Surat Perintah Penyidikan kepada Prabowo dikirimkan dini hari tadi. Prabowo sempat dilaporkan sebagai tersangka makar bersama Eggi Sujana, meski akhirnya SPDP-nya ditarik. Jika benar nantinya Prabowo akan menjadi tersangka, maka akan menjadi balada politik di tahun tahun mendatang, yang mampu memicu gelombang besar di Indonesia.
PinterPolitik.com
Kasus dugaan makar yang terus diarahkan kepada kubu penantang terus berlanjut, jika sebelumnya Kivlan Zen, Lieus Sungkharisma, Permadi dan Eggi Sujana, kali ini capres nomor urut 02 yang disasar. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk Prabowo Subianto dikirimkan dini hari Selasa, 21 Mei 2019 sekitar pukul 01.30.
Surat tersebut diterbitkan oleh Wadirreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Ade Ary Syam pada 17 Mei. Prabowo dikategorikan sebagai terlapor atas dugaan makar dengan pasal yang akan dijeratkan yaitu 107 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP junto Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 dan /atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Hukum Pidana.
Penersangkaan Eggi Sujana diketahui dengan menyelidiki upaya makar pada 17 April lalu di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. SPDP tersebut adalah tembusan dan pengembangan kasus dugaan makar yang dilakukan oleh Eggi Sujana.
Senin malam, Prabowo berusaha menjenguk dua rekannya, yaitu Eggi Sujana dan Lieus Sungkharisma di Polda Metro Jaya. Tentu Prabowo tahu bahwa jam tersebut bukan jam besuk yang hanya sampai pukul 15.00 WIB, sedang Prabowo dan timnya datang pada pukul 21.00 WIB. Sehingga tidak diizinkan masuk, Prabowo membawa narasi kemanusiaan dan kondisi kesehatan dari Lieus yang terkena stroke.
Silang menyilang Prabowo dan isu makar ini menjadi meruncing ketika SPDP tersebut dikirimkan. Setengah jam kemudian KPU mengumumkan kemenangan dari Paslon 01 yang seharusnya dilakukan besok sesuai jadwal resmi KPU sendiri.
Meski masih pada akhirnya SPDP tersebut ditarik oleh kepolisian, surat tersebut sudah menjadi gejala yang tidak baik di iklim yang memanas ini. Apabila nantinya dalam perkembangan Prabowo benar menjadi tersangka di kasus makar, maka ini akan menjadi etape baru politik Indonesia.
Prabowo Tersangka, Rakyat Bergerak
Jika benar nantinya Prabowo akan terseret di kasus makar ini, dan menjadi tersangka, dipastikan akan ada gelombang demo yang besar, datang dari para loyalis Prabowo yang di Pemilu 2019 ini makin menemukan momentumnya, dan semakin mengeras sebagai pendukung Prabowo.
Terlepas dari benar atau salah di mata hukum, bahwa penersangkaan tersebut pasti akan dipersepsi sebagai sebuah permainan politik, sehingga banyak yang akan melihat Prabowo memang sengaja dikriminalisasi sebab dia berposisi sebagai oposisi, kritis terhadap pemerintah, lawan politik Pemerintah.
Hal tersebut akan semakin menjadikan pendukung Prabowo solid untuk bergabung bersama membebaskan Prabowo. Mereka akan melihat ini sebagai sebuah tanda otoritarianisme, degradasi hukum, dan tidak tegaknya keadilan.
Berdasarkan jumlah pemilihnya yang bertengger di angka 44,50%, atau sekitar 68.650.239 suara yang diperolehnya, maka loyalis Prabowo ini sangat mungkin untuk merangsek dan masuk ke Jakarta mendemo Pemerintah.
Kasus paling dekat adalah ketika Persaudaraan Alumni 212 yang di mana Prabowo dan para orang di sekitarnya menjadi tokoh sentral di dalamnya. Di demo tersebut, mereka mampu menghadirkan banyak massa datang ke Jakarta untuk mendemo Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat itu.
Gelombang tersebut banyak dipasok dari Jawa dan Sumatera sebagai dua pula dengan tingkat kedekatan paling tinggi dengan Ibu Kota Indonesia. Prabowo-Sandi sendiri menang telak di Jawa Barat dengan mendapatkan 16.077.446 suara, juga di Banten sebesar 4.059.514, meski kalah di Jawa Timur Prabowo-Sandi tetap menggondol 8.441.247, dari DKI Jakarta sebesar 3.279.547 suara dan 4.944.447 suara Jawa Tengah. Dari total jumlah tersebut, bisa saja ada banyak massa yang bisa dikerahkan ke Jakarta.
Kemerosotan Ekonomi
Dengan demo yang berduyun-duyun datang saja sudah dipastikan akan mewujud kekacauan nasional, dan hal ini bisa diperparah dengan kondisi pertumbuhan ekonomi global yang diprediksikan akan turun bahkan terjadi siklus krisis ekonomi nantinya. Krisis ini menjadi tamparan goncangan terbesar Pemerintah, sebab masyarakat akan mengalaminya langsung.
Awan mendung ekonomi Indonesia masih menggelayut. Sri Mulyani sendiri mengatakan bahwa masih banyak mara bahaya, bahwa pasar modal masih diwarnai dengan potensi resesi dunia. Perang dagang AS dan Tiongkok juga memberikan ketidakpastian ekonomi domestik.
Suku bunga Bank Sentral AS, The Fed juga cenderung naik, dengan jumlah peredaran uang yang semakin ketat, maka akan berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, terlebih di dunia properti.
Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi global hanya akan berkisar di angka 2,9% saja dari 3%. Tiongkok yang sebelumnya diprediksi akan tumbuh 6,5% harus direvisi hanya menjadi 6% saja. Bahkan Eropa hanya akan tumbuh 1,1%.
Lapangan pekerjaan di AS juga hanya tumbuh sekitar 20.000 saja di Februari tahun ini. Lansiran Bloomberg memprediksikan 180.000 sebagai jumlah ideal nyatanya meleset. Ekspor Tiongkok juga turun 21% sebab perang dagang yang terjadi.
Impor Jerman juga mengalami penurunan, amblas 1,6% di angka 103,6 miliar USD, begitupun ekspornya turun 1,3% menjadi hanya 110,9 miliar USD.
Chief Economic World Bank, Fredetico Gil Sander juga mengoreksi proyeksi ekonomi Indonesia menjadi hanya 5,2% pada 2019 ini. Disebut faktornya karena Pemerintah Indonesia tidak melakukan perluasan belanja APBN, dan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Prabowo Tersangka, Indonesia Revolusi nih! Share on XDan kondisi ini akan terus berlangsung sebab terjadi kepemilikan asing teradap obligasi pemerintah yang masih tinggi, defisit transaksi berjalan mengalami pelebaran dan cadangan devisa masih tergerus berdasarkan laporan dari Fitch Ratings.
Juga terjadi pertumbuhan investasi yang datar, sebab meningkatnya harga peminjaman karena kenaikan suku bunga acuan, walhasil banyak pengusaha tidak berani melakukan ekspansi bisnis. Dan diperparah dengan kebijakan pajak yang banyak dinilai tidak menguntugkan pebisnis kelas menengah.
Lembaga konsultan property dari Australia, Savills mengungkapkan bahwa terjadi kekosongan pasar perkantoran di area CBD Jakarta, yang mencapai 18,4%, naik 2,7%. Pusat perbelanjaan juga semakin sepi, mencapai 10,8% di 2017.
Charles Hugh Smith di tulisannya berjudul Of Two Minds memprediksikan di kisaran tahun 2020 akan terjadi 4 interseksi besar siklus dunia. Yaitu harga dan pertarungan minyak bumi, siklus 70 tahunan ekspansi kredit, pergeseran generasi, siklus 100 tahun inflasi dan stagnansi gaji, termasuk perang, konflik, dan kelaparan. Pertemuan seluruh variabel tersebut berlangsung per 80 tahunan, yang akan terjadi di kurun 2020-2022.
Masyarakat Bergerak
Melihat tingkah Pemerintah yang kian agresif, dan terjadinya kemerosotan ekonomi, maka dipastikan masyarakat baik kubu Jokowi maupun Prabowo akan ikut bergerak, sebab mereka turut merasakan kesusahan seahari hari.
Faktor represi dan ekonomi selalu menjadi dua kunci utama di goyangan kepada pemerintah manapun. Maka gelombang protes terhadap pemerintah tidak lagi sekedar sebab sikap keras pemerintah terhadap oposisi, namun juga karena kegagalan mengurus ekonomi.
Kasus di mana oposisi dijerat dengan kasus hukum banyak terjadi di negara-negara lain. Contoh gerakan paling revolusioner adalah gerakan yang dilakukan oleh rakyat Iran menentang pemerintah yang lalim bersama Ruhollah Khomeini.
Khomeini dipenjara selama 14 tahun oleh Pemerintah berkuasa saat itu Reza Pahlavi Shah, raja dari Monarki Persia. Jerat hukum kepada Khomeini bermula dari perlawanannya terhadap revolusi putih kebijakan ekonomi politik yang digulirkan oleh Shah. Protes Khomeini berujung pada bui.
Di tahun 1979, Khomeini bersama gerakan sayap kiri bersatu melawan pemerintah. Terjadi inflasi yang begitu tinggi mulai tahun 1975 sebab terjadi kejatuhan harga minyak. Dan kurun 1977-1978 terjadi kontraksi hebat dan penurunan ekonomi yang menjadikan masyarakat semakin muak, menurut sejarawan Amerika Crane Brinton.
Clifton B. Kroeber di tulisannya berjudul Theory and History of Revolution mengatakan bahwa gerakan masyarakat untuk mengadakan revolusi dan memberontak terhadap pemerintahan yang ada disebabkan salah satu faktor utamanya yaitu krisis ekonomi. Dan hal tersebut yang mungkin terjadi di Indonesia di masa mendatang.
Sebagai tambahan, masyarakat Indonesia selalu berpihak pada mereka yang dikenai narasi dizalimi. Corak antropologi ini khas milik orang Indonesia. Sehingga rumusan pemantik dari otoriter dan krisis ekonomi ketika bertemu dengan kekhasan masyarakat Indonesia, akan menjadi satu variabel tambah mengapa revolusi sangat mungkin terjadi.
Maka simpulannya akan berbunyi seperti logika implikasi, jika Prabowo dijadikan tersangka, dan terjadi krisis ekonomi, maka bisa saja terjadi revolusi di Indonesia. Pernyataan tersebut bisa salah bisa benar, tapi kondisi ini pernah terjadi sebelumnya di belahan bumi lainnya. Oleh karena itu, idealnya aparat keamanan bisa bertindak hati-hati dalam menangani oposisi terutama tokoh sekaliber Prabowo. (N45)