruh besar Tiongkok.
John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul “Reckless States and Realism” menjelaskan bahwa balancing merupakan sebuah strategi kunci yang dilakukan suatu negara ketika negara lainnya mulai mengambil langkah untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya dalam politik internasional.
Terdapat dua macam balancing yang dapat dilakukan oleh suatu negara, yaitu secara internal dan eksternal. Balancing internal dilakukan dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuatan negara-negara besar untuk mengoptimalkan kapabilitas negara itu sendiri. Di sisi lain, balancing eksternal dilakukan dengan membentuk koalisi untuk menandingi pengaruh negara lain.
Dalam hal ini, maksud di balik kunjungan Shanahan ke Indonesia bisa jadi merupakan upaya AS untuk melakukan balancing eksternal guna membendung pengaruh Tiongkok yang semakin signifikan di kawasan Asia Tenggara.
Di tengah-tengah situasi Perang Dagang AS-Tiongkok dan suhu geopolitik Indo-Pasifik yang memanas, AS bisa jadi melihat Indonesia sebagai salah satu negara yang penting guna membendung pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut.
Balancing merupakan sebuah strategi kunci yang dilakukan suatu negara ketika negara lainnya mulai mengambil langkah untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruhnya Share on XAS bisa saja melihat Indonesia memiliki kepentingan tertentu yang konvergen dengannya. Kepentingan inilah yang dapat mendasari balancing AS-Indonesia terhadap Tiongkok.
Upaya balancing yang dilakukan oleh AS ini dapat dilihat di beberapa negara Asia lainnya, seperti Filipina. Sebelumnya, Filipina memang merupakan sekutu bagi negeri Paman Sam tersebut. Namun, hubungan antara kedua negara tersebut merenggang akibat kebijakan anti-narkotika sang presiden yang kontroversial.
Semenjak dipimpin oleh Presiden Rodrigo Duterte, Filipina juga mulai menerima pengaruh besar Tiongkok dalam situasi domestiknya, terutama dalam hal pinjaman dan investasi. Meningkatnya hubungan bilateral Tiongkok-Filipina dalam tiga tahun terakhir menjadikan negara panda tersebut sebagai partner dagang terbesar bagi Duterte.
Bahkan, kemenangan kawan-kawan politik Duterte dalam Pemilu Sela Filipina 2019 disebut-sebut menjadi kemenangan bagi Tiongkok. Hal ini disebabkan oleh kursi mayoritas Senat Filipina akan banyak dikuasai oleh koalisi Duterte dan dianggap dapat melenggangkan kebijakan presiden yang pro-Tiongkok.
Duterte pun pernah menyatakan keinginannya untuk keluar dari persekutuan yang dijalinnya dengan AS. Bahkan, ia pernah meminta pasukan-pasukan AS untuk meninggalkan wilayahnya pada tahun 2016.
Namun, pemerintahan Duterte sendiri tampaknya tidak sepenuhnya percaya pada Tiongkok sebagai teman barunya. Pada Konferensi “Masa Depan Asia” di Tokyo beberapa waktu lalu misalnya, Duterte mengkritik dan mempertanyakan hak dan moralitas Tiongkok yang mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan.
Ekspresi kekecewaan Duterte terhadap Tiongkok tentu memang beralasan. Insiden antara Tiongkok dan Filipina di Laut China Selatan juga mulai terjadi, seperti penyitaan kapal nelayan Filipina oleh penjaga pantai Tiongkok.
Menurut Direktur Asia Maritime Transparency Initiative, Gregory Poling, hal ini menandakan bahwa Beijing tidak akan mengubah kebijakan luar negerinya di Laut China Selatan meskipun Duterte bersikap baik padanya. Dari sini, AS dan Filipina melihat konvergensi kepentingan yang dapat menguntungkan kedua pihak.
Kerja sama antara Filipina dan AS ini semakin terlihat dengan kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Manila. Berbagai latihan bersama antara militer AS dan Filipina juga mulai dilakukan. Diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) pun dilakukan oleh AS, Jepang, India, dan Filipina guna menunjukkan eksistensinya di Laut China Selatan.
Bagi Filipina, kerja sama yang dilakukannya dengan AS merupakan bentuk dari balancing internal – di mana negara tersebut memperoleh peningkatan kapabilitas dalam menghalau pengaruh Tiongkok di Laut China Selatan. Di sisi lain, upaya ini merupakan balancing eksternal bagi AS dengan menggaet negara-negara lain.
Lalu, bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah kunjungan Shanahan merupakan pertanda bahwa AS mulai menggaet Indonesia juga?
Jokowi Butuh AS?
Hampir sama dengan Filipina, Indonesia juga disebut-sebut semakin condong ke Tiongkok. Tentu merupakan hal yang wajar karena pemerintahan Jokowi sendiri sering kali mencari dana pinjaman dari negara tersebut guna mendukung pembangunan infrastruktur.
Bahkan, kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu diprediksi juga akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi Tiongkok untuk berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan di Indonesia. Pada April lalu, pemerintahan Jokowi juga telah mempersiapkan daftar proyek yang ditawarkan dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok.
Namun, meskipun Poros Maritim Dunia (PMD) ala Jokowi dianggap sejalan dengan BRI, ancaman bagi doktrin tersebut juga datang dari Tiongkok. Pada tahun 2016 misalnya, sebuah insiden antara Indonesia dan Tiongkok di Laut Natuna Utara terjadi.
Pemerintahan Jokowi pun merespons dengan tegas dengan membangun pangkalan militer dan mengganti nama laut tersebut menjadi Laut Natuna Utara. Jokowi sendiri melakukan kunjungan ke wilayah tersebut sebagai ekspresi tegas bahwa wilayah tersebut milik Indonesia.
Selain itu, pendayagunaan wilayah laut tersebut juga ditingkatkan dengan pembangunan infrastruktur perikanan, seperti lemari pendingin bagi penyimpanan ikan. Uniknya, upaya balancing Indonesia ini juga terlihat dengan peran Jepang – sebelumnya gagal memenangkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya diserahkan pada Tiongkok – di baliknya dengan memberikan dana pinjaman dalam pembangunan tersebut.
Selain Jepang, upaya balancing Indonesia pun terlihat dari kunjungan Shanahan beberapa waktu lalu. Keputusan AS untuk menjalankan latihan bersama dengan Kopassus merupakan manuver yang dapat menguntungkan pemerintah Indonesia, katakanlah kepentingannya untuk meningkatkan upaya kontra-terorisme.
Di sisi lain, Jokowi juga mempertimbangkan untuk membeli beberapa pesawat tempur dari perusahaan Lockheed Martin asal AS. Tentunya, jika benar terjadi, pesawat-pesawat tempur F-16 yang baru dapat meningkatkan pertahanan Indonesia, terutama terpenuhinya kepentingan pemerintahan Jokowi untuk melakukan modernisasi alutsista.
Dengan kata lain, keputusan-keputusan Jokowi terkait AS dan Jepang dapat berujung pada meningkatnya pengaruh negara-negara tersebut di Indonesia. Namun, apakah kunjungan Shanahan ke Indonesia benar-benar hanya merupakan upaya balancing? Ataukah terdapat kepentingan Jokowi tersendiri di baliknya?
Bisa jadi, keputusan Jokowi untuk menyerap pengaruh AS dan Jepang di Indonesia merupakan upaya untuk mengamankan posisinya terkait Pilpres 2019 lalu. AS dan Jepang sendiri sebelumnya pernah geram terhadap keputusan dan kebijakan Jokowi yang dianggap terlalu condong ke Tiongkok.
Dalam hal ini, meningkatnya pengaruh Jepang dan AS bisa jadi menjadi penegasan bahwa jabatan Presiden Jokowi memiliki legitimasi yang jelas. Katakanlah, untuk menghindari campur tangan negara-negara tersebut terhadap Pemilu 2019.
Tentunya, keterkaitan AS dan Jepang dengan Pemilu 2019 tersebut belum dapat dipastikan. Yang jelas, meningkatnya pengaruh AS di Indonesia dapat menjadi manuver baru bagi pemerintahan Jokowi yang sebelumnya dianggap sangat condong ke Tiongkok.
Jika benar bila manuver Jokowi ini dilakukan guna mewujudkan balancing, lirik rapper J. Cole di awal tulisan pun menjadi relevan. Bisa jadi, pemerintah mulai sadar dengan kebijakan-kebijakan yang terlalu condong ke Tiongkok. Lagi pula, keseimbangan adalah kunci dari kehidupan, bukan begitu? (A43)