Jokowi-Ma’ruf menjadi pusat perhatian setelah melaporkan dana kampanye Pemilu 2019 mereka sekitar Rp606 miliar. Adapun yang mengejutkan adalah nilai sumbangan dari kelompok pengusaha dan perusahaan mencapai Rp504 miliar dari total dana kampanye.
Pinterpolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]im Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo atau Jokowi-Ma’ruf Amin telah memberikan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada beberapa waktu lalu. TKN mencatat, dana kampanye pada Pemilu 2019 mencapai Rp606 miliar.
Selama masa kampanye, dana itu sudah terpakai sebesar Rp601 miliar dengan menyisakan saldo sekitar Rp1 miliar dan Rp3 miliar dalam bentuk barang. TKN mengklaim pengeluaran terbanyak dana kampanye digunakan untuk biaya operasional senilai Rp597 miliar.
Sementara itu, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mencatat dana kampanye yang terkumpul pada Pemilu 2019 mencapai Rp213,2 miliar. Adapun dari dana kampanye tersebut telah digunakan senilai Rp211,5 miliar.
Anggaran dana kampanye BPN itu digunakan untuk bahan kampanye senilai Rp60,8 miliar atau 29% dari total pengeluaran. Selain itu, kegiatan lain yang tidak melanggar aturan kampanye dan perundang-undangan senilai Rp40,7 miliar (20%), rapat umum senilai Rp33,7 miliar (16%), pertemuan tatap muka Rp21,07 miliar (10%), pembuatan desain alat peraga kampanye Rp8,8 miliar (4%), pertemuan terbatas Rp 5,3 miliar (3%), iklan di media massa Rp396,13 juta (2%), pengeluaran lain-lain mencapai Rp36,93 miliar (16%).
Karena ada kendala dalam memasukkan data-data keuangan ke sistem IT dan aplikasi pelaporan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka sore ini saya melaporkan secara manual penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Pilpres 2019. pic.twitter.com/nxJLrJaJ1W
— Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) May 2, 2019
Untuk diketahui, dana kampanye Pemilu 2019 mengalami kenaikan drastis dibandingkan dengan periode 2014. Pada 2019, total dana kampanye kedua pasangan sekitar Rp819 miliar, sedangkan pada 2014 hanya sekitar Rp478 miliar. Dana kampanye 2019 naik sekitar 71,33% dibandingkan dengan Pemilu 2014.
LPDKK mencatat pada Pemilu 2014 lalu jumlah dana kampanye pasangan Jokowi-Jusuf Kalla mencapai Rp312,3 miliar. Dari jumlah tersebut, Kubu Jokowi-JK menghabiskan dana kampanye sekitar Rp294 miliar. Sedangkan, Prabowo-Hatta Rajasa pada Pemilu periode sebelumnya dapat menghimpun sumbangan mencapai Rp166,5 miliar dan menghabiskan seluruh dana tersebut dalam kampanye.
Adapun jika membandingkan dengan dana kampanye Pemilu lalu, saat ini masing-masing Capres memperoleh jumlah sumbangan yang naik signifikan. Dana kampanye Jokowi pada Pemilu Capres 2019 terhitung naik sekitar 93% dibandingkan dengan periode 2014, sedangkan dana Prabowo naik sekitar 73%.
Relasi Politisi dan Pengusaha Berbahaya
Dilansir dari Bisnis Indonesia, Bendahara TKN Sakti Wahyu Trenggono melapor telah menerima sumbangan pada Pemilu 2019 dari berbagai sumber seperti partai pengusung senilai Rp79 miliar dan perorangan Rp21 miliar. Adapun sumbangan terbanyak datang dari badan usaha non-pemerintah yang terdiri dari sebanyak 40 perusahaan memberi Rp253 miliar. Penyumbang terbesar kedua datang dari 17 kelompok masyarakat yang didominasi oleh pengusaha memberi dana kampanye sekitar Rp251 miliar.
TKN memang mengakui sumbangan terbanyak dana kampanye diberikan oleh kelompok dan perusahaan. Tercatat gabungan dana kampanye dari kelompok dan perusahaan ini mencapai Rp504 miliar.
Sumbangan senilai Rp504 miliar tersebut mendapatkan respon beragam dari masyarakat. Sebagian memaklumi jika demokrasi membutuhkan biaya yang tinggi. Akan tetapi, sebagian yang lain mempertanyakan total dana kampanye Jokowi itu digunakan untuk apa?
Selain itu, masyarakat khawatir bila Jokowi berhasil memenangkan Pemilu, dia kelak menjadi “boneka” para pengusaha dan perusahaan yang telah menyumbang besar untuk dana kampanye.
Rasa khawatir ini tentu beralasan, berbagai pihak mungkin telah belajar dari kasus yang pernah terjadi di Korea Selatan. Kedekatan antara politisi dan korporasi Korea Selatan menyebabkan berbagai kerugian negara. Bahkan, lima presiden Korea Selatan harus mendekam di penjara karena terlibat praktik suap dan korupsi yang berhubungan dengan perusahaan.
TKN mengakui sumbangan terbanyak dana kampanye diberikan oleh kelompok dan perusahaan. Tercatat gabungan dana kampanye dari kelompok dan perusahaan ini mencapai Rp504 miliar. Share on XAdapun contohnya seperti mantan Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak (2008-2013) yang mendapatkan hukuman 15 tahun penjara karena menerima suap dari berbagai perusahaan. Salah satu yang menyuap Lee adalah anak perusahaan Samsung. Mereka rela membayar Lee agar salah satu pimpinan mereka yang dipenjara mendapat keringan hukuman.
Selain itu, mantan Presiden Korea Selaran Roh Tae-woo (1988-1993) harus di penjara 17 tahun menerima suap sekitar Rp4,1 triliun dari 30 konglomerat. Salah satunya Daewoo Corporation sempat menyuap Roh US$31 juta agar dapat memenangkan tender proyek kapal selam di dekat pelabuhan Pusan.
Kedekatan antara pengusaha dan politisi tidak hanya terjadi di lingkaran Presiden Korea Selatan. Hal ini juga terjadi kepada Perdana Menteri Korea Selatan Lee Wan-koo. Padahal tugas dia sebagai perdana menteri kebanyakan hanya untuk acara seremonial.
Pada 2015, Lee Wan-koo mengundurkan diri sebagai perdana menteri karena diduga terlibat skandal dana kampanye dengan Sung Wan-Jong mantan pimpinan perusahaan konstruksi. Kendati Lee Wan-koo membantah telah menerima suap, dia terpaksa mengundurkan diri karena berbagai tekanan yang diterima.
Jurnalis senior Kevin Kim dalam tulisan yang dimuat oleh BBC mengatakan salah satu faktor yang mendorong korupsi di Korea Selatan adalah “budaya” membayar uang untuk mendapatkan keuntungan bisnis yang sudah “terlembagakan” sejak Park Chung-hee menjabat presiden pada 1961.
John Girling dalam tulisan berjudul Corruption, Capitalism and Democracy sudah mengingatkan semua pihak terkait bahayanya relasi yang dekat antara politisi dan pengusaha. Relasi antara keduanya lebih rentan terhadap kasus suap dan korupsi. Kesepakatan antara politisi dan pebisnis ini dapat terjadi karena masih kuatnya politik uang dalam kontestasi politik elektoral.
Dia berpendapat bukan menjadi rahasia umum jika politisi yang ingin memenangkan pemilihan memerlukan modal yang tidak sedikit. Sedangkan, pebisnis yang memiliki modal bersedia mendukung sang politisi secara finansial dengan catatan politisi itu bersedia membagi-bagi proyek negara kepada para pebisnis.
Politik Balas Budi
Meski masing-masing dana kampanye Capres meningkat tajam, akan tetapi bila diperhatikan patungan pihak Jokowi naik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan Prabowo.
Seperti diketahui, Prabowo dan Sandi menjadi penyumbang terbesar dana kampanye pada Pemilu 2019 dengan jumlah senilai Rp192,5 miliar. Menurut perkiraan, Sandi mengeluarkan dana sekitar Rp 115,5 miliar, sedangkan Prabowo sekitar Rp77 miliar.
Kembali ke peta dana kampanye 2019 dapat ditarik kesimpulan jika Jokowi seperti sangat bergantung pada sumbangan perusahaan dan kelompok pengusaha. Sedangkan, Prabowo tidak tergantung dengan perusahaan karena melalui keuangannya dan Sandi sudah mampu untuk mengatasi persoalan dana kampanye.
Seluruh Partai Politik dan Pasangan Calon telah menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pemilu 2019. Kemudian Kantor Akuntan Publik melakukan audit kepatuhan atas LPPDK Peserta Pemilu Tahun 2019. #KPUMelayani pic.twitter.com/6TkvVPHRr4
— KPU RI (@KPU_ID) May 6, 2019
Dengan demikian, patut diperhatikan adalah posisi kelak Jokowi jika berhasil menjadi presiden. Akankah Jokowi terhindar dari politik balas budi kepada pengusaha dan korporasi ini?
Sebelum itu, perlu diingat bila dalam pemilu 2014 lalu Jokowi memiliki citra sebagai calon pemimpin yang sederhana dan merakyat. Bahkan dia mengumpulkan sebagian uang dari rakyat untuk membiayai kampanye. Ketika itu, Jokowi memang tidak jaringan yang luas terhadap pengusaha dan korporasi seperti saat ini. Jokowi juga tercatat tidak memiliki kekayaan seperti para pesaingnya pada 2014 sehingga memerlukan bantuan keuangan untuk kampanye.
PDIP selaku partai pengusung Jokowi pada Pemilu 2014 memberikan dana kampanye itu bersama dengan koalisi. Dari total Rp312,3 miliar, 50% disumbangkan oleh PDIP dan koalisi seperti Nasdem, PKB, Hanura, dan lain-lain. Sedangkan, sisa sumbangan terbesar kedua dari perusahaan dan ketiga dari perorangan.
Dalam hubungan pengusaha dan penguasa, para pengusaha dan perusahaan ini sebenarnya ingin mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbisnis. Adapun kemudahan ini semisal insentif pajak, perizinan, gampang memperoleh bahan baku, ongkos logistik murah, kebijakan setingkat peraturan pemerintah yang menguntungkan.
Koordinator Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil & Bersih, Marwan Batubara menuntut agar dana kampanye diaudit. "Kami minta supaya dilakukan audit menyeluruh terhadap dana kampanye Pak Jokowi karena sangat kuat diduga menggunakan dana APBN, dana rakyat" https://t.co/THw0NaAkhN
— #RamadanMubarak (@arwidodo) May 5, 2019
TKN Jokowi-Ma’ruf dengan cepat mereka langsung menyanggah potensi politik balas budi itu. TKN menegaskan bahwa tidak ada upaya bagi-bagi proyek jika Jokowi berhasil menjadi presiden kendati penyumbang terbesar dari korporasi dan kelompok pengusaha.
TKN mengingatkan pengusaha atau pejabat yang bermain proyek dengan menyalahi aturan akan langsung berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. TKN menjamin seluruh data perusahaan dan pengusaha dilaporkan secara transparan sehingga tidak akan ada konflik kepentingan yang menjerat Jokowi.
Terkait perusahaan dan kelompok pengusaha yang memberikan sumbangan dana kampanye ini, TKN tidak menjawab secara rinci. TKN hanya menyebut salah satu perusahaan yang menyumbang, yakni PT Rakabu Sejahtera, perusahaan milik Jokowi yang saat ini dipimpin oleh kedua anaknya, yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Sedangkan, pengusaha yang menyumbang dana seperti dari kelompok PT Tower Bersama Infrastructure Grup Tbk dan Teknologi Riset Global Investama.
Akhirnya, dalam kasus dana kampanye ini, seandainya Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, dia harus transparan untuk menyebutkan siapa saja di balik 17 kelompok pengusaha dan sebanyak 40 perusahaan. Hal ini penting dilakukan agar berbagai pihak dapat mengawasi pengusaha dan perusahaan.
Adapun bila perusahaan tersebut bertindak-tanduk mencurigakan, masyarakat dapat melaporkan kasus itu. Akan tetapi, jika Jokowi tidak berani menyebutkan orang-orang tersebut, dia patut dicurigai memiliki kesempatan untuk menerapkan politik balas budi. (R47).