Wacana people power yang digembar-gemborkan memang menjadi tajuk utama politik nasional dalam beberapa pekan terakhir. Bukan hanya karena ketakutan yang ditimbulkan saja, tetapi juga karena dimensi narasi tersebut yang menjadi bagian lain dari lobi-lobi politik yang sedang terjadi di tingkatan elite. Faktanya, ujung kondisi nasional dan nasib negara dalam beberapa bulan ke depan akan sangat ditentukan oleh lobi-lobi tersebut.
PinterPolitik.com
“The essence of Government is power; and power, lodged as it must be in human hands, will ever be liable to abuse”.
:: James Madison (1751-1836), Presiden ke-4 AS ::
[dropcap]T[/dropcap]arik menarik kepentingan pasca hari pemungutan suara pada 17 April 2019 lalu memang menjadi narasi utama yang dominan terlihat di hampir setiap perbincangan politik yang ada. Setidaknya, hal itulah yang menjadi hulu dari debat-debat yang menghiasi panggung-panggung acara politik di televisi.
Di tengah sengkarut isu kecurangan Pemilu, kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin memang untuk sementara waktu ada dalam posisi yang lebih unggul – baik dalam konteks quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga, pun dalam real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan data masuk yang kini menyentuh angka 65 persen.
Dalam hitungan KPU tersebut, perolehan suara Jokowi-Ma’ruf kini unggul 56,1 persen berbanding 43,9 persen milik Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sekalipun by definition cukup sulit terjadi, namun people power dalam konteks gerakan massa, tetap saja mungkin terjadi. Apalagi, jika tudingan kecurangan Pemilu bisa dibuktikan dan benar adanya. Share on XSementara, kubu Prabowo-Sandi – sekalipun tertinggal dalam perolehan suara – juga masih memperlihatkan keunggulan posisi politik, setidaknya dalam hal narasi yang dilemparkan ke tengah masyarakat.
Bahkan, dalam konteks wacana politik dan serangan-serangan yang dibangun, kubu penantang ini lebih unggul dibandingkan petahana. Sejauh ini, Prabowo memang belum mengakui keunggulan Jokowi dan telah beberapa kali mendeklarasikan kemenangan dirinya.
Isu people power adalah salah satu di antaranya. Dengan pemaknaan istilah yang berujung pada revolusi, narasi ini tentu akan membuat siapa pun yang berhadapan dengannya mulai menghitung langkah dan bersikap was-was. Dalam hal ini, Jokowi sebagai petahana tentu sadar dampak yang akan terjadi jika aksi massa besar terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Presiden RI Ke-4 Pak SBY menyambut kami dari Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) Jumat pagi di RS NUH Singapore. Kami berkunjung utk bezuk dan berdoa utk Ibu Ani Yudhoyono yg sedang sakit di sana. Sbg negarawan Pak SBY memberi nasihat kebangsaan yg sangat mendalam kepada kami. pic.twitter.com/sbkc2IA4qv
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) May 3, 2019
Pasalnya, sebagai petahana, Jokowi tahu betul seperti apa rasanya ketika kekuasaannya “dirongrong”, katakanlah seperti yang terjadi di seputaran Aksi 212 pada akhir 2016 lalu – setidaknya demikian disebut oleh wartawan senior Amerika Serikat (AS), Allan Nairn.
Sehingga, ketika Ijtima Ulama III digelar – yang kebetulan digerakan oleh kelompok-kelompok utama yang sama dengan Aksi 212 – pertanyaan terkait akankah ada rekomendasi aksi massa protes pun muncul, seiring pemaknaan yang masih kabur dari konteks people power yang pertama kali diumbarkan oleh politisi senior PAN, Amien Rais.
Ijtima Ulama III memang kemudian tidak mengeluarkan rekomendasi yang jelas terkait gerakan massa, sehingga bisa dipastikan, bentuk wacana ini masih akan menunggu dinamika selanjutnya.
Hal itulah yang mungkin membuat Wakil Ketua DPP PAN Bara Hasibuan menyebutkan bahwa gagasan people power yang diwacanakan oleh seniornya, Amien Rais itu adalah konsep yang telah layu sebelum berkembang. Ia juga menyebutkan bahwa Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang sekaligus adalah besan Amien Rais, tidak pernah mengeluarkan statement terkait people power.
Pernyataan Bara tersebut tentu saja menarik, mengingat Amien Rais yang merupakan Ketua Dewan Kehormatan PAN adalah tokoh yang cukup dihormati di partai. Apalagi, people power merupakan konsep gerakan yang sering berujung pada perlawanan rakyat banyak terhadap penguasa yang dinilai otoriter dan sewenang-wenang, yang pada akhirnya menghasilkan pergantian rezim kekuasaan.
Dengan demikian, memang bisa dipastikan bahwa ada dua arah politik yang saling berseberangan dalam memandang people power – sekalipun dalam konteks Bara, tak dipungkiri ada latar belakang personal tertentu yang membuatnya mengambil sikap berbeda.
Walaupun demikian, faktanya beberapa pihak memang menyebutkan bahwa narasi people power ini tak lebihnya menjadi ujung negosiasi kepentingan di antara kubu-kubu yang saling bersaing.
Narasi tersebut menjadi alat untuk meningkatkan bargaining position di hadapan lawan demi menjaga peluang memenangkan kepentingan tertentu. Baik kubu Jokowi-Ma’ruf, maupun Prabowo-Sandi disebut memainkan hal yang sama. Pertanyaannya adalah benarkah demikian?
Lobi Elite di Tikungan Terakhir
Jika berbicara konteks pergantian kekuasaan di era kerajaan-kerajaan atau di negara yang masih menganut monarki absolut, maka salah satu lagu dari grup musik ABBA yang paling legendaris berjudul The Winner Takes It All sangat mungkin menjadi kenyataan. Yang menang akan mendapatkan semuanya. Apalagi jika konteks pergantian kekuasaan itu melibatkan pertumpahan darah.
Namun, judul lagu tersebut akan sulit terjadi di negara-negara yang menganut demokrasi dan yang pergantian kekuasaannya terjadi secara mulus, dengan semua kepentingan faksi yang bertarung memperebutkan pucuk kekuasaan bisa dinegosiasikan. Sang pemenang belum tentu “mendapatkan semuanya” dan sering kali harus rela mencapai konsesi dengan kubu lawan demi tercapainya stabilitas politik.
Hal itulah yang setidaknya terjadi saat ini di Indonesia. Transfer kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat lewat surat suara pada 17 April lalu, kini bertransformasi menjadi adu kuat lobi elite. Beberapa pihak bahkan menyebut Prabowo sebetulnya sudah “mengakui” keunggulan Jokowi, namun masih mengupayakan konsesi kepentingan.
Ini salah satunya disampaikan oleh Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas. Bahkan ia secara spesifik menyebut persoalan cost recovery atau “ganti rugi” pengeluaran yang terjadi selama gelaran Pemilu ini. Dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), kubu penantang ini menghabiskan total hingga Rp 213 miliar dengan sekitar Rp 192,5 miliar berasal dari Prabowo dan Sandi.
Konteks konsesi ini juga ditulis oleh jurnalis asal Selandia Baru, John McBeth di portal Asia Times. Menurutnya, ada dua kemungkinan Prabowo tetap keras bersikap dan mendeklarasikan kemenangannya, yaitu bahwa ia yakin kecurangan Pemilu telah terjadi atau bahwa konsesi di antara kedua pihak belum tercapai.
Artinya, memang lobi-lobi elite ini akan menjadi kunci situasi politik nasional dalam beberapa minggu ke depan. Jokowi sebagai petahana pun cukup gencar mengupayakan konsesi tersebut, katakanlah dengan mengirim Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan untuk menemui Prabowo.
Lalu, apakah itu berarti people power tidak akan terjadi?
Jawabannya tergantung. Jika yang dimaksud adalah people power sesuai definisinya (by definition) sebagai gerakan yang murni berasal dari akar rumput, agaknya hal tersebut cukup sulit terjadi karena persyaratannya belum terpenuhi.
Hal ini salah satunya diungkapkan oleh mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali. Menurutnya, salah satu syarat terjadinya people power adalah adanya krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Kondisi ekonomi saat ini memang tidak cukup baik, namun tidak seburuk katakanlah yang terjadi pada tahun 1998.
Selain itu, ada pula syarat krisis politik yang menyebabkan pemerintahan tidak berjalan – yang saat ini juga tidak sedang terjadi. Lalu, ada syarat terjadinya krisis kebudayaan dan tidak berfungsinya pranata sosial, hilangnya identitas bangsa, dan runtuhnya semangat kebersamaan.
Konteks tersebut memang belum terjadi di Indonesia saat ini. Situasi politik memang panas dan situasi ekonomi juga tengah dilanda guncangan. Namun, levelnya belum sampai ke titik krisis yang parah.
Sekalipun by definition cukup sulit terjadi, namun people power dalam konteks gerakan massa, tetap saja mungkin terjadi. Apalagi, jika tudingan kecurangan Pemilu bisa dibuktikan dan benar adanya. Apa yang terjadi di Filipina terhadap pemerintahan Ferdinand Marcos pada 1986 adalah salah satu contoh nyatanya.
Beberapa selentingan juga menyebutkan bahwa people power dalam konteks aksi massa protes hampir pasti terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Namun, hal tersebut tetap akan terbendung jika konsesi berhasil tercipta dan Prabowo secara terbuka mengakui kemenangan Jokowi.
Peran Para Kunci
Kedatangan Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Istana Negara beberapa hari lalu adalah salah satu bukti lain proses politik yang saat ini sedang terjadi di tingkatan elite.
AHY diketahui telah diundang Jokowi sejak 3 hari sebelumnya dan menjadi entitas politik yang mewakili sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menepi dari panggung politik untuk beberapa saat.
Ini juga sekaligus membuktikan bahwa sosok SBY adalah salah satu kunci utama penentu arah politik nasional. Hal ini bisa pula dilihat dari kunjungan Mahfud MD bersama tokoh-tokoh dari Gerakan Suluh Kebangsaan yang membesuk Ani Yudhoyono sekaligus bertemu SBY di Singapura sehari yang lalu.
Kunjungan Mahfud bersama istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Shinta Nuriyah Wahid dan sang putri Alissa Wahid, serta beberapa tokoh lain seperti Dahlan Iskan, memang punya dimensi besar untuk menciptakan dialog politik yang menurunkan tensi politik domestik.
Selain SBY, tokoh lain yang akan menjadi kunci kondisi politik nasional adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Mega memang sempat menggunakan pendekatan yang “lembut” terhadap Prabowo dengan menyebutnya sebagai “sahabat”.
Namun, jika terjadi perubahan dalam peta politik nasional, semua kemungkinan bisa saja terjadi – pun dalam konteks hubungannya dengan Jokowi. Sebagai catatan, Mega dan SBY memang punya hubungan yang cenderung dingin untuk waktu yang cukup lama.
Semua persoalan tersebut memang membenarkan konteks teori elite, utamanya dalam Italian school – cabang pemikiran tentang teori elite yang diutarakan oleh tokoh-tokoh seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca dan Robert Michels. Elite-elite dalam konteks pemikiran ketiganya memang menjadi penentu arah suatu negara dan mendapatkan kuasa akibat kekuatan politik dan ekonomi yang dimilikinya.
Pada akhirnya, publik tentu berharap agar kondisi yang terjadi pasca Pemilu ini tidak berbuntut pada kekacauan yang berkepanjangan. Sebab, negara ini sudah lebih dari cukup mengalami kekacauan. Yang jelas, jika gerakan politik telah menguat di akar rumput, sulit bagi elite manapun untuk membendungnya. (S13)