Persoalan impor sapi adalah masalah klasik yang sudah lama terjadi di negeri ini. Pada tahun 1970-an Indonesia tercatat masih diperhitungkan sebagai salah satu negara pengekspor sapi yang cukup besar. Saat ini, jangankan mengekspor, untuk mencukupi kebutuhan domestik saja masih sangat kurang.
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]J[/dropcap]ika dulu kita mengenal istilah ‘politik dagang sapi’ – merujuk pada jual beli jabatan di ‘bawah tangan’ seperti pada prosesi jual beli sapi di masyarakat Minang – saat ini kita juga mengenal ‘politik daging sapi’ – merujuk pada permainan politik dengan menggunakan komoditas daging sapi. Apa betul demikian?
Tertangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap judicial review Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Nomor 41 tahun 2014, menggambarkan secara jelas bahwa di negara ini, korupsi bahan-bahan kebutuhan pokok untuk makanan masih saja terjadi.
Politik Daging Sapi vs Politik Dagang Sapi
— Farid Wajdi (@farid_wajdi70) August 12, 2015
Undang-Undang PKH ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan daging sapi dalam negeri. Hal ini juga sekaligus mencoreng wajah peradilan di Indonesia: ada hakim disuap soal sapi, ada politik daging sapi.
Memang makanan, sejarah, dan kepribadian suatu bangsa adalah tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Sudut pandang ini pula lah yang sering dipakai oleh Herodatus (484-425 SM) – filsuf dan sejarahwan – dalam berbagai gambaran sejarah yang ia gunakan untuk menjelaskan kondisi suatu masyarakat.
Di lain waktu, Rene Descartes (1596-1650) – seorang filsuf dari Perancis – pernah berkata: “Cogita ergo sum”, atau ‘saya berpikir maka saya ada’. Descartes mungkin benar tentang pentingnya aktivitas berpikir, namun tanpa makanan, mustahil ada manusia yang hidup.
Daging Sapi dan Korupsi Isi Perut
Makanan menjelaskan eksistensi manusia. Lalu, bagaimana jika di suatu negara, untuk soal makanan saja masih kental dengan kasus korupsi dan suap menyuap – bukan suap-suapan nasi tentunya? Makanan saja masih dikorupsi, bagaimana dengan yang lain. Korupsi makanan dan kebutuhan pokok menggambarkan bahwa kasus korupsi dalam tataran yang lebih besar masih menggerogoti negeri ini.
Kasus yang menimpa Patrialis Akbar ini membuka tabir besar bahwa pemenuhan kebutuhan pokok di negara ini masih saja suka dipermainkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Patrialis Akbar diberhentikan dengan tidak hormat https://t.co/qmzVqyVoda pic.twitter.com/EpWwhUICd7
— Radio Elshinta (@RadioElshinta) February 17, 2017
Untuk hal yang berhubungan dengan perut, masih banyak orang yang ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari orang lain. Dalam tataran tertentu, ketika situasi ini tidak bisa dikendalikan, maka negara atau pemerintah bahkan bisa dicap ‘gagal’ melindungi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.
Persoalan impor sapi adalah masalah klasik yang sudah lama terjadi di negeri ini. Pada tahun 1970-an Indonesia tercatat masih diperhitungkan sebagai salah satu negara pengekspor sapi yang cukup besar. Saat ini, jangankan mengekspor, untuk mencukupi kebutuhan domestik saja masih sangat kurang.
Data dari Outlook Daging Sapi 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pada tahun 2014, konsumsi sapi potong di Indonesia mencapai 561,63 ribu ton, di mana sapi lokal berkontribusi 507,06 ribu ton dan impor sebesar 54,57 ribu ton. Sementara itu, pada saat yang sama produksi sapi dalam negeri mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Tahun 2016 misalnya, jumlah sapi di Indonesia ada 14 juta ekor yang diternakan oleh 5 juta peternak. Jumlah itu menurun hampir 15 % lebih jika dibandingkan dengan jumlah sapi pada tahun 2011 yang mencapai 16 juta ekor.
Oleh karena itu, pada tahun 2016, pemerintah harus mengimpor hampir 600 ribu ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Maka, jelaslah ada peluang bagi importir untuk meraih keuntungan dari impor sapi. Persoalannya, sejak ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 – yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014, ada aturan ketat yang mengawasi dan mengatur setiap aktivitas impor sapi.
Selain itu, banyak importir dan spekulan yang kemudian memainkan harga daging sapi di pasaran dan berupaya untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Selain itu, hal ini juga membuat adanya deal-deal kebijakan antara beberapa politisi dengan pelaku bisnis impor sapi. Makin jelas lah persoalan daging sapi dengan politik seringkali berhubungan dengan korupsi ‘isi perut’ masyarakat.
Bandul Spekulan Sapi
Sebulan yang lalu, publik di beberapa daerah digegerkan oleh isu daging sapi yang terinfeksi bakteri antraks. Di Yogyakarta misalnya, isu ini telah membuat kepanikan dan ketakutan bagi warga untuk membeli dan mengonsumsi daging sapi. Hal ini ditengarai menjadi penyebab harga daging sapi sempat anjlok di pasaran untuk beberapa saat.
Namun, beberapa waktu kemudian, di beberapa daerah harga daging sapi melonjak drastis, bahkan sampai menyentuh angka Rp 140.000 per kilogram. Belum lagi jika menjelang hari-hari raya, misalnya saat menjelang Idul Fitri, Idul Adha, ataupun Natal dan Tahun Baru, harga daging sapi melonjak luar biasa. Selain karena dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, kenaikan harga ini juga sangat dipengaruhi oleh para importir dan spekulan sapi.
Kasus Patrialis Akbar membuka mata kita tentang peran importir dalam persoalan daging sapi di dalam negeri. Basuki Hariman yang menyuap Patrialis Akbar memiliki 20 perusahaan impor sapi. Wow, dengan demikian tidak diragukan lagi apa kepentingannya dalam kasus ini. Dengan memiliki 20 perusahaan importir sapi saja, Basuki Hariman seharusnya sudah bisa mempengaruhi harga daging sapi di pasaran.
Lalu, apakah itu berarti ia adalah salah satu spekulan yang ikut memainkan harga daging sapi di pasaran? Mari kita tunggu fakta yang terungkap di pengadilan nanti.
Sapi: Salah Satu Komoditas Paling ‘Seksi’
Tidak bisa dipungkiri, daging sapi adalah salah satu komoditas yang ‘seksi’. Kebutuhan daging sapi di industri besar maupun industri rumahan, serta konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia sangat tinggi.
Oleh karena itu, sama halnya dengan cabai, daging sapi adalah komoditas idola. Hal yang semakin membuat daging sapi menjadi ‘primadona’ adalah karena kebutuhannya yang begitu besar tidak sebanding dengan ketersediannya di dalam negeri.
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) telah mengalami perjalanan dan perkembangan yang panjang. Tahun 1967 disahkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967. Undang-Undang ini kemudian direvisi dan diperbaharui pada tahun 2009 melalui Undang-Undang nomor 18 juga tentang PKH.
Lalu, Undang-Undang PKH disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Tujuannya adalah tentu saja agar usaha peternakan dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan protein dalam negeri dan menjamin ketersediaan daging dan susu dari hewan-hewan ternak yang sehat.
Pertanyaan yang muncul tentu saja adalah mengapa Undang-Undang Ternak tahun 2014 ini diajukan judicial review? Apakah hal ini berarti Undang-Undang ini tidak mampu menjamin kebutuhan daging sapi dalam negeri?
Importir vs Importir?
Seperti dilansir dari tempo.co, judicial review Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 diajukan oleh Dewan Peternak Nasional (Depernas) – walaupun nama pendaftar yang mengajukan judicial review adalah orang per orangan.
Dalam sebuah konferensi pers pasca penangkapan Patrialis Akbar, Depernas mengatakan bahwa mereka mendukung sepenuhnya proses hukum tersebut dan berharap judicial review Undang-Undang Ternak tahun 2014 bisa segera diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Depernas juga menyebutkan bahwa dalam pembuatan UU Nomor 41 tahun 2014 yang menggantikan UU Ternak tahun 2009, ditengarai adanya permainan dari para importir. UU ini juga tidak menjamin ternak yang diimpor bebas penyakit dan bahkan nantinya bisa menjangkiti ternak di Indonesia.
Impor Daging Sapi Tak Lagi Sembarangan – https://t.co/7AnElEH5B4 pic.twitter.com/UdzCR8be4T
— Bisnis.com (@Bisniscom) February 8, 2017
Namun, hal yang menarik untuk diperhatikan adalah ternyata beberapa anggota Depernas sendiri pernah menjadi anggota Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), yang saat ini namanya telah diganti menjadi Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo). Organisasi apa ini? Ternyata ini adalah asosiasi perusahan-perusahaan importir sapi bakalan. Feedlot adalah istilah untuk proses penggemukan sapi yang diimpor dari luar negeri selama 3 sampai 4 bulan, sebelum dipotong dan dijual ke masyarakat. Tunggu dulu, bukan kah itu berarti mereka ini juga importir?
Zona Based vs Country Based
Hal-hal aneh juga nampak dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh perwakilan baik dari Depernas maupun Gapuspindo – atau bahkan dari tulisan-tulisan di website resminya – yang tetap menitikberatkan pada upaya impor sebagai solusi mengendalikan harga daging sapi di dalam negeri. Padahal, jika memang berupaya untuk menciptakan ketahanan daging sapi dalam negeri, impor harusnya dibatasi sambil meningkatkan produksi dalam negeri.
Hal yang disoroti oleh Depernas dan Gapuspindo dalam UU Ternak tahun 2014 adalah tentang zona based. Dengan zona based, pemerintah tidak harus tergantung pada impor daging dari satu negara tertentu.
UU ini dikeluarkan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan swasembada daging sapi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada satu negara tertentu. Pemerintah juga bebas memilih daging sapi dari negara lain yang harganya lebih murah serta tidak perlu takut kekurangan pasokan daging sapi.
Sementara, UU Ternak tahun 2009 yang disebut Depernas ‘lebih menjamin ketersediaan daging dalam negeri’ dengan alasan ‘kesehatan ternak yang lebih terjamin’, menerapkan kebijakan country based atau impor sapi terfokus pada negara tertentu saja.
Padahal, jika pasokan sapi dari negara tersebut terganggu, maka pemerintah tidak bisa mencari solusi untuk tetap menjaga kestabilan harga dalam negeri. Jika pemerintah membeli dari negara lain, boleh jadi pemerintah malah dituduh melanggar Undang-Undang. Nah, apakah itu tidak sejalan dengan tujuan untuk menciptakan kedaulatan daging sapi dalam negeri?
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Depernas menuding ada importir yang bermain dalam perumusan UU Ternak tahun 2014, sementara mereka sendiri berdiri di depan importir sapi lain yang sering meraih keuntungan jika pasokan dalam sistem country based terganggu dan menyebabkan harga dalam negeri menjadi tinggi. Importir vs importir lain kah ini? Entahlah, mungkin ini hanya analisis di siang bolong di tengah makin sumpeknya persoalan politik tanah air.
Kecemburuan Importir pada Bulog
Fakta lain yang juga mencuat adalah bahwa sejak pemerintah memberlakukan zona based, hak untuk mengimpor daging sepenuhnya diserahkan kepada BUMN, dalam hal ini Bulog. Sementara para importir hanya diberikan kesempatan untuk menjadi distributor saja. Bulog jadi pemegang hak tunggal dan berhak untuk mengatur harga.
Persoalan kemudian muncul karena kebijakan tersebut melahirkan kecemburuan terhadap Bulog. Importir-importir swasta juga menganggap Undang-Undang Ternak tahun 2014 menyebabkan adanya ketidakpastian hukum terhadap para importir yang lain.
Hal ini tentunya harus menjadi catatan bagi pemerintah agar mekanisme impor zona based tidak hanya mengondisikan harga daging yang murah untuk masyarakat, tetapi juga masih tetap mendatangkan keuntungan bagi para importir. Artinya masih ada win-win solution yang bisa dicapai.
Tentu saja harapannya tidak ada lagi permaian harga daging sapi. Tidak ada lagi juga politisi dan penegak hukum yang terjerat kasus daging sapi. Pada akhirnya, masyarakat bisa menikmati bakso sapi tanpa harus takut kantong-kantongnya jebol.
Sapi dan Politik: Mainan Siapa?
‘Politik dan sapi’, mungkin istilah ini terlalu hiperbolik – dilebih-lebihkan dan diwajar-wajarkan. Namun, kenyataannya memang demikian. Sapi jadi mainan ekonomi dan kemudian sudah masuk dalam ranah politik. Pertanyaannya tentu saja: mainan siapa?
Mungkin terlalu muluk untuk menyebut pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan impor sapi. Namun, yang jelas pihak yang diuntungkan adalah negara-negara yang pasokan sapinya masuk ke Indonesia. Sapi impor terbanyak yang masuk ke Indonesia berasal dari Australia. Mungkin karena faktor jarak antara kedua negara yang berdekatan, sehingga hubungan dagang sapi adalah salah satu yang yang paling adalah di antara kedua negara ini. Indonesia sendiri adalah salah satu negara importir sapi hidup dari Australia yang paling besar.
Namun demikian, mengapa harus selalu mengimpor dari Australia? Saat ini India adalah salah satu negara produsen sapi terbesar di dunia dengan jumlah hampir 2 juta ton per tahun. Oleh karena itu, tidak ada salahnya mengimpor sapi dari India.
Kalau pun persoalan kesehatan yang dipermasalahkan, mengapa tidak dipikirkan bentuk perjanjian yang tetap bisa mengondisikan sapi-sapi yang sehat tanpa perlu bersusah payah merevisi Undang-Undang Ternak tahun 2014. Toh, tujuan Undang-Undang tersebut adalah untuk menjamin ketersediaan daging sapi dalam negeri dan menjamin akses masyarakat terhadap ketersediaan protein.
Kapal Ternak: Nasibmu Kini
Kita tentu mendengar program kapal ternak yang dijalankan oleh Presiden Jokowi. Kapal ternak ini mengangkut ternak dari wilayah-wilayah luar Jawa untuk dibawa ke Pulau Jawa demi menjamin ketersediaan daging sapi di Pulau Jawa. Program ini tentu saja bagus untuk tetap menjaga kondisi harga daging sapi di Pulau Jawa yang nota bene adalah konsumen daging sapi terbesar. Lalu, bagaimana kabarnya program ini?
Kabar terbaru menyebutkan bahwa kapal ternak pada tahun ini belum beroperasi karena terganjal proses tender. Hal ini patut disayangkan mengingat pentingnya ketersediaan daging sapi menjelang Hari Raya Idul Fitri beberapa bulan lagi. Oleh karena itu, harus menjadi catatan bagi pemerintah agar bisa segera diperbaiki mekanismenya.
Politik daging sapi adalah fenomena yang saat ini terjadi. Apa pun yang diputuskan pemerintah, yang paling penting adalah terwujudnya kedaulatan daging sapi bagi masyarakat Indonesia. Apakah hal ini mungkin terjadi? Tentu saja, jika ada kemauan pasti akan ada jalan. (S13)