“Suara, dengarkanlah aku. Apa kabarnya, pujaan hatiku?” – Hijau Daun, Suara (Ku Berharap)
Pinterpolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]usim mudik lebaran belum tiba, tetapi sejumlah terminal di Jakarta dipadati calon penumpang yang menanti bus layaknya pemudik di hari raya. Ada apa ya?
“Abdi bade ka Tasik A, bade nyolok” (Saya mau ke Tasik Mas, mau nyoblos)
“Oh, sami abdi ge bade nyolok di kampung, abdi mah ka Cianjur” (Oh, sama saya juga mau nyoblos di kampung, saya sih ke Cianjur)
Begitu kira-kira percakapan yang terjadi di sekitar dan di dalam bus satu hari jelang pemilu.
Ternyata, antrean calon penumpang itu adalah para perantau yang hendak pulang hanya demi menunaikan hak suara mereka di kampung halaman masing-masing.
Kalau dilihat-lihat, membludaknya calon penumpang itu memang sangat mirip dengan musim mudik lebaran. Ada yang kasihan bahkan, sudah menunggu berjam-jam, bus yang ditunggu-tunggu selalu penuh tak lagi bisa ditumpangi.
Kalau pun akhirnya ada yang bisa masuk, mereka harus berdiri berjam-jam dalam bus, di bawah ketiak berkeringat penumpang lain sampai ke kota asal mereka masing-masing. Semua dilakukan demi apa? Demi menunaikan hak politik lima tahunan semata. Keren ya? Tapi agak kasihan juga sih.
Animo masyarakat pada Pemilu tahun ini memang luar biasa sih. Gambaran itu tidak hanya terlihat pada menumpuknya calon penumpang di terminal-terminal, tetapi juga terlihat di angka partisipasi Pemilu tahun ini yang cukup tinggi.
Sejauh ini, berdasarkan data yang ada, partisipasi pemilu berada di kisaran 80 persen! Wow, tinggi juga ya! Angka ini bahkan jadi yang tertinggi sejak pelaksanaan Pemilu pasca reformasi.
Nah, sayangnya, di tengah tingginya animo masyarakat mengikuti pesta demokrasi lima tahunan ini, justru ternyata banyak kisah yang kurang mengenakkan. Banyak masyarakat di beberapa TPS mengeluhkan soal kurangnya surat suara. Loh, kok bisa?
Gimana jadinya ya nasib si Aa yang ke Tasik tadi, yang sudah bela-belain menunggu bus, berdiri berjam-jam, pas sampai di TPS tidak bisa mencoblos karena kehabisan surat suara?
Terus gimana juga nasib si Akang tadi yang ke Cianjur, udah harus diketekin orang dalam bus, eh ternyata dia gagal menunaikan hak politiknya karena surat suara tidak tersedia.
Padahal, si Aa dan si Akang tadi itu mungkin sudah terdaftar secara resmi di TPS-nya masing-masing, makanya bela-belain pulang.
Kalau yang terdaftar saja tidak kebagian surat suara, lalu gimana pemilih lain yang termasuk ke Daftar Pemilih Khusus (DPK)? Mereka kan hanya dapat jatah 2 persen dari total surat suara, kalau surat suarannya habis gimana?
Sayang sekali ya, di tengah animo masyarakat yang tinggi, kejadian-kejadian seperti itu harus muncul. Padahal, fenomena bela-belain pulang itu, dapat jadi gambaran efikasi politik tinggi yaitu kesadaran bahwa mereka bisa memperbaiki keadaan politik.
Mereka lagi sangat berharap loh bisa terlibat dalam menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan, eh harus patah hati karena tidak bisa mencoblos.
Semoga saja hal ini jadi catatan KPU dan tidak terjadi lagi ya di pemilu-pemilu mendatang. Sayang loh, kesadaran politik masyarakat kita lagi tinggi-tingginya.
Oh, yang juga penting, semoga si Aa dan si Akang tadi pas pulang gak harus berdiri dan diketekin lagi ya. Kalau kejadian lagi, apes berkali-kali mereka. Kasian kasian kasian. (H33)