Munculnya wacana cohabitation antara Jokowi dan Prabowo menjadi narasi politik terbaru pasca kerusuhan 22 Mei 2019. Dianggap sebagai solusi kebuntuan politik, “pemerintahan bersama” ini memang berbeda dengan aplikasi tekstual yang terjadi di negara-negara semi-presidensial. Namun, model pemerintahan ini tentu akan mendatangkan “korban” dari faksi politik tertentu jika dipaksakan. Akankah Jokowi berani mengambil jalan tersebut?
PinterPolitik.com
“Once you’ve built the big machinery of political power, remember you won’t always be the one to run it”.
:: P. J. O’Rourke, satiris dan jurnalis AS ::
Kisah kekuasaan dengan lebih dari satu pucuk pimpinan memang menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Ada yang berhasil – misalnya Triumvirat pertama di era Romawi yang berisi Gaius Julius Caesar, Gnaeus Pompeius Magnus (Pompey Agung) dan Marcus Licinius Crassus – namun ada juga yang gagal dan berujung pada kekacauan politik seperti yang terjadi pada Konstantin Agung dan Licinius.
Kini, perdebatan tentang kekuasaan dengan konteks serupa muncul dalam dunia politik Indonesia, terutama pasca kericuhan yang terjadi pada 22 Mei 2019 lalu. Adalah wacana cohabitation yang muncul dan disebut sebagai jalan keluar kebuntuan politik nasional yang belakangan makin sering mengarah ke konfrontasi.
Cohabitation itu sendiri diartikan sebagai sebuah model pemerintahan di mana penguasa eksekutif – dalam hal ini presiden – dan penguasa di parlemen berasal dari partai-partai yang berbeda. Secara tekstual, hal ini berarti secara tidak langsung akan ada dua kekuatan dalam pemerintahan.
Model pemerintahan ini dianggap mampu mengakomodasi kepentingan semua yang bertarung dalam kontestasi elektoral dan umumnya terjadi di negara-negara yang menganut sistem semi-presidensial – di mana ada presiden dan perdana menteri di dalamnya. Sekalipun demikian, wacana ini oleh beberapa pihak dianggap bisa dilaksanakan tanpa menggunakan model tekstual tersebut.
Konsep ini salah satunya dituliskan oleh Imron Cotan, mantan Duta Besar RI untuk Australia (2003-2005) dan Tiongkok (2010-2013) di The Jakarta Post. Imron menyebutkan bahwa kondisi politik yang saat ini dihadapi oleh Indonesia sudah cukup memprihatinkan, mengingat konfrontasi yang terjadi sudah melibatkan jatuhnya korban jiwa.
Apalagi, cara untuk kembali menyatukan bangsa dianggap sulit terwujud begitu saja tanpa adanya kerelaan untuk merangkul lawan, atau sebaliknya kerelaan untuk berkorban. Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno disebut tidak akan menerima begitu saja hasil Pilpres 2019 ini.
Sementara pada saat yang sama, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin yang keluar sebagai pemenang dianggap belum cukup mampu merangkul semua pihak yang “terluka” dengan hasil pilihan pemimpin ini.
Oleh karena itu, Imron menawarkan cohabitation sebagai solusi atau jalan tengah persoalan ini. Negara ini memang pernah menganut sistem parlementer di era Soekarno, namun konteks pelaksanaan kekuasaan yang kompromistis dengan dua ujung kekuasaan yang berbeda belum pernah terjadi.
Konteks kompromi kekuasaan ini sebetulnya juga digariskan lagi oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam salah satu rekaman video yang diputar saat acara buka bersama elite-elite Partai Demokrat beberapa hari lalu.
SBY misalnya menyebutkan keberadaan pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan komunikasi terjadi antara kubu Prabowo-Sandi dengan kubu Jokowi-Ma’ruf Amin.
Meski tak menyebut secara terbuka tentang cohabitation, pernyataan Presiden ke-6 RI tersebut tentu dimaksudkan sebagai jalan politik untuk mengakhiri konfrontasi yang telah menimbulkan korban jiwa. SBY tentu paham betul seperti apa konteks ujung konfrontasi politik yang terus terjadi jika tak ada jalan keluar bersama.
Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah cohabitation politik ini terjadi? Jika terjadi, faksi mana yang akan menjadi “korban” perimbangan kekuasaan ini?
Cohabitation, Solusi Kebuntuan Politik?
Istilah cohabitation dalam politik memang hal yang cukup unik. Terminologi ini berasal dari bahasa Latin, co- yang berarti “bersama”, dan habitare yang berarti “tinggal”. Dalam aplikasinya, cohabitation umumnya dipakai untuk menyebut pasangan – laki-laki dan perempuan – yang tinggal bersama tanpa hubungan perkawinan. Mungkin dengan pengertian yang serupa, istilah ini diadopsi dalam model pemerintahan.
Jean V. Poulard dalam salah satu tulisannya untuk jurnal Political Science Quarterly, menyebutkan bahwa Prancis adalah negara tempat model pemerintahan cohabitation muncul.
Tepatnya pada 1986, terjadi sejarah baru dalam pemerintahan Republik Kelima Prancis ketika ada sharing atau pembagian kekuatan pemerintahan antara Presiden Franqois Mitterrand yang berasal dari kelompok sosialis, dengan Perdana Menteri Jacques Chirac dari kelompok kanan yang didukung oleh mayoritas suara di National Assembly atau parlemen rendah Prancis.
Gagasan ini awalnya dipandang sebelah mata dan dianggap akan lebih banyak menimbulkan kontroversi dan tak akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan negara, pun akan lebih banyak menghasilkan guncangan politik. Nyatanya, model pemerintahan ini mampu bertahan hingga Pemilu Presiden di tahun 1988.
Konteks cohabitation sebagai kompromi kekuasaan ini memang sedang diupayakan. Persoalannya adalah ada pihak-pihak yang tidak menginginkan hal tersebut terjadi, kemungkinan besar berasal dari koalisi Jokowi sendiri. Share on XKonteks dua pucuk kekuasaan ini memang menjadi anomali tersendiri, terutama bagaimana Prancis bisa melakukan cohabitation tersebut. Pasalnya, power yang dimiliki oleh presiden dan perdana menteri hampir sama kuatnya.
Cohabitation di Prancis ini menurut Poulard dapat terjadi karena konstitusi negara ini memungkinkannya, di mana pasca Prancis memasuki Republik Kelima dan berubah menjadi negara semi-presidensial – setelah sebelumnya juga menganut adanya dual kekuasaan dengan perdana menteri sebagai salah satunya – ada perimbangan kekuasaan yang muncul.
Jika sebelumnya posisi perdana menteri hanya dianggap sebagai pelengkap alias le second personnage de l’executif, maka dalam model cohabitation posisi tersebut punya kapasitas politik yang lebih besar. Presiden mempertahankan hak prerogatif yang diberikan oleh konstitusi kepadanya, tetapi juga bahwa perdana menteri bisa memerintah sesuai dengan pandangannya sendiri.
Dalam situasi ini, presiden – meskipun tidak lagi dominan – tetap menjadi presiden yang kuat. Poulard juga mengatakan bahwa jika mengikuti konstitusi Prancis, posisi presiden bisa disebut sebagai arbitrator atau penengah yang pada titik tertentu justru bisa memaksakan kehendaknya.
Namun, posisi ini sebetulnya hanya menjadi kompromi politik agar posisi pemerintah tetap kuat, sementara lawan politiknya juga bisa sama kuat. Mengingat Prancis adalah negara yang punya sejarah panjang terhadap “buruknya” kekuasaan yang sentral pada satu tokoh atau kekuatan politik tertentu, maka sangat mungkin cohabitation menjadi jalan tengah terhadap konteks mencegah kebangkitan kekuasaan tunggal yang terlalu kuat.
Selain Prancis, dalam konteks perimbangan kekuasaan dan kompromi politik, model cohabitation ini juga dianut oleh beberapa negara dengan model pemerintahan semi-presidensial.
Timor Leste adalah salah satu contoh bagaimana kekuasaan perdana menteri dan presiden menjadi dua pucuk kekuasaan tertinggi di negara tersebut, sekalipun pada pelaksanaannya tidak jarang justru melahirkan tarik-menarik kepentingan.
Lalu, apakah mungkin model pemerintahan ini diaplikasikan di Indonesia?
Secara tekstual dan definitif memang tidak mungkin. Saat ini tidak ada sosok perdana menteri dalam model pemerintahan di Indonesia dan konstitusi negara juga tidak mengatur hal tersebut. Namun, jika yang menjadi intisari cohabitation adalah kompromi kekuasaan, maka sebetulnya ide ini bisa saja diwujudkan. Syaratnya adalah keberanian pemimpin terpilih untuk merangkul lawannya.
Apalagi, sistem demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998 cenderung tidak mengenal istilah the winner takes it all – pemenang mendapatkan semuanya – meminjam lagu dari grup legendaris, ABBA. Artinya, cohabitation bisa terjadi dalam konteks kompromi kekuasaan, katakanlah jika Jokowi berani dan merangkul tokoh-tokoh dari kubu Prabowo-Sandi masuk ke pemerintahannya untuk jabatan tertentu.
Berani Jokowi Depak PDIP?
M. Yasin al-Arif dari Universitas Islam Indonesia dalam tulisannya di Jurnal Hukum Ius Quia Iustum menyebutkan bahwa sistem presidensial di Indonesia pada dasarnya tidak “kuat” sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Pasalnya, meski presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, posisi parlemen tetap kuat.
Konteks ini menunjukkan bahwa perimbangan kekuasaan dan kompromi wajib terjadi untuk menjamin program-program dan kebijakan yang ingin dilaksanakan bisa terwujud.
Namun, jika berkaca pada kondisi politik sebagai hasil keluaran Pemilu 2019 – terlepas dari isu dugaan kecurangan di belakangnya yang masih kuat dinarasikan – Jokowi sebetulnya berada pada posisi yang sangat diuntungkan secara politik. Pasalnya, mantan Wali Kota Solo itu memenangkan kursi RI-1 lagi, sementara koalisi pendukungnya menguasai kursi mayoritas di parlemen.
Artinya, secara politik Jokowi sebetulnya telah memenangkan segalanya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di 2014 lalu, di mana Koalisi Merah Putih milik Prabowo menjadi penguasa di parlemen. Secara teoritis, kondisi di 2019 ini tentu membuat semua orang menyebut Jokowi akan “nyaman”.
Faktanya, hal sebaliknyalah yang berpotensi terjadi, terutama jika kondisi ini tidak dikelola dengan baik. Jokowi sebenarnya tahu betul potensi terjadinya hal ini dan secara personal sedang mengupayakan kompromi kekuasaannya.
Pertemuannya dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya, adalah salah satu bentuknya. Pun dengan pertemuan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Prabowo yang oleh Jokowi disebut terjadi atas keinginannya.
Artinya, konteks cohabitation sebagai kompromi kekuasaan ini memang sedang diupayakan. Persoalannya adalah ada pihak-pihak yang tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Sangat mungkin kubu yang tidak menginginkan hal ini adalah koalisi Jokowi sendiri.
Pasalnya, secara politik mereka tentu merasa paling berhak “menikmati” kekuasaan yang berhasil diraih lagi. PDIP misalnya, sangat mungkin menjadi partai yang akan sangat berat menyetujui kompromi politik, apalagi cohabitation.
Dalam pernyataannya, SBY misalnya sempat menyinggung lawan-lawan politik yang pernah dihadapinya, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sekalipun menyebut tetap bersahabat, namun semua orang tahu bahwa dua kekuatan politik ini bagaikan minyak dan air yang sangat sulit untuk bersatu – entah apa alasan di belakangnya.
Dengan demikian, sekalipun secara konstitusional cohabitation tidak mungkin terwujud, namun dalam konteks cara untuk mencegah konfontasi, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Jika itu adalah hal yang diinginkan oleh Jokowi, maka bukan tidak mungkin pilihan “mendepak” PDIP bisa terjadi. Tapi apakah pria kelahiran Solo itu berani melakukannya?
Agaknya memang cukup sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Pasalnya, baik Jokowi – yang ingin lepas dari status “petugas partai” – maupun Prabowo adalah sosok-sosok yang memenangkan dukungan berkat citra diri mereka, bukan karena partai. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)